HOME

Senin, 20 Maret 2017

Ketika Bumi Sakit Kian Parah

Maraknya bencana lingkungan hidup selama ini tak dapat dipisahkan dari ketiadaan strategi pemerintah dalam pengelolaan pembangunan berkelanjutan. Fakta ini mengakibatkan bencana lingkungan dan bumi yang kian sakit parah.

Tidak adanya upaya dari pemerintah untuk memecah kebuntuan dalam penanganan kasus-kasus lingkungan, seperti kasus pencemaran Teluk Buyat, Kasus Import Limbah B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun), kasus PT Freeport Indonesia di Papua, kasus pencemaran sumber air minum di hampir semua sungai sumber mata air di Jawa, kasus perusakan dan kebakaran hutan sampai pada kasus sampah di beberapa kota besar yang kini nyata terbukti.

Fakta bencana lingkungan yang terjadi, dapat terlihat dari besarnya peluang krisis energi, buruknya pengelolaan tata ruang, terjadinya bencana alam, rusaknya hutan Indonesia serta sekelumit masalah peracunan lingkungan lainnya yang tidak pernah terselesaikan.

Krisis energi saat ini telah mengancam masyarakat yang lemah secara ekonomi, untuk mendapatkan akses energi yang layak, hal ini terbukti dengan semakin mahalnya harga Bahan Bakar Minyak (BBM) dan listrik akhir-akhir ini.

Kebijaksanaan penggunaan Batubara yang dicanangkan pemerintah dengan mengeluarkan Kebijakan Energi Nasional (KEN) melalui PP No. 5 Tahun 2006 sebagai pembaruan Kebijaksanaan Umum Bidang Energi (KUBE) tahun 1998. Tujuannya adalah untuk menciptakan keamanan pasokan energi nasional secara berkelanjutan dan pemanfaatan energi secara efisien, serta terwujudnya bauran energi (energy mix) yang optimal pada tahun 2025 seperti BBM harus dikurangi dengan memanfaatkan sumber energi alternatif seperti batubara karena tidak didasari oleh hasil kajian kondisi sosial masyarakat dan ekologi, justru melahirkan kebingungan dan potensi pencemaran dan perusakan lingkungan dimasa mendatang. Fakta lain, soal deforestasi hutan yang tidak kunjung dapat teratasi, mengisyaratkan gagalnya penanganan pemerintah terhadap aktivitas yang merusak hutan baik illegal logging maupun konversi hutan dan lahan.

Terbitnya kebijakan pro lingkungan selama ini nyatanya harus berbenturan dengan kebijakan yang justru memfasilitasi proses ekploitasi lingkungan. Sebut saja, kebijakan pemberantasan Illegal Logging ternyata dibenturkan dengan kebijaksanaan perijinan tambang di hutan lindung, serta kebijaksanaan pengembangan wilayah perbatasan.

Salah satu permasalahan kebijaksanaan yang belum dikedepankan oleh pemerintah selama ini adalah bahwa dalam penyusunan kebijaksanaan pengelolaan lingkungan, Pemerintah tidak memiliki dan menerapkan asas-asas umum kebijakan lingkungan (General Principles of Environmental Policy) yang secara umum telah dipergunakan di negara-negara yang memiliki komitmen tinggi dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan.

Spiritualitas ekologis
Kita merasakan bumi yang makin panas, banjir, serta pencemaran udara, air, dan tanah; semua itu adalah masalah yang menimbulkan banyak dampak negatif bagi manusia. Gaya hidup manusia yang tidak ramah lingkungan dan eksploitasi alam yang berlebihan telah membuat alam ini berduka. Lingkungan hidup menjadi rusak dan terjadilah ketidakadilan ekologi.

Mengapa lingkungan hidup kita menjadi rusak? Adakah cara pandang dan sikap manusia yang salah terhadap alam? Tentu saja. Pemahaman dan cara pandang orang terhadap lingkungan hidup memengaruhi sikap mereka dalam memperlakukan alam. Misalnya ada pandangan bahwa manusia adalah pusat alam semesta (anthroposentris). Manusia dan kepentingannya dianggap yang paling menentukan dalam tatanan ekosistem. Alam dilihat hanya sebagai objek, alat, dan sarana bagi pemenuhan kebutuhan dan kepentingan manusia. Alam hanya bernilai sejauh menunjang kepentingan manusia. Tentu pandangan seperti itu menghasilkan sikap yang tidak bersahabat dengan alam.

Lalu, bagaimanakah pandangan kita (orang Kristiani) terhadap alam atau lingkungan hidup? Alkitab sebagai sumber nilai dan moral kristiani menjadi pijakan dalam memandang dan mengapresiasi alam. Alkitab sebenarnya mengajak manusia memberikan penghargaan yang tinggi terhadap ciptaan Allah lainnya, termasuk alam atau lingkungan hidup.

Aksi Puasa Pembangunan (APP) 2017, Keuskupan Bogor mengangkat tema yang berkaitan dengan ekologi. Sebuah ajakan khususnya Orang Muda Katolik (OMK) untuk menyadari bahwa seluruh ciptaan berharga di mata Tuhan, membawa kita untuk membangun sikap solidaritas dengan alam. Kita memperlakukan lingkungan hidup sebagai sesama ciptaan yang harus dikasihi, dijaga, dipelihara, dan dipedulikan. Kita mencintai dan memperlakukan lingkungan hidup dengan sentuhan kasih sebagaimana sikap Tuhan.

Orang Muda Katolik Penunjang Keluarga Berwawasan Ekologis merupakan spiritualitas ekologis yang akan dibangun dengan dasar penghayatan iman bahwa semua ciptaan diselamatkan dan dibaharui oleh Tuhan.

Spiritualitas ekologis memunyai dasar pada pengalaman manusiawi yang berhadapan dengan kehancuran lingkungan hidup sekaligus berhadapan dengan pengalaman akan yang Mahakudus, yang mengatasi segalanya. Dalam pengalaman ini, kita dipanggil untuk secara kreatif memelihara bumi, dipanggil untuk bersama Sang Penyelenggara hidup ikut serta mengusahakan sukacita, kesejahteraan bersama dengan seluruh alam.

Spiritualitas ekologis terwujud dalam macam-macam tindakan etis sebagai wujud tanggung jawab untuk ikut memelihara lingkungan hidup.

Selama ini gereja hanya berkonsentrasi pada kegiatan-kegiatan yang bersifat rohani atau kegiatan lain yang melayani manusia. Kini saatnya gereja menyadari bahwa gereja memiliki tugas panggilan menjaga keutuhan ciptaan atau kelestarian lingkungan hidup yang nyata di masyarakat.

_____________________________
Darius Leka, SH (Koordinator Kerasulan Awam, Paroki Santo Paulus Depok)/ Lokasi foto: Jogyakarta, 10 September 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berbicara adalah hak asasi manusia dari setiap individu, tetapi gunakan hak itu sesuai dengan peraturan yang berlaku serta budaya lokal yang membangun. Salam kasih. Admin