Selasa, 09 April 2013

Kardinal yang dikenal rendah hati itu kini menjadi Paus

Kardinal Jorge Mario Bergoglio dari Argentina terpilih menjadi paus dengan nama Paus Fransiskus
Dalam pidato yang penuh dengan kerendahan hati Paus Fransiskus menyapa sekitar 100.000 orang yang memadati lapangan St. Petrus, yang bukan saja dari Italia atau negara-negara Eropa tapi dari berbagai penjuru dunia.
Paus Fransiskus – nama yang dipilih karena ia telah mengikuti semangat St. Fransiskus dari Asisi – mengucapkan terima kasih kepada pendahulunya Paus Emeritus Benediktus XVI atas pelayanan yang ia berikan kepada Gereja.
Ia juga meminta agar umat memohon berkat dari Tuhan bagi dirinya sebagai penerus Takhta Santo Petrus.
Paus yang berusia 76 tahun ini  mengatakan bahwa para kardinal benar-benar memilih Paus baru melalui doa.
“Mari kita memulai perjalanan ini, uskup dan umat, perjalanan dalam semangat persaudaraan, cinta dan saling percaya di antara kita,” katanya dari atas balkon Vatikan setelah dirinya diperkenalkan oleh Jean Luis Kardinal Tauran.
Mantan Askup Agung Buenos Aires ini lahir pada 17 Desember 1936 dan ditahbiskan menjadi seorang imam Yesuit tahun 1969. Ia kemudian menggantikan Antonio Kardinal Quarracino sebagai uskup agung  Buenos Aires tahun 1998.
Tugas kegembalaannya di Argentina dijalankan dengan pendekatan yang praktis dan patut ditiru. Ia lebih memilih naik kendaraan umum daripada mobil pribadi dan seringkali mengunjungi orang miskin. Orang-orang biasa memanggilnya sebagai   “Romo Jorge”.
 Siapakah Jose Mario Kardinal Bergoglio?
Jorge Bergoglio yang lahir di Buenos Aires merupakan satu dari lima bersaudara yang lahir dari keluarga pekerja kereta api keturunan Italia. Setelah belajar di seminari di Villa Devoto, ia kemudian masuk Serikat Yesus (SJ/Yesuit) Maret 1958.
Setelah mendapat lisensiat filsafat dari Colegio Máximo San José di San Miguel ia kemudian mengajar literatur dan psikologi  di Colegio de la Inmaculada di Santa Fe, dan Colegio del Salvador di Buenos Aires.
Ia ditahbiskan imam pada 13 Desember 1969, dan kemudian menjadi pembimbing novis serta dosen teologi.
Karena prestasi dan kepiawaiannya, Yesuit kemudian menunjuknya menjadi provinsial SJ di Argentina dari tahun 1973 – 1979. Setelah itu (1980) dia dipindahkan menjadi rektor seminari di San Miguel tempat ia belajar sebelumnya hingga 1986.
Gelar doktor diselesaikannya di Jerman dan setelah itu pulang ke Argentina. Beberapa tahun kemudian pada 28 Februari, 1998 ia menggantikan Kardinal Quarracino.
Tiga tahun kemudian (2001) Paus Yohanes Paulus II mengundangnya ke Vatikan dan kemudian mengukuhkannya menjadi kardinal.
Selama menjadi kardinal, Jorge menjabat beberapa fungsi administratif antara lain Kongregasi Imam, Kongregasi Liturgi dan Sakramen, Kongregasi Hidup Religius, dll. Kemudian ia menjadi anggota Komisi Amerika Latin dan Dewan Keluarga.
Jorge dikenal sangat rendah hati, konservatif, dan memiliki komitmen tinggi terhadap keadilan sosial. Gaya hidupnya yang sederhana membuatnya semakin dikenal. Dia memilih untuk tinggal di sebuah apartemen kecil, ketimbang kediaman uskup.
Ia juga memilih untuk tidak menggunakan kendaraan pribadi yang dikemudikan oleh orang lain, tapi memilih naik angkutan umum, dan bahkan dilaporkan ia juga masak sendiri.
Setelah Yohanes Paulus II meninggal, Jorge dianggap layak untuk dipilih menjadi Paus dan mengambil bagian dalam konklaf tahun 2005 yakni pemilihan Paus Benediktus XVI.
Menurut beberapa laporan (yang belum bisa dipastikan keabsahannya), dalam konklaf tahun 2005, ia menjadi saingan Kardinal Ratzinger.
Pada November  2005, Bergoglio dipilih secara aklamasi menjadi Presiden Konferensi Waligereja Argentina untuk periode tiga tahun.
Selama menjadi gembala di Argentina, Jorge mengajak para imam dan umat untuk menentang aborsi dan euthanasia. Ia juga mematuhi ajaran Gereja soal homoseksualitas, tapi dia mengajarkan akan pentingnya menghargai kaum homoseksual.
Jorge menentang keras kebijakan pemerintah Argentina yang mengizinkan pernikahan sesama jenis.
Ada juga hal yang tidak akan terlupakan dari Kardinal Jorge. Warga Argentina akan selalu mengenangnya ketika pada tahun 2001 saat mengunjungi sebuah tempat perawatan pasien AIDS, dia mencuci dan mencimum kaki 12 orang yang menderita AIDS. Sekolah Katolik di Tegal terancam ditutup
Setelah adanya ancaman penutupan sekolah Katolik di Blitar, Jawa Timur, kini giliran sekolah Katolik di Tegal, Jawa Tengah, juga mendapat ancaman.
Pasalnya, beberapa bulan yang lalu, Departemen Pendidikan Wilayah Tegal memberi peringatan kepada Sekolah Katolik St. Pius agar memasukkan mata pelajaran agama kepada siswa non Katolik yang bersekolah di sekolah tersebut.
Dalam pertemuan belum lama ini dengan pihak pemerintahan Tegal, pihak sekolah yang dikepalai Suster Madelaine menyampaikan pernyataan terkait seputar ketidaksetujuannya akan keputusan tersebut bersama kuasa hukum dan Romo Frans Widyanatardi, kepala Paroki Hati Kudus, Tegal.
Pastor Widyanatardi mengatakan kepada asianews.it bahwa para siswa non Katolik yang belajar di sekolah St. Pius: 2 orang dari tingkat TK, 9 orang dari SD, 12 siswa dari SMP, dan 9 siswa dari SMU dari total keseluruhan 1.400 siswa. Jadi tidak mungkin bila pihak sekolah menambah mata pelajaran agama lain mengingat jumlahnya yang masih sedikit.
Salah satu orangtua siswa, Charles Sinaga mengatakan bahwa dia tidak keberatan apabila salah satu mata pelajaran tersebut tidak dimasukkan ke dalam kurikulum sekolah.
“Pihak mereka (Departemen Pendidikan Tegal) tidak berhak melakukan itu,” katanya.
Situasi ini membuat pihak sekolah St. Pius harus menerima ancaman dan peringatan akan ditutup bila mereka tetap berdiri pada pendirian mereka. UCAN Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berbicara adalah hak asasi manusia dari setiap individu, tetapi gunakan hak itu sesuai dengan peraturan yang berlaku serta budaya lokal yang membangun. Salam kasih. Admin