Doa solidaritas di Jakarta untuk para korban penembakan di LP Cebongan |
Ketua Tim Investigasi TNI AD
Brigadir Jenderal Unggul K. Yudhoyono mengatakan, lancarnya proses investigasi
yang dilakukan timnya karena dilandasi kejujuran dan keterbukaan para pelaku.
“Menjadi catatan khusus, bahwa
para pelaku secara ksatria telah mengakui perbuatan sejak hari pertama
penyelidikan, 29 Maret 2013,” ujarnya dalam keterangan pers di Jakarta, Kamis
(4/4).
“Penyerangan tersebut
merupakan tindakan seketika yang dilatarbelakangi jiwa korsa dan membela
kesatuan,” kata Unggul.
Para pelaku ini berdinas di
Kopassus Grup Dua, Kandang Menjangan, Kartosuro, Jawa Tengah. Mereka melakukan
serangan pada 23 Maret setelah mendengar salah satu anggota Kopassus, Serka
Heru Santoso, diserang oleh sekelompok preman di Hugo’s Cafe, Yogyakarta,
hingga tewas pada 19 Maret 2013 dan pembacokan Sertu Sriyono pada 20 Maret
2013.
“Mereka membela kesatuan
setelah mendapat kabar tentang pengeroyokan dan pembunuhan secara sadis dan
brutal terhadap anggota Kopassus,” tuturnya.
Dari 11 orang itu hanya satu
yang bertindak sebagai eksekutor, berinisial U, sementara yang lain mengawasi
situasi sekitar.
4 orang korban adalah warga
asal Provinsi Nusa Tenggara Timur, yang dikenal sebagai anggota preman di
Yogyakarta.
Menurut Unggul, selain motif
membela kehormatan kesatuan, pelaku juga mengaku memiliki utang budi
kepada Heru saat bertugas.
“Serka Heru merupakan atasan
langsung pelaku yang juga pernah berjasa menyelamatkan jiwa pelaku saat
melakukan operasi,” kata Unggul.
Tim investigasi menyampaikan
bahwa pelaksanaan penyelidikan sudah dilakukan, berjalan dengan lancar dan
dapat menetapkan kesimpulan awal dalam masa kerja 6 hari, dengan kejujuran dan
keterbukaan.
Pengungkapan kasus ini
mendapat apresiasi sekaligus kritikan terhadap TNI dari sejumlah pihak.
Hendardi, aktivis HAM dari
Setara Institute mengatakan, pengungkapan kasus ini yang berlangsung cepat
mengejutkan.
“Ini merupakan peristiwa
langkah, di mana militer dalam waktu yang tidak terlalu lama, mengaku menjadi
pelaku tindak pidana”, katanya kepada ucanews.com, Jumat (5/4).
Namun, ia menjelaskan, langkah
membawa 11 pelaku ke Peradilan Militer tetap tidak akan sepenuhnya memenuhi
rasa keadilan publik.
“Praktek peradilan militer di
negara kita sudah lekat dengan ciri unfair, tidak transparan, dan tidak
akuntabel seperti dalam kasus yang melibatkan mereka sebelumnya”, katanya
merujuk pada kasus penghilangan sejumlah aktivis pada 1998 dan kasus
pelanggaran HAM lainnya di masa lalu yang hingga kini belum diproses.
Untuk itu, kata dia, Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono harus didorong untuk menerbitkan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang (Perppu) tentang Peradilan Militer yang memungkinkan
anggota TNI bisa diperiksa di peradilan umum jika melakukan tindak pidana di
luar dinas ketentaraan.
“Tanpa terobosan ini, hasil
investigasi hanya akan antiklimaks tanpa bisa memenuhi rasa keadilan publik”,
tegasnya.
Disamping mengapreasiasi
langkah tim penyelidikan ini, Johnson Panjaitan, Praktisi Hukum mengatakan,
masih ada banyak hal yang perlu dievaluasi oleh TNI, terutama dalam konteks
semangat korps yang melatarbelakangi aksi penembakan itu.
“Kewibawaan militer kita
runtuh dengan kejadian ini. Mereka telah main hakim sendiri. Memang benar ada
Kopassus yang jadi korban, tapi tindakan mereka dalam bentuk balas dendam telah
menunjukkan bahwa mereka bisa membunuh siapa saja yang menganggu anggota
mereka, termasuk itu masyarakat sipil”, katanya, seraya menambahkan, perlu ada
evaluasi menyeluruh, mengapa semangat korps TNI memegang prinsip seperti itu.
Ia mengatakan, semangat korps
hanya berlaku dalam konteks perang atau membela kepentingan negara.
“Dalam konteks kasus ini, kita
tidak boleh menggunkan prinsip semangat korps itu untuk merasionalisasi
kejahatan pembunuhan”, katanya.
Sementara itu, Iskandar
Sitompul, Juru Bicara dari TNI AD mengatakan, pihaknya menjamin bahwa pelaku
akan ditindak sesuai hukum yang berlalu.
“Jangan terlalu meragukan
wibawa pengadilan militer. Kalau mau diadili di Pengadilan Umum, maka kita
mesti ubah terlebih dahulu UU yang ada”, katanya dalam sebuah wawancara di TV
One, Jumat pagi. Ryan Dagur, Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berbicara adalah hak asasi manusia dari setiap individu, tetapi gunakan hak itu sesuai dengan peraturan yang berlaku serta budaya lokal yang membangun. Salam kasih. Admin