HOME

Rabu, 20 Mei 2015

Kudus dari Tanah yang Terluka: Doa, Martabat, dan Misi Perdamaian dari Palestina

VATIKAN - Di tengah kabut konflik yang tak kunjung reda di Timur Tengah, sebuah cahaya kecil menyala dari Vatikan. Pada 17 Mei 2015, Paus Fransiskus mengkanonisasi dua perempuan luar biasa asal Palestina: Santa Mariam Baouardy dan Santa Marie Alphonsine Danil Ghattas. Mereka bukan hanya simbol kekudusan, tetapi juga saksi hidup dari iman yang bertahan di tengah penderitaan. Sehari setelah kanonisasi, Bapa Suci bertemu dengan para suster dari Tanah Suci dan memberi mereka sebuah misi yang menggugah: “Berdoalah kepada dua orang kudus baru itu untuk perdamaian di negeri Anda.”

Santa Mariam Baouardy (1846–1878), seorang mistikus dan pendiri Kongregasi Suster-suster Karmel Tak Berkasut di Betlehem, adalah perempuan yang hidup dalam keheningan kontemplatif namun menyala dalam semangat kenabian. Ia menghabiskan hidupnya melintasi Prancis, India, dan akhirnya kembali ke tanah kelahirannya untuk mendirikan komunitas doa di jantung konflik.

Sementara itu, Santa Marie Alphonsine Danil Ghattas (1843–1927), pendiri Kongregasi Suster-suster Rosario, mengabdikan hidupnya bagi pendidikan anak-anak miskin dan pelayanan sosial di Betlehem. Ia adalah simbol dari kerasulan awam yang hidup: membangun masa depan melalui pendidikan, kasih, dan pengorbanan.

Kanonisasi mereka bukan hanya pengakuan atas kekudusan pribadi, tetapi juga pengakuan atas martabat umat Kristiani di Palestina—sebuah komunitas yang selama puluhan tahun hidup dalam bayang-bayang pengusiran, kekerasan, dan diskriminasi.

Dalam audiensi dengan para suster dari Betlehem dan Yerusalem di Aula Clementine, Paus Fransiskus menyampaikan keprihatinan mendalam atas nasib umat Kristiani di Timur Tengah. Ia menyebut mereka sebagai korban dari “terorisme bersarung tangan putih”—sebuah istilah yang menggambarkan bentuk penganiayaan yang tidak selalu terlihat, namun sangat nyata: pengusiran diam-diam, penindasan sistemik, dan penghapusan identitas secara perlahan.

Sebagai seorang advokat dan aktivis kerasulan awam, saya melihat istilah ini sebagai refleksi tajam atas realitas global yang sering kali menormalisasi ketidakadilan. Ketika kekerasan tidak lagi berbentuk senjata, tetapi kebijakan; ketika penganiayaan tidak lagi berdarah, tetapi membungkam; di situlah kita dipanggil untuk bersuara.

Paus Fransiskus tidak hanya meminta para suster untuk berdoa. Ia mengajak mereka untuk menjadikan doa sebagai bentuk perlawanan spiritual terhadap kekerasan. Dalam pertemuan itu, mereka bersama-sama mendaraskan Salam Maria dalam bahasa masing-masing—sebuah simbol persatuan dalam keberagaman, dan kekuatan dalam kelembutan.

Doa, dalam konteks ini, bukan pelarian. Ia adalah tindakan profetik. Ia adalah pernyataan iman bahwa kasih lebih kuat dari kebencian, bahwa pengampunan lebih radikal dari balas dendam, dan bahwa perdamaian bukan utopia, melainkan panggilan.

Kanonisasi dua suster Palestina ini adalah momen penting bagi kerasulan awam. Ia mengingatkan kita bahwa kekudusan bukan monopoli para imam atau religius, tetapi panggilan semua orang beriman. Santa Alphonsine dan Santa Mariam adalah perempuan biasa yang melakukan hal-hal luar biasa karena mereka setia pada kasih.

Sebagai umat Katolik, kita dipanggil untuk meneruskan misi mereka: membangun perdamaian, memperjuangkan keadilan, dan menjadi saksi kasih Allah di tengah dunia yang terluka. Dalam konteks sosial, ekonomi, dan hukum, kerasulan awam harus menjadi jembatan antara iman dan kehidupan nyata.

Dari Betlehem—tempat kelahiran Sang Juru Selamat—lahir dua kudus yang kini menjadi teladan global. Mereka adalah suara dari tanah yang terluka, namun tidak menyerah. Mereka adalah wajah Gereja yang menderita, namun tetap bersinar.

Paus Fransiskus telah menugaskan kita semua, bukan hanya para suster, untuk berdoa dan bertindak demi perdamaian. Sebab seperti kata Rasul Paulus, “Kerajaan Allah adalah kebenaran, damai sejahtera, dan sukacita dalam Roh Kudus” (Rm 14:17).

Mari kita terus mewartakan kasih dan cinta Allah kepada dunia—dengan doa, dengan tindakan, dan dengan hidup kita sendiri.

️ Oleh: Darius Leka, S.H., M.H., Advokat & Aktivis Kerasulan Awam Gereja Katolik

 

#santamariambaouardy #santaalphonsineghattas #kanonisasipalestina #kerasulanawam #gerejakatolik #doauntukperdamaian #terorismebersarungtanganputih #pausfransiskus #gerejayangmenderita #imanyangbertindak #shdariusleka #reels #foryou #fyp #jangkauanluas @semuaorang

9 komentar:

Berbicara adalah hak asasi manusia dari setiap individu, tetapi gunakan hak itu sesuai dengan peraturan yang berlaku serta budaya lokal yang membangun. Salam kasih. Admin