“Jangan tanyakan bagaimana Ia telah mati tapi renungkanlah bagaimana Ia hidup dan menghidupi saudara dan aku.”
Setiap mata akan memandang lesuh akan Dia yang tergantung pada salib itu, setiap otak akan berpikir tentang caranya Ia mati, dan setiap hati akan merenung tentang apa artinya kematian Sang Kehidupan atau Sang Sumber Kehidupan demi saudara dan aku hari ini.
Hanya satu pernyataan yang bisa kita buat untuk melukiskan semua kesedihan hati kita hari ini yakni; “Sungguh, Ia telah mati untuk saudara dan aku.”
Kisah kematian-Nya telah direnungkan setiap saat, bahkan setiap Jumat Agung peristiwa ini dirayakan dengan berbagai cara, tapi kesan yang muncul di hati tetap menjadi baru karena Ia telah mati untuk kita masing-masing. Kesedihan pasti merenggut setiap hati yang merenungkan tentang kematian-Nya yang mengerikan itu, tapi sesungguhnya Jumat Agung bukan hanya semata tentang kesedihan dan kedukaan tentang kematian Yesus melainkan tentang kehidupan-Nya.
Hidup-Nya sungguh singkat tapi apa yang diperbuat-Nya sungguh melampaui waktu hidup-Nya. Apa yang diperbuat-Nya tetap dikenang oleh setiap generasi dari masa ke masa, karena memang kehidupan-Nya adalah sebuah pewartaan tentang belas kasih Allah kepada manusia. Apa rahasianya? Jangan tanyakan tentang bagaimana Ia telah mati, tetapi bagaimana Ia mengisi kehidupan-Nya yang singkat itu sehingga menjadi berkat bagi orang lain, bagi saudara dan aku.
Hari ini patutlak kita menangis dan berduka karena dosa-dosa kita yang membuat Ia harus tetap tergantung di salib itu, tapi permenungan kita tidak selamanya tentang sebuah peristiwa kematian, melainkan tentang kehidupan.
Kematian akan menjemput kita suatu waktu kiranya menjadi sesuatu yang pasti, dan tidak ada seorang manusia pun yang bisa mengelaknya. Oleh karena itu, jika hari ini Yesus mati dan menyebabkan duka nestapa bagi setiap hati, maka semuanya bukan tentang kenapa Ia harus mati tapi bagaimana Ia telah hidup sehingga menjadi kenangan indah bagi semua orang, termasuk dan khususnya bagi saudara dan aku.
Sekali lagi, aku mengulangi nasehatku dalam sebuah renungan terdahulu; “Marilah kita menghitung mundur waktu hidup kita mulai dari hari ini. Anggaplah hari ini adalah hari pertama dari sisa hari hidup yang diberikan oleh Tuhan kepadamu.”
Jangan pernah berpikir tentang bagaimana caranya Anda akan mati, tetapi tanyakanlah kepada dirimu, bagaimana Anda telah hidup dalam kurun waktu yang Tuhan telah berikan kepadamu sehingga mulai saat ini Anda akan menata kembali kehidupanmu.
Akhirnya, aku mengingatkan kembali lagi kepadamu sebagai saudaraku bahwa “sungguh, Yesus telah mati untuk saudara dan aku. Ia telah mati untuk kita semua agar dengan kematian-Nya, saudara dan aku bisa memperoleh kehidupan (keselamatan).”
Jika Ia telah mati agar kita hidup, maka marilah di sisa waktu hidup ini, kita pun merangkai kehidupan kita dengan cinta dan perbuatan baik.
Semuanya bukan demi menorehkan sebuah kenangan indah dalam hati dan pikiran generasi yang akan datang, tetapi demi keselamatanmu sendiri. Ingatlah bahwa Ia telah mati untuk kita, maka hendaklah kita hidup bukan saja untuk diri kita sendiri melainkan juga untuk orang lain.
Semoga saja hidup kita menjadi sumber inspirasi bagi orang lain sehingga mereka pun menatap kehidupan mereka sesuai dengan Firman Tuhan. (Sumber: Renungan Pagi dari Gereja Katolik/ucanews.com)
***Duc in Altum***
Setiap mata akan memandang lesuh akan Dia yang tergantung pada salib itu, setiap otak akan berpikir tentang caranya Ia mati, dan setiap hati akan merenung tentang apa artinya kematian Sang Kehidupan atau Sang Sumber Kehidupan demi saudara dan aku hari ini.
Hanya satu pernyataan yang bisa kita buat untuk melukiskan semua kesedihan hati kita hari ini yakni; “Sungguh, Ia telah mati untuk saudara dan aku.”
Kisah kematian-Nya telah direnungkan setiap saat, bahkan setiap Jumat Agung peristiwa ini dirayakan dengan berbagai cara, tapi kesan yang muncul di hati tetap menjadi baru karena Ia telah mati untuk kita masing-masing. Kesedihan pasti merenggut setiap hati yang merenungkan tentang kematian-Nya yang mengerikan itu, tapi sesungguhnya Jumat Agung bukan hanya semata tentang kesedihan dan kedukaan tentang kematian Yesus melainkan tentang kehidupan-Nya.
Hidup-Nya sungguh singkat tapi apa yang diperbuat-Nya sungguh melampaui waktu hidup-Nya. Apa yang diperbuat-Nya tetap dikenang oleh setiap generasi dari masa ke masa, karena memang kehidupan-Nya adalah sebuah pewartaan tentang belas kasih Allah kepada manusia. Apa rahasianya? Jangan tanyakan tentang bagaimana Ia telah mati, tetapi bagaimana Ia mengisi kehidupan-Nya yang singkat itu sehingga menjadi berkat bagi orang lain, bagi saudara dan aku.
Hari ini patutlak kita menangis dan berduka karena dosa-dosa kita yang membuat Ia harus tetap tergantung di salib itu, tapi permenungan kita tidak selamanya tentang sebuah peristiwa kematian, melainkan tentang kehidupan.
Kematian akan menjemput kita suatu waktu kiranya menjadi sesuatu yang pasti, dan tidak ada seorang manusia pun yang bisa mengelaknya. Oleh karena itu, jika hari ini Yesus mati dan menyebabkan duka nestapa bagi setiap hati, maka semuanya bukan tentang kenapa Ia harus mati tapi bagaimana Ia telah hidup sehingga menjadi kenangan indah bagi semua orang, termasuk dan khususnya bagi saudara dan aku.
Sekali lagi, aku mengulangi nasehatku dalam sebuah renungan terdahulu; “Marilah kita menghitung mundur waktu hidup kita mulai dari hari ini. Anggaplah hari ini adalah hari pertama dari sisa hari hidup yang diberikan oleh Tuhan kepadamu.”
Jangan pernah berpikir tentang bagaimana caranya Anda akan mati, tetapi tanyakanlah kepada dirimu, bagaimana Anda telah hidup dalam kurun waktu yang Tuhan telah berikan kepadamu sehingga mulai saat ini Anda akan menata kembali kehidupanmu.
Akhirnya, aku mengingatkan kembali lagi kepadamu sebagai saudaraku bahwa “sungguh, Yesus telah mati untuk saudara dan aku. Ia telah mati untuk kita semua agar dengan kematian-Nya, saudara dan aku bisa memperoleh kehidupan (keselamatan).”
Jika Ia telah mati agar kita hidup, maka marilah di sisa waktu hidup ini, kita pun merangkai kehidupan kita dengan cinta dan perbuatan baik.
Semuanya bukan demi menorehkan sebuah kenangan indah dalam hati dan pikiran generasi yang akan datang, tetapi demi keselamatanmu sendiri. Ingatlah bahwa Ia telah mati untuk kita, maka hendaklah kita hidup bukan saja untuk diri kita sendiri melainkan juga untuk orang lain.
Semoga saja hidup kita menjadi sumber inspirasi bagi orang lain sehingga mereka pun menatap kehidupan mereka sesuai dengan Firman Tuhan. (Sumber: Renungan Pagi dari Gereja Katolik/ucanews.com)
***Duc in Altum***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berbicara adalah hak asasi manusia dari setiap individu, tetapi gunakan hak itu sesuai dengan peraturan yang berlaku serta budaya lokal yang membangun. Salam kasih. Admin