Selasa, 09 April 2013

Militer mengaku sebagai pelaku pembunuhan 4 tahanan di penjara

Doa solidaritas di Jakarta untuk para korban penembakan di LP Cebongan
Tim penyelidikan kasus pembunuhan 4 tahanan di  Lembaga Pemasyarakatan Cebongan, Sleman, Yogyakarta akhir Maret lalu menyatakan bahwa pelakunya  adalah 11 personel Komando Pasukan Khusus (Kopassus) Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI AD).
Ketua Tim Investigasi TNI AD Brigadir Jenderal Unggul K. Yudhoyono mengatakan, lancarnya proses investigasi yang dilakukan timnya karena dilandasi kejujuran dan keterbukaan para pelaku.
“Menjadi catatan khusus, bahwa para pelaku secara ksatria telah mengakui perbuatan sejak hari pertama penyelidikan, 29 Maret 2013,” ujarnya dalam keterangan pers di Jakarta, Kamis (4/4).
“Penyerangan tersebut merupakan tindakan seketika yang dilatarbelakangi jiwa korsa dan membela kesatuan,” kata Unggul.
Para pelaku ini berdinas di Kopassus Grup Dua, Kandang Menjangan, Kartosuro, Jawa Tengah. Mereka melakukan serangan pada 23 Maret setelah mendengar salah satu anggota Kopassus, Serka Heru Santoso, diserang oleh sekelompok preman di Hugo’s Cafe, Yogyakarta, hingga tewas pada 19 Maret 2013 dan pembacokan Sertu Sriyono pada 20 Maret 2013.
“Mereka membela kesatuan setelah mendapat kabar tentang pengeroyokan dan pembunuhan secara sadis dan brutal terhadap anggota Kopassus,” tuturnya.
Dari 11 orang itu hanya satu yang bertindak sebagai eksekutor, berinisial U, sementara yang lain mengawasi situasi sekitar.
4 orang korban adalah warga asal Provinsi Nusa Tenggara Timur, yang dikenal sebagai anggota preman di Yogyakarta.
Menurut Unggul, selain motif membela kehormatan kesatuan, pelaku  juga mengaku memiliki utang budi kepada Heru saat bertugas.
“Serka Heru merupakan atasan langsung pelaku yang juga pernah berjasa menyelamatkan jiwa pelaku saat melakukan operasi,” kata Unggul.
Tim investigasi menyampaikan bahwa pelaksanaan penyelidikan sudah dilakukan, berjalan dengan lancar dan dapat menetapkan kesimpulan awal dalam masa kerja 6 hari, dengan kejujuran dan keterbukaan.
Pengungkapan kasus ini mendapat apresiasi sekaligus kritikan terhadap TNI dari sejumlah pihak.
Hendardi, aktivis HAM dari Setara Institute mengatakan, pengungkapan kasus ini yang berlangsung cepat mengejutkan.
“Ini merupakan peristiwa langkah, di mana militer dalam waktu yang tidak terlalu lama, mengaku menjadi pelaku tindak pidana”, katanya kepada ucanews.com, Jumat (5/4).
Namun, ia menjelaskan, langkah membawa 11 pelaku ke Peradilan Militer tetap tidak akan sepenuhnya memenuhi rasa keadilan publik.
“Praktek peradilan militer di negara kita sudah lekat dengan ciri  unfair, tidak transparan, dan tidak akuntabel seperti dalam kasus yang melibatkan mereka sebelumnya”, katanya merujuk pada kasus penghilangan sejumlah aktivis pada 1998 dan kasus pelanggaran HAM lainnya di masa lalu yang hingga kini belum diproses.
Untuk itu, kata dia, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono harus didorong untuk menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) tentang Peradilan Militer yang memungkinkan anggota TNI bisa diperiksa di peradilan umum jika melakukan tindak pidana di luar dinas ketentaraan.
“Tanpa terobosan ini, hasil investigasi hanya akan antiklimaks tanpa bisa memenuhi rasa keadilan publik”, tegasnya.
Disamping mengapreasiasi langkah tim penyelidikan ini, Johnson Panjaitan, Praktisi Hukum mengatakan, masih ada banyak hal yang perlu dievaluasi oleh TNI, terutama dalam konteks semangat korps yang melatarbelakangi aksi penembakan itu.
“Kewibawaan militer kita runtuh dengan kejadian ini. Mereka telah main hakim sendiri. Memang benar ada Kopassus yang jadi korban, tapi tindakan mereka dalam bentuk balas dendam telah menunjukkan bahwa mereka bisa membunuh siapa saja yang menganggu anggota mereka, termasuk itu masyarakat sipil”, katanya, seraya menambahkan, perlu ada evaluasi menyeluruh, mengapa semangat korps TNI memegang prinsip seperti itu.
Ia mengatakan, semangat korps hanya berlaku dalam konteks perang atau membela kepentingan negara.
“Dalam konteks kasus ini, kita tidak boleh menggunkan prinsip semangat korps itu untuk merasionalisasi kejahatan pembunuhan”, katanya.
Sementara itu, Iskandar Sitompul, Juru Bicara dari TNI AD mengatakan, pihaknya menjamin bahwa pelaku akan ditindak sesuai hukum yang berlalu.
“Jangan terlalu meragukan wibawa pengadilan militer. Kalau mau diadili di Pengadilan Umum, maka kita mesti ubah terlebih dahulu UU yang ada”, katanya dalam sebuah wawancara di TV One,  Jumat pagi. Ryan Dagur, Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berbicara adalah hak asasi manusia dari setiap individu, tetapi gunakan hak itu sesuai dengan peraturan yang berlaku serta budaya lokal yang membangun. Salam kasih. Admin