Hari Pangan Sedunia 2012, Keuskupan Bogor
a. Manusia dan Sumber Daya Pangan
Pada hari keenam Allah
menciptakan manusia. Manusia diciptakan sebagai puncak dari segala makhluk
ciptaan Allah. Tuhan menaruh perhatian istimewa kepadanya. Allah memberkati
mereka dan memberikan perintah kepada mereka untuk beranak cucu dan untuk
menguasai segala binatang yang diciptakan-Nya itu. Allah juga memberikan kepada
mereka segala tumbuh-tumbuhan yang berbiji dan pohon-pohonan yang buahnya
berbiji sebagai makanan mereka. Sedangkan kepada binatang-binatang yang
diciptakan-Nya Allah memberikan tumbuh-tumbuhan hijau sebagai makanan mereka.
Manusia hidup dari buah-buahan, tumbuh-tumbuhan dan hewan hasil perburuan.
Keadaan dunia sebagaimana dimaksudkan semula oleh Allah adalah kehidupan yang
serba damai. Keadaan ideal ini terganggu ketika manusia jatuh ke dalam dosa (bdk.
Kej. 9,3).
Dosa manusia ditampakkan dalam
perubahan cara pandang, sikap dan tindakan manusia terhadap alam ciptaan. Alam
ciptaan ditempatkan sebagai oybek dan pemenuhan kebutuhan dan keberlangsungan
hidup manusia. Pekerjaan memelihara alam ciptaan sebagai tugas dan perutusan
yang diberikan Allah kepada manusia digantikan dengan menguasai dan
mengeksploitasi sumber daya alam yang tanpa batas. Hal ini mengakibatkan dampak
pada kerusakan lingkungan, mengancam kelestarian alam ciptaan, dan bahkan
membahayakan keberlangsungan hidup manusia sendiri. Sumber daya pangan yang
terkandung dalam sumber daya alam pun menjadi rusak. Kerusakan ini akan sangat
mempengaruhi kecukupan dan keberlangsungan pangan bagi hidup manusia. "Di
balik perusakan alam yang bertentangan dengan akal sehat ada kesesatan
antropologis, yang sayangnya memang sudah tersebar luas. Manusia bukannya
menjalankan tugasnya bekerjasama dengan Allah di dunia. Ia justru malahan mau
menggantikan tempat Allah, dan dengan demikian akhirnya membangkitkan
pemberontakan alam, yang tidak diaturnya, tetapi justru diperlakukan secara
sewenang-wenang" (Centisimus Anus art. 37).
Manusia harus menyadari bahwa
kuasa yang diberikan Allah kepadanya bukanlah kuasa untuk memanipulasi dan
mendominasi. Peran Allah dalam mencipta dan memelihara seluruh alam, juga
menjadi tugas manusia. Manusia harus membangun kembali alam yang telah rusak
dan memelihara kelestariannya. Dengan demikian, alam semesta sebagai sumber
daya dukung pangan bagi kebutuhan hidup manusia terjaga untuk memenuhi
kecukupan pangan keberlangsungan hidup manusia.
b. Situasi dan Kondisi
Pangan Indonesia
Pangan merupakan kebutuhan dasar
yang permintaannya terus meningkat seiring dengan perkembangan jumlah penduduk
dan peningkatan kualitas hidup. Pada saat ini situasi pangan di Indonesia cukup
kritis. Departemen Kesehatan mencatat sekitar 5 juta atau 27,5 persen balita
menderita kurang gizi dan 1,5 juta di antaranya memiliki status gizi buruk.
Selain itu 110 kabupaten/kota ada kecenderungan memiliki balita kurang gizi
(termasuk gizi buruk) di atas 30 persen. Menurut WHO (Badan Kesehatan PBB),
kecenderungan gizi buruk Indonesia masuk kategori sangat tinggi (Data Depkes,
2005).
Lemahnya kemampuan Indonesia
dalam memproduksi aneka bahan pangan menyebabkan besarnya ketergantungan
terhadap pangan impor. Tahun 2007 impor beras rata-rata 2 juta ton per tahun,
gula 1,6 juta ton, jagung 1,5 juta ton, kedelai 1,2 juta ton, gandum 4,5 juta
ton, sapi 400.000 ekor, daging beku 30.000 ton, sementara impor susu dan produk
turunannya mencapai 70 persen dari total kebutuhannya. Lemahnya produksi pangan
nasional salah satunya disebabkan oleh sempitnya lahan pertanian. Luasan lahan
pertanian tanaman pangan cenderung menurun. Pada periode tahun 2000-2005
terjadi penurunan 0,17 persen per tahun. Ini terjadi karena (1) perluasan area
perkebunan yang pesat mengalahkan lahan pertanian tanaman pangan, (2) program
perluasan areal pertanaman dari pemerintah hanya 30.000 hektar per tahun, (3)
proses konversi lahan menjadi nonpertanian yang sangat pesat, dan (4) tingginya
peningkatan jumlah rumah tangga petani dalam sepuluh tahun terakhir (dari 20,8
juta menjadi 25,6 juta.
Kemampuan produksi pangan yang
berbeda antar wilayah dan akibat perbedaan iklim/musim merupakan tantangan pendistribusian
pangan kepada konsumen di seluruh wilayah sepanjang waktu. Sering terjadi
ketidakstabilan pasokan sehingga timbul kelangkaan dan kenaikan harga pangan di
berbagai wilayah. Masalah distribusi pangan antara lain terbatasnya
prasarana
c. Membangun Sistem Pangan
Komunitas
Menjawab permasalahan kecukupan
pangan di Indonesia, alternatifnya adalah membangun kedaulatan pangan
komunitas. Kedaulatan pangan komunitas menawarkan sebuah sistem pangan
alternatif di tingkat lokal. Sistem ini dikembangkan berbasis hak asasi manusia
dan berdasar pada kecerdasan dan sumber daya lokal. Tujuan sistem pangan
komunitas adalah mengembalikan pangan sebagai hak rakyat, dengan cara
melokalisasi pangan. Sistem pangan lokal menjadi perlawanan terhadap sistem
pangan global yang dimotori perusahaan transnasional. Sebagai hak asasi paling
dasar, pangan harus berada dalam kendali rakyat agar pemenuhannya dapat
terjamin dan berkelanjutan. Sistem ini diharapkan mampu membuat masyarakat
lebih tahan atau lentur terhadap gempuran globalisasi, perubahan iklim, dan
tantangan lainnya.
Sistem pangan alternatif ini
menekankan pada urutan prioritas. Hasil produksi diutamakan untuk memenuhi
kebutuhan seluruh warga desa. Sisanya disimpan sebagai cadangan pangan untuk
antisipasi paceklik. Perdagangan dilakukan ketika kebutuhan pangan hingga musim
berikutnya telah terjamin. Perdagangan lokal menjadi prioritas dengan
memperpendek jarak antara produsen dan konsumen.
Sistem pangan komunitas ini dapat
terwujud jika beberapa persyaratan terpenuhi. Anggota komunitas harus bergotong
royong memproduksi sendiri aneka pangan yang dibutuhkan dengan memanfaatkan
berbagai sumber daya di wilayah mereka. Pemenuhan pangan berbasis lokal akan
menurunkan bahkan menghilangkan pemborosan biaya transport dan pencemaran
akibat impor pangan Organisasi masyarakat di tingkat lokal yang kuat dan cerdas
juga akan menjadi kekuatan untuk memperjuangkan hak pangan mereka. Pembaruan
sistem ini akan memberi pilihan leluasa kepada komunitas lokal guna membuat
kebijakan pangan mereka secara berdaulat dalam mengelola produksi, penyimpanan,
distribusi, serta konsumsi padi dan bahan pangan lainnya.
d. Gereja Sebagai Komunitas
Berbagi Pangan
Gereja dalam Kristus bagaikan
sakramen, yakni tanda dan sarana persatuan mesra dengan Allah dan kesatuan
seluruh umat manusia. Gereja mengimani, bahwa Kristus telah wafat dan bangkit
bagi semua orang. la mengurniakan kepada manusia terang dan kekuatan melalui
Roh-Nya, supaya manusia mampu menanggapi panggilannya yang amat luhur (Gaudium
et Spes art. 10). Panggilan manusia diarahkan kepada hidup kesucian Allah.
Setiap ciptaan berasal dari kasih Allah, dan setiap ciptaan dibentuk oleh kasih
Allah, dan setiap ciptaan diarahkan menuju kasih Allah (Caritas in Veritate
art. 2). Karena manusia, yang diciptakan menurut gambar Allah, menerima
titah-Nya, supaya menakhlukkan bumi beserta segala sesuatu yang terdapat
padanya, serta menguasai dunia dalam keadilan dan kesucian; ia mengemban
perintah untuk mengakui Allah sebagai Pencipta segala-galanya, dan mengarahkan
diri beserta seluruh alam kepada-Nya, sehingga dengan terbawahnya segala
sesuatu kepada manusia nama Allah sendiri dikagumi di seluruh bumi (Gaudium
et Spes Art. 34).
"Kegembiraan dan
harapan, duka dan kecemasan orang-orang jaman sekarang, terutama kaum miskin
dan siapa saja yang menderita, merupakan kegembiraan dan harapan, duka dan
kecemasan para murid Kristus juga" (Gaudium et Spes art. 1). Oleh
karena itu, kehadiran dan keterlibatan Gereja di tengah-tengah umat manusia
yang mengalami situasi dan kondisi krisis pangan sebagai akibat perilaku
manusia yang tidak adil dan serakah, yang mengancaman keutuhan ciptaan dan
merusak sumber-sumber pangan akan menjadi sangat nyata.
Gereja perlu menyadari bahwa
kehadiran dan keterlibatan penyadaran kemanusiaan dalam hal tata kelola pangan
bukanlah pertama-tama persoalan teknis, tetapi bagaimana menyadarkan umat
bersama masyarakat menemukan dan menata kembali pemanfaatan alam semesta yang
berkeadilan sosial dan berkeutuhan ciptaan dan mecari jalan alternatif untuk
pemenuhan kebutuhan dan kecukupan pangan bagi semua. Membangun sistem komunitas
pangan adalah salah satu alternatif yang bisa dibuat oleh Gereja sebagai
komunitas murid-murid Kristus. Ekaristi sebagai pusat dan puncak liturgi
Gereja, yang dihayai dan dihidupi umat bisa menjadi dasar dan inspirasi untuk
mengembangkan Gereja sebagai komunitas berbagi pangan.
Gereja sebagai komunitas berbagi
pangan bisa dikembangkan di kelompok-kelompok basis, lingkungan, wilayah, stasi
dan paroki. Dalam konteks kategorial, Gereja sebagai komunitas berbagi pangan
dapat juga dikembangkan di sekolah-sekolah, komunitas-komunitas religius, dan
organisasi kemasyarakatan. Solidaritas, subsidiaritas dan kemandirian menjadi
semangat dasar yang harus ada dan dihidupi kalau Gereja mengarah sebagai
komunitas berbagi pangan. Beberapa contoh gerakan moral yang bisa menggambarkan
Gereja sebagai komunitas berbagi pangan, yang memungkinkan untuk membangun
kecukupan pangan bagi semua adalah :
1. Membangun Lumbung Pangan
Lumbung pangan bisa dimengerti
sebagai tempat atau juga bisa dimengerti dalam arti sarana membangun gerakan
solidaritas pangan. Sebagai tempat, berarti lumbung pangan menjadi wadah untuk
menyimpan produksi pangan yang akan digunakan pada saat-saat tertentu. Sebagai
sarana gerakan solidaritas pangan, lumbung pangan bisa dimengerti sebagai
tempat perjumpaan untuk mengembangkan nilai-nilai kemanusiaan (solidaritas,
subsidiaritas, kemandirian). Lumbung pangan ini bisa dibuat oleh Gereja mulai
dari tingkatan paroki sampai lingkungan atau kelompok basis. Tujuan lumbung
pangan ini adalah untuk mengembangkan nilai kesetiakawanan sosial dalam
berbagai pangan, terutama kepada mereka yang berkekurangan pangan.
2. Komunitas Mandiri Pangan
Kemandirian Pangan adalah
kemampuan produksi pangan yang beranekaragam yang dikelola komunitas yang dapat
menjamin pemenuhan kebutuhan pangan yang cukup dan berkelanjutan sampai
ketingkat keluarga. Keluarga sebagai komunitas terkecil dari masyarakat dapat
membangun kemandirian pangan dengan memaksimalkan tata kelola pekarangan untuk
produksi bahan pangan. Gereja sebagai komunitas murid-murid Kristus, dalam hal
ini bisa menjadi "terang dan garam" untuk menginspirasikan,
mempelopori dan menganimasi terbangunnya gerakan komunitas mandiri pangan ini.
3. Keanekaragaman Panga
Pangan tidak sama dengan beras.
Beras adalah salah satu bagian dari pangan yang ada. Mengembangkan aneka ragam
pangan dari berbagai bahan pangan non beras (umbi-umbian) akan mendorong
kecukupan pangan bagi pemenuhan kebutuhan pangan. Pangan dari bahan pangan
umbi-umbian bisa menjadi alternatif 'selingan' beras dalam konsumsi pangan
sehari-hari.
4. Hormat dan Hargailah Pangan
Lembaga formal, pendidikan
Katolik, baik yang dikembangkan oleh keuskupan atau tarekat religus/konggregasi
dapat menjadi tempat gerakan; untuk hormat dan menghargai pangan. Kebiasaan dan
cara makan anak-anak kerap kali kurang menaruh rasa hormat dan menghargai
pangan. Kebiasaan menyisakan makanan (membuang-buang makanan) 'atau`
memilih-milih makanan, dalam arti luas bisa dikatakan merebut hak pangan orang
lain yang kelaparan. Oleh karena itu pendidikan pangan yang berkeadilan dan
bercinta kasih perlu untuk diajarkan kepada anak-anak jaman sekarang.
e. Penutup
Hari Pangan Sedunia (HPS)Gereja
Katolik sebagai gerakan moral keutuhan ciptaan, mengarahkan dan menggerakan
umat dan masyarakat untuk mempunyai rasa hormat kepada ciptaan. Alam semesta
sebagai tempat dan singgasana Allah akan mengalirkan kehidupan. Oleh karena
itu, Gereja sebagai Sakramen Keselamatan Allah, mengemban tugas perutusan untuk
ikut terlibat dalam manata alam semesta ini dengan adil dan cinta kasih. Dengan
demikian, Gereja sebagai komunitas pangan, baik jasmani maupun rohani, secara
nyata hadir dalam membangun kecukupan semua.
Bahan refleksi Bersama:
- Hari Pangan Sedunia (HPS) atau World
Food Day lahir dalam sidang ke 20 Organisasi Pangan Sedunia (Food and
Agrculture Organization), dan sejak tahun 1981 setiap tanggal 16 Oktober, yang
juga bertepatan hari jadi FAO, dunia memperingati HPS, demikian juga Gereja
Katolik. Tujuan perayaan dan peringatan HPS adalah membangkitkan dan
meningkatkan kesadaran, perhatian dan pemahaman umat manusia terhadap
kesetiakawanan dan kerjasama nasional maupun internasional dalam mengatasi
masalah-masalah pangan, gizi dan kemiskinan, selain itu menempatkan penghargaan
dan penghormatan kepada para petani yang mengelola dan mengusahakan
sumber-sumber pangan. Bagaimana Gereja Katolik memaknai perayaan dan peringatan
HPS dalam konteks membangun kecukupan pangan bagi semua.
- Belum semua semua orang
berkecukupan pangan, baik dalam hal kuantitas pangan ataupan kualitas pangan.
Gereja Katolik sebagai komunitas murid-murid Kristus selalu mengadakan
perjamuan "Pangan Abadi" dalam Ekaristi. Bersumber dan mengalir dari
Ekaristi, gerakan pemberdayaan umat yang bagaimana, yang dapat digali untuk
membangun gerakan “Lumbung Pangan", "Komunitas Mandiri Pangan",
"Keanekaragaman Pangan" dan "Hormat dan Hargailah Pangan"
sehingga Gereja secara kongkret terlibat aktif dalam membangun kecukupan pangan
bagi semua. Dengan demikian Gereja sebagai komunitas berbagi pangan dapat
diwujudkan secara nyata dalam komunitas basis di lingkungan, di paroki, dan di
Keuskupan.
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berbicara adalah hak asasi manusia dari setiap individu, tetapi gunakan hak itu sesuai dengan peraturan yang berlaku serta budaya lokal yang membangun. Salam kasih. Admin