Kita tidak bisa melupakan pernyataan Sokrates yang paling terkenal ini: "the unexamined life is not worth living". Hidup yang tidak teruji, tidak layak untuk dijalani.
Dalam pandangan modern, keyakinan ini sering dikaitkan juga
dengan dimensi naratif kehidupan kita. "Life in quest of narrative",
kalau dilihat dari perspektif Paul Ricoeur. Hidup yang tidak dikisahkan
kembali, akan dilupakan begitu saja, dan dengan demikian, hidup seperti ini menjadi
tidak penting. "Un-narrated life is not worth living".
Hidup yang dijalani sebaiknya dinarasikan kembali, karena di
satu pihak, melalui narasi, hidup memilik kisah, mempunyai ceritera dan sejarah
(life has story); dan dipihak lain, setiap kisah, ceritera dan sejarah yang
dinarasikan kembali, tentu selalu
berkaitan tentang suatu kehidupan (story has life).
Sering kita memisahkan antara hidup dan narasi. Bahwa hidup
itu dijalani/dihidupkan (life is lived), sedangkan narasi adalah bagian dari
suatu kisah (a story is told). Sesungguhnya, keduanya tidak boleh dilihat
demikian. Hidup harus dinarasikan agar
terbuka kemungkinan bagi kita untuk sanggup menjalani hidup kita dengan lebih
baik. Dan melalui narasi tentang hidup, kita dihantar masuk ke dalam dunia
kreativitas dan imajinasi yang baru. Pengalaman hidup kita sebagai manusia
tidak boleh dipisahkan dari kesanggupan naratif kita untuk mengisahkan kembali
jalan-jalan kehidupan ini.
Kita menyadari bahwa masih banyak kisah hidup yang belum
diceriterakan (stories not yet told). Mereka menuntut kita untuk mengisahkannya
kembali. Kita tentu tidak suka mendasarinya
pada suatu narasi fiktif, tetapi pada narasi nyata yang kreatif. Sebuah
fiksi hanya menjadi lengkap bila ia dipertautkan dengan kehidupan nyata, dan setiap kehidupan
nyata hanya menjadi sempurna apabila
dinarasikan kembali.
Oleh karena itu, hidup yang teruji adalah hidup yang dikisahkan kembali dengan baik. Inilah
yang menjadi alasan mengapa kita, manusia, memiliki identitas naratif. Dan
identitas ini membuat masing-masing kita menjadi pribadi yang unik, karena
setiap kita memiliki "a story of life".
Jadi, kita perlu belajar kembali untuk menjadi seorang
"narator" kehidupan kita. Karena hanya dengan demikian, kita mengerti
diri kita bahwa kita adalah "a hero of our own story" dengan tanpa
perlu menjadi "an author of our own life". Kita mengerti dan menerima
diri kita melalui semua kisah yang telah terjadi pada kita; dan pada saat yang
sama, kesanggupan kita membaca seluruh kisah tentang diri kita, boleh dikatakan
sebagai seni tentang konfigurasi diri. Inilah bagian esensial dari "self
understanding".
Tidak ada jalan pintas untuk mengerti diri. Kita selalu mengerti diri kita melalui
yang lain. Kata-kata Richard Kearney ini benar: "the shortest route from
self to self is through the other".
Kita tidak pernah cukup. Tidak pernah sempurna.
Randem VL/ Gorup Sahabat Vox Point Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berbicara adalah hak asasi manusia dari setiap individu, tetapi gunakan hak itu sesuai dengan peraturan yang berlaku serta budaya lokal yang membangun. Salam kasih. Admin