Padanan “perikemanusiaan” dalam bahasa Inggris adalah “humanity”,
yang berasal dari kata Latin “homo” yang berarti manusia. Lalu muncul
istilah “humanisme”, yaitu sikap dan pandangan yang melihat manusia
sebagai seorang pribadi yang bernilai dalam dirinya sendiri, lepas dari
suku, masyarakat, dan negara. Manusia lebih berharga dari barang-barang
dan benda-benda duniawi.
Manusia bukan sebatang, seekor, sebutir, tapi
ia adalah seorang pribadi yang bermartabat. Paham perikemanusiaan
berpandangan bahwa setiap manusia memiliki kesamaan martabat.
Maka hak-hak asasi setiap orang harus dihormati. Kesamaan martabat
manusia jauh melampaui perbedaan ras, jenis kelamin, usia, keyakinan,
ideologi, dan agama seseorang. Akan tetapi apa yang terjadi
dalam masyarakat kita hari ini?
Dewasa ini pelaksanaan Pancasila, khususnya sila perikemanusiaan
belum berjalan sebagaimana seharusnya. Hak-hak asasi dilanggar,
bahkan tidak diakui. Orang kecil, yang tertindas, terpinggirkan
tidak memperoleh keadilan. Hukum sepertinya tajam ke bawah, tumpul ke
atas. Abortus provocatus ditolerir, kekerasan dalam rumah
tangga dibiarkan terjadi tanpa sanksi. Pelecehan seksual dianggap biasa.
Fundamentalisme, fanatisme, dan terorisme terjadi dan masih saja ada
orang yang menghalangi kebebasan agama dalam negara Pancasila ini.
Bahkan sering agama terjebak dalam ritualisme demi kesalehan pribadi
tapi sekaligus juga mengabaikan kesalehan sosial.
Muhamad Hatta pernah mengatakan bahwa kemanusiaan yang adil dan
beradab adalah kelanjutan dari Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan lain
kata, perikemanusiaan tak terpisahkan dari ketuhanan. Bahkan Pater N.
Driyarkara SJ menyatakan bahwa perikemanusiaan merupakan intisari
Pancasila. Perikemanusiaan Pancasila dijiwai oleh ketuhanan. Seorang
humanis Pancasila berusaha mengembangkan segala kemampuan yang
dianugerahkan Tuhan kepadanya. Setiap manusia adalah makhluk
ciptaan Tuhan yang istimewa. Manusia Pancasila mencintai Tuhan sekaligus
juga mencintai sesama manusia.
Dalam perumpamaan Orang Samaria yang Murah Hati (Luk 10:25-37), Yesus
menjawab pertanyaan, “Siapakah sesamaku manusia?” Yesus
menegaskan bahwa sesama bukanlah seorang yang jauh, tapi seorang yang
sangat dekat, yang menjadi tetangga; sebagai seorang yang ditemui secara
nyata; yang membutuhkan pertolongan pada situasi khusus pada saat itu.
Yesus tak mengajar tentang cinta bagi orang yang sangat jauh, tapi cinta
bagi sesama yang sangat dekat. Cinta bukan karena hubungan
sanak saudara, bukan karena persahabatan, keanggotaan keagamaan, dan
suku. Akan tetapi cinta diwujudkan bagi orang yang sedang menderita
dan membutuhkan pertolongan. Menegakkan keadilan harus dijiwai
spiritualitas kemanusiaan. Itulah perikemanusiaan yang harus menjiwai
kehidupan masyarakat kita hari ini yang ditandai pluralisme agama dan
budaya. Bahkan perikemanusiaan itu justru bersifat universal,
melampaui batas-batas bangsa dan negara.
Itulah sebab, Bung Karno menyamakan perikemanusiaan dengan
internasionalisme. Sejak proses penggalian Pancasila dari khazanah
budaya Indonesia, disadari sungguh bahwa perikemanusiaan bersifat
universal; kesamaan martabat manusia untuk saling mencintai. Sudah
barang tentu pemikiran Bung Karno berlatar belakang
pendidikannya, banyak literatur, pergaulan dan perkenalan dengan banyak
orang, termasuk dengan Pater van Lith SJ dan juga beberapa misionaris
SVD ketika Bung Karno dibuang ke Ende, Flores. Malah ketika Bung Karno
dibuang ke Bengkulu, ia mempersunting Fatmawati, siswi Sekolah Putri
yang diasuh para biarawati. Sikap perikemanusiaan para misionaris,
suster-suster, dan pertemuan dengan orang cilik, sudah barang tentu
membentuk wawasan Bung Karno tentang perikemanusiaan. Akhirnya
Bung Karno menjadi penyambung lidah rakyat untuk merumuskan Pancasila.
Jacobus Tarigan
Sumber Tulisan: Majalah HIDUP Edisi 52 Tanggal 25 Desember 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berbicara adalah hak asasi manusia dari setiap individu, tetapi gunakan hak itu sesuai dengan peraturan yang berlaku serta budaya lokal yang membangun. Salam kasih. Admin