HOME

Selasa, 21 Februari 2017

Dari Su’i Uwi untuk Indonesia

Pasbanminpol RD Rofinus Neto Wuli S.Fil, M.Si (Han) memimpin ritus Su'i Uwi. (Foto: Eman Umbu Billi)
Dari inspirasi perayaan Reba, saya pun sadar bahwa Indonesia yang kaya akan budaya adalah kekuatan potensial paling terutama yang mampu menjaga kebhinekaan.

Oleh Redem Kono

“Go buku gua reba uwi kena…puu mema ngata da dela da nena-ulu ngia kita. Kia ko’e le dhepo, siza do mori pera go adha gua, raba go muzi kita le modhe-dhudha.”- Reba berasal dari kehendak leluhur yang diwariskan secara turun-temurun. Kami wajib mengikuti dan melestarikannya karena Reba merupakan peraturan adat (adha-gua) yang mengatur-menuntun demi kebahagiaan kita.

Saya menemukan kata-kata di atas dalam lembaran buku perayaan inkulturasi Reba masyarakat Ngada Se-Jabodetabek. Tulisan ini turut mengantar saya dalam rasa ingin tahu untuk terlibat dalam perayaan Reba di Anjungan Provinsi NTT, Taman Mini Indonesia Indah itu, Sabtu (18/10/2016).

Ketika saya tiba, anjungan pada pukul 15. 30 WIB sudah ramai. Banyak warga Ngada hadir dalam kegiatan ini. Atribut pakaian adat Ngada yang dipakai tampak menyemarakkan suasana seperti boku (kain ikat yang dikenakan dengan cara dililit menyerupai kerucut di kepala sebagai pengganti topi; mari ngia (secarik kain yang diberi dekor khusus sebagai lambang mahkota dan berfungsi sebagai penahan/pengikat boku); lu’e (kain hitam bermotif kuda putih atau biru yang dilipat sedemikian rupa dengan cara mengenakannya berbentuk menyilang di punggung; sapu (kain hitam yang juga bermotif kuda putih atau biru yang dipakai menggantikan celana/ jubah yang merupakan pasangan dari lu’e); keru (ikat pinggang yang ditenun dengan cara khusus dan bermotif kuda yang berfungsi sebagai penahan sapu.; sau (parang adat yang dilengkapi dengan asesorisnya berupa bulu kuda putih pada gagang dan ekor yang terbuat dari rangkaian bulu ayam  dan lega lua rongo (keranjang yang dianyam dengan bentuk khusus yang diberi aksesoris bulu kuda pada bagian tulang kiri, kanan dan bawah, dan diberi tali untuk digantung pada pundak).

Kegembiraan saya bertambah ketika Panitia menyodorkan pakaian adat Ngada.  Perayaan ini adalah perayaan bersama. Rasa bangga dan agung muncul ketika pakaian adat Ngada tersebut dikenakan. Saya pun antusias mengikuti perayaan Reba.


Perayaan Reba
Dr Hubert Muda, SVD seorang pemerhati budaya Ngada mengatakan Reba merupakan sebuah fenomena keagamaan dan merupakan ritus asli yang dirayakan tiga tahun oleh masyarakat Ngada. Waktu perayaan Reba tidak tetap, karena biasanya dilakukan kurun waktu akhir Desember sampai pada akhir Februari. Orang Ngada menggunakan kata Reba untuk mengungkapkan dua hal: sebagai nama bulan dan kedua sebagai perayaan tahun baru.

“Reba bermakna sebagai ungkapan syukur atas penyelenggaraan Dewa Zeta Nitu Zale (Tuhan) sekaligus mohon penyertaan Tuhan terhadap perjalanan selanjutnya”, demikian tulis Dr Hubert.

Sebagai ungkapan syukur, perayaan Reba dikemas dalam bentuk perayaan ibadat inkulturasi Katolik. Ibadat inkuturasi mementaskan perpaduan budaya Ngada dalam tradisi Katolik sebagai wujud puji syukur kepada Tuhan. Dirayakan dengan cara Katolik karena mayoritas masyarakat Ngada beragama Katolik.

Perayaan Reba dimulai pada jam 17.00 ketika para pastor dan petugas ibadat masuk ke ruangan acara dengan berpakaian adat Bajawa secara lengkap. Ibadat ini dipimpin Pastor Ronny Neto Wuli, seorang putra Ngada yang kini bertugas di Keuskupan untuk Umat Katolik TNI/POLRI di Indonesia.

“Tema Reba kali ini adalah Reba: Merawat Harmoni dalam Kebhinekaan untuk Indonesia Damai. Kita harapkan agar dari Reba ini, kita dapat menata dan membangun kehidupan bersama, baik dalam kehidupan pribadi, keluarga, dan bangsa dan Negara. Kita merayakan Reba dalam situasi Indonesia yang majemuk, plural dan multikultural,”ungkap Pastor Ronny dalam pembukaan perayaan Reba.

Reba mengajarkan bahwa membangun hidup bersama perlu berlandas pada asas perdamaian. RD Silverius Betu, imam Keuskupan Ende yang membawakan kotbah pada kesempatan mengatakan bahwa Reba mengajarkan untuk melawan kekerasan tanpa kekerasan. Reba menganjurkan komunitas kasih yang penting untuk melawan kekuatan-kekuatan kekerasan yang bersembunyi di balik konflik.

“Komunitas kasih yang dirayakan dalam Reba merupakan komunitas pembawa damai yang menjadi penopang bagi berbagai kegiatan untuk mewujudkan damai. Karena itu, budaya Reba mengajak kita menjadi manusia yang mengatasi masalah bukan manusia yang membawa masalah, menjadi pembawa damai di manapun kita berada,” ujar Romo Silverius, yang kini melanjutkan studinya di Universitas Pertahanan Indonesia Kajian Damai dan Resolusi Konflik tersebut.

Ritus Su’i Uwi
Perayaan Reba berjalan dengan khidmat diiringi paduan suara yang menari-nari kegirangan. Perayaan syukur memang dicirikan dalam kegembiraan bersama. Namun, puncak dari Reba yang paling menarik adalah ritus Su’i Uwi. 

“Melalui Ritus Su’i Uwi ini yang merupaka n inti dari perayaan Reba, ungkapan puji syukur dan doa senantiasa dipanjatkan. Ritus ini mengekspresikan sikap keagamaan orang Ngada sendiri. Orang Ngada memberikan pujian kepada Tuhan sebagai Dewa Tunggal atas kehidupan yang telah memberikan kehidupan melalui uwi (ubi) sebagai simbol santapan jasmani,” papar Romo Ronny.

Pada intinya struktur narasi dalam Su’i Uwi mengenang asal muasal para leluhur, ucapan terima kasih kepada Tuhan, ungkapan kebersamaan, dan pemotongan ubi. Dari narasi tersebut, saya pun tahu bahwa nenek moyang Ngada yang diciptakan Tuhan berasal dari Cina, dengan rute Cina-Saylon-Jawa-Bima-Ngada yang tertuang dalam kalimat-kalimat narasi. Perjalanan Cina-Ngada bukan hanya perjalanan fisik, tetapi juga ziarah batin. Saya kutip beberapa bagian penting:
Uwi puu zeta lena, da kili molo kago wana da naa sili ana wunga…..Suiii oo Uwi (Ubi dari Allah yang diberikan kepada Sili Ana Wunga…Pecahlah Ubi )
Sili ngodho pu’u zeta zili Sina one, nono gha wai kawi kao, lete gha wai koba leke peja Selo one, Nenga jo jo dia…. Suiii oo Uwi (Sili datang dari Cina nan Jauh, menembus hutan belantara mendekat ke sini…Pecahlah Ubi).

Zili gha Jawa one, Nenga na na feti fao, na na leghe lapi, keso gha nee uli molo, nenga jo jo dia Suiii oo Uwi…. Suiii oo Uwi  (Tiba dan beristirahat di Jawa, lalu terus berlayar dengan perahu layar…Pecahlah Ubi)

Dstnya….

Ritus Su’i Uwi sebagai puncak budaya bertemu dengan perayaan Ekaristi, sebagai puncak dan pusat kehidupan umat Katolik. Kedua-duanya merupakan ucapan syukur yang dipertemukan dalam perayaan iman. Di sini mau ditampilkan bahwa iman dan  adat adalah ungkapan universal keagamaan yang saling melengkapi demi kebaikan bersama.

“Adanya titik temu ini pada akhirnya diharapkan bahwa ungkapan puji syukur kepada Yang ilahi secara mendalam terungkap dalam situs Su’i Uwi sebagai bagian inti Reba akan bisa dipersatukan dengan pujian dan pengorbanan dalam perayaan Katolik,” jelas Pastor Ronny.

Karenanya, Pastor Ronny dengan pakaian adat kebesaran Ngada memimpin Su’i Uwi tersebut dengan seruan menggelegar; teriakan adat penuh syukur yang menyita perhatian para hadirin. Ada situasi mistik yang dibangun dari narasi-narasi adat yang ada dalam Su’i Uwi. 

Maka ketika Pastor Ronny membelah ubi, setelah narasi ritus Su’i Uwi dibacakan,  tepuk tangan riang dari semua yang hadir bergema. Warga masyarakat Ngada bergembira karena telah diberikan kesempatan untuk mengurai kenangan masa lalu tentang leluhur, tetapi kenangan situ disyukuri karena ada kesadaran kultural bahwa Allah selalu menyertai mereka.

Perayaan kebhinekaan
Paul Arndt, seorang etnolog terkenal dari Eropa yang membaktikan hidupnya selama bertahun-tahun untuk melakukan penelitian bahasa dan suku-suku asli di Flores (1924-1926) menulis: “Reba adalah pesta terbesar untuk orang Ngada, baik dalam makna maupun perayaan lahiriahnya. Perayaan Reba menjadi perayaan penuh makna karena semua orang Ngada mengungkapka syukur atas anugerah kehidupan di tahun lalu, sekaligus memohon berkat untuk hidup yang baru.”

Apa yang ditunjukkan Arndt bahwa syukur harus menjadi bagian dari perjalanan kehidupan ini. Hidup yang diberikan oleh Tuhan harus menjadi kesempatan syukur untuk mengisinya dengan kehidupan yang bermakna. Di sini, Reba yang merayakan ingatan kolektif tentang kebersamaan, kesederhanaan, cinta kasih, dan penghormatan menjadi nilai-nilai penting yang sangat dibutuhkan di tengah ancaman terhadap kebhinekaan.

Brigjen TNI Djacob Sarosa dari Sekretariat Kemiliteran Presiden (Setmilpres) yang hadir mengakui bahwa perayaan Reba memiliki makna yang sangat besar bila dikaitkan dengan kebhinekaan. Menurut Jenderal Sarosa, budaya harus dikembangkan untuk mendukung terciptanya Indonesia yang saling menghargai satu sama lain.

“Kami sangat senang sekali diundang dalam Perayaan Reba ini. Sebelumnya kami hanya mengenal inkulturasi dari kebudayaan Jawa tempat kami lahir. Tetapi hari ini kami dapat pengalaman baru yang indah, di mana kami kita bisa bergembira dan menari bersama tentang perbedaan di antara kita. Acara adat seperti ini sangat perlu dilanjutkan di masa yang akan datang.”

Jenderal Jacob benar. Dari perayaan Reba, saya pun sadar bahwa Indonesia yang kaya akan budaya adalah kekuatan potensial paling terutama, yang mampu menjaga kebhinekaan. Berbeda itu harus disyukuri sebagai bagian dari anugerah Tuhan. Su’i Uwi mengajarkan agar harus menyukuri kebersamaan ber-Indonesia sebagai kekayaan bangsa yang indah dan khas. Berbeda itu indah, berbeda itu kekuatan ketika nilai-nilai budaya Indonesia diberikan tempat dalam nuansa hormat akan kebhinekaan.

Terima kasih untuk sumbangan nilai-nilai emas Su’i Uwi dari perayaan Reba untuk Indonesia. *Penulis adalah wartawan IndonesiaSatu.co






Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berbicara adalah hak asasi manusia dari setiap individu, tetapi gunakan hak itu sesuai dengan peraturan yang berlaku serta budaya lokal yang membangun. Salam kasih. Admin