SIBOLGA — Di tengah deru banjir dan longsor yang melanda Sumatera, ketika banyak hati diliputi duka dan ketidakpastian, sebuah kisah harapan muncul dari Pandan, wilayah Keuskupan Sibolga. Di sanalah berdiri Biara San Damiano, rumah doa dan pelayanan para Suster Fransiskan OSF. Pada hari-hari penuh kecemasan itu, sebuah peristiwa luar biasa terjadi: bukit yang longsor akibat hujan deras terhenti tepat di depan gerbang biara. Tidak satu pun suster terluka. Tidak satu pun bangunan utama rusak. Seolah tangan tak terlihat menahan laju kehancuran.
Peristiwa ini bukan sekadar kebetulan geologis. Bagi banyak
umat, ini adalah tanda penyertaan ilahi. Di tengah bencana yang
meluluhlantakkan rumah-rumah dan merenggut nyawa, Tuhan menunjukkan bahwa Ia
hadir. Bahwa di tengah badai, ada perlindungan. Bahwa di tengah kehancuran, ada
tempat yang tetap berdiri teguh sebagai saksi kasih-Nya.
Uskup Agung Medan, Mgr. Kornelius Sipayung, OFMCap, dalam
pernyataannya mengajak seluruh umat untuk tidak hanya bersyukur atas
keselamatan para suster, tetapi juga untuk terus mendoakan para korban bencana
di berbagai wilayah. “Tuhan hadir dalam setiap peristiwa. Namun kita dipanggil
untuk menjadi perpanjangan tangan-Nya melalui solidaritas dan kepedulian
nyata,” ujarnya.
Sebagai seorang aktivis kerasulan awam, saya percaya bahwa
mukjizat bukanlah akhir dari kisah, melainkan awal dari panggilan. Ketika kita
menyaksikan tanda kasih Allah, kita tidak boleh diam. Kita harus bergerak. Kita
harus menjadi saksi.
Di berbagai wilayah Keuskupan Sibolga dan sekitarnya,
komunitas awam segera merespons. Posko bantuan didirikan. Dapur umum dibuka.
Bantuan logistik dikumpulkan. Para relawan—dari OMK, WKRI, hingga kelompok
kategorial—turun langsung ke lapangan. Mereka tidak hanya membawa makanan dan
pakaian, tetapi juga harapan dan kehadiran.
Inilah wajah Gereja yang hidup. Gereja yang tidak hanya
berdoa di altar, tetapi juga hadir di lumpur. Gereja yang tidak hanya
berkhotbah, tetapi juga memeluk yang terluka.
Peristiwa di Biara San Damiano mengingatkan kita pada kisah
Musa yang membelah Laut Merah, atau Daniel yang selamat dari gua singa. Namun
mukjizat hari ini tidak terjadi di padang gurun, melainkan di tengah masyarakat
kita. Di tengah banjir. Di tengah longsor. Di tengah penderitaan.
Dan seperti para nabi dahulu, kita pun dipanggil untuk
menanggapi mukjizat itu dengan pertobatan, penguatan iman, dan keterlibatan
nyata. Kita dipanggil untuk menjadi Gereja yang relevan—yang tidak hanya
berbicara tentang surga, tetapi juga hadir dalam luka dunia.
Bukit yang berhenti di gerbang biara adalah simbol. Simbol
bahwa kasih Allah lebih kuat dari bencana. Simbol bahwa doa dan pelayanan
berjalan beriringan. Simbol bahwa ketika dunia runtuh, iman bisa menjadi
fondasi yang tak tergoyahkan.
Mari kita terus berdoa bagi para korban bencana. Mari kita
perkuat solidaritas. Mari kita jadikan setiap mukjizat sebagai panggilan untuk
mewartakan kasih dan cinta Allah kepada dunia.
Oleh; Darius Leka, S.H., M.H. — Advokat & Aktivis Kerasulan Awam Katolik
#shdariusleka #reels #foryou #fyp #jangkauanluas
#mukjizatTuhan #sanDamiano #OSFSibolga #bencanaanam #kerasulanawam
#gerejakatolik #kasihAllah #imanaktif #gerejabergerak #keuskupansibolga

Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berbicara adalah hak asasi manusia dari setiap individu, tetapi gunakan hak itu sesuai dengan peraturan yang berlaku serta budaya lokal yang membangun. Salam kasih. Admin