HOME

Jumat, 12 Desember 2025

Antara Undangan dan Iman; Menyikapi Perayaan Natal Sebelum 25 Desember

KOTA DEPOK - Gereja Katolik tidak melarang umat menghadiri acara bertema Natal sebelum 25 Desember, tetapi menegaskan bahwa perayaan liturgis Natal secara resmi dimulai pada malam 24 Desember. Umat diajak menjaga semangat Adven sebagai masa penantian dan persiapan rohani.

Di tengah gegap gempita lampu hias dan denting lagu “Silent Night” yang mulai terdengar sejak awal Desember, umat Katolik dihadapkan pada dilema yang tak jarang muncul setiap tahun: undangan perayaan Natal sebelum tanggal 25 Desember. Apakah boleh dihadiri? Apakah itu melanggar ajaran Gereja? Atau justru menjadi kesempatan untuk mewartakan kasih Kristus?

Gereja Katolik menetapkan masa Adven sebagai empat pekan sebelum Natal, dimulai dari Minggu Adven I hingga menjelang malam Natal pada 24 Desember. Masa ini bukan waktu untuk berpesta, melainkan untuk mempersiapkan hati, bertobat, dan menantikan kedatangan Kristus dengan penuh harap dan kerendahan hati.

Dalam tradisi liturgi, Natal baru dirayakan secara resmi pada malam tanggal 24 Desember, dikenal sebagai Vigili Natal, dan berlangsung hingga Hari Raya Penampakan Tuhan (Epifani) pada awal Januari. Maka, segala bentuk perayaan Natal sebelum tanggal tersebut tidak termasuk dalam perayaan liturgis resmi Gereja.

Sebagai umat Katolik yang hidup di tengah masyarakat majemuk, kita tentu tidak bisa menghindari undangan dari sekolah, kantor, atau komunitas yang mengadakan “perayaan Natal” lebih awal. Dalam konteks ini, penting untuk membedakan antara perayaan sosial dan perayaan liturgis.

  • Perayaan sosial seperti konser, bakti sosial, atau pertemuan bertema Natal sebelum 25 Desember boleh dihadiri, selama tidak menggantikan makna liturgis Natal dan tidak mengaburkan semangat Adven.
  • Perayaan liturgis (Misa Natal) tidak boleh dilakukan sebelum 24 Desember malam, karena bertentangan dengan kalender liturgi Gereja.

Dengan demikian, umat Katolik tetap dapat hadir dalam acara sosial tersebut sebagai bentuk keterlibatan sosial dan evangelisasi, namun tetap menjaga sikap batin yang sesuai dengan semangat Adven: hening, reflektif, dan penuh harapan.

Sebagai aktivis kerasulan awam, saya percaya bahwa kehadiran kita dalam perayaan sosial bertema Natal sebelum 25 Desember justru bisa menjadi kesempatan untuk mewartakan makna sejati Natal. Bukan dengan menghakimi, tetapi dengan memberi kesaksian melalui sikap, kata, dan tindakan.

Komunitas kerasulan awam dapat memanfaatkan momen ini untuk menyisipkan nilai-nilai Injil: mengajak berbagi dengan yang miskin, menyuarakan keadilan sosial, dan menanamkan semangat damai. Natal bukan sekadar pesta, melainkan perayaan kasih Allah yang menjadi manusia.

Gereja tidak melarang umat menghadiri acara bertema Natal sebelum 25 Desember, tetapi mengajak kita untuk menjaga kekudusan makna Natal dan menghormati masa Adven sebagai waktu persiapan rohani. Dalam dunia yang serba cepat dan instan, kesetiaan pada ritme liturgi adalah bentuk kesaksian iman yang kuat.

Maka, ketika undangan datang, mari hadir dengan bijak. Bukan untuk berpesta lebih awal, tetapi untuk menjadi saksi kasih yang sabar menanti, seperti Maria yang mengandung dalam diam, menanti kelahiran Sang Juruselamat.

 

Oleh Darius Leka, S.H., M.H. – Advokat dan Aktivis Rasul Awam Gereja Katolik

#shdariusleka #reels #foryou #fyp #jangkauanluas @semuaorang #katolik #adven #natal #kerasulanawam #kasihAllah #gerejakatolik #imanliturgi #maknanatal

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berbicara adalah hak asasi manusia dari setiap individu, tetapi gunakan hak itu sesuai dengan peraturan yang berlaku serta budaya lokal yang membangun. Salam kasih. Admin