Minggu, 22 Maret 2015

Pendidikan Iman Katolik Anak Sejak Usia Dini Di Dalam Keluarga, Paroki dan Sekolah

Sumber foto: katolisitas.org
Tak Kenal Maka Tak Sayang
Pada tanggal 1 April 2010, kami di Katolisitas menerima pesan yang sungguh tajam, yang diawali dengan kalimat demikian, “Salam dari Sydney, Australia. Saya adalah bekas pengikut agama Katolik yang sekarang pindah ke Kristen [Protestan]. Penyebabnya adalah dikarenakan karena pengajaran agama Katolik tidak benar-benar berdasarkan alkitab, tetapi lebih berdasarkan hukum kanonisasi…. hukum Kanon adalah buatan manusia belaka… bukan datang dari Tuhan. Tetapi Alkitab adalah datang dari Tuhan. Mungkin hal ini berat untuk dimengerti bagi kalian di Indonesia yang tidak pernah tahu tentang sejarah agama Katolik. Semoga suatu hari mata kalian terbuka.”


Demikianlah pesan yang kami terima dari Sherly, Australia. Komentar ini merupakan awal dari dialog yang panjang antara dia dengan kami di Katolisitas. Namun semua tanggapan- tanggapannya malah menunjukkan suatu fakta bahwa sesungguhnya, Sherly-lah yang belum sempat memahami ajaran Gereja Katolik yang sebenarnya, sebelum ia memutuskan untuk meninggalkan Gereja Katolik. Demikianlah, pandangan Sherly ini menjadi pandangan umum yang mungkin dimiliki oleh banyak orang yang pindah dari Gereja Katolik ke gereja- gereja non- Katolik. Sayang memang, bahwa mereka pindah sebelum sungguh-sungguh mengenal iman Katolik mereka. “Tak kenal maka tak sayang”, nampaknya inilah yang terjadi. Banyak orang Katolik tidak dengan sungguh mengenal iman Katolik, sehingga mereka dengan mudah berpindah ke gereja- gereja lain.

Alasan Orang Pindah Gereja
Walaupun ada banyak alasan yang dikemukakan, namun setidaknya, berikut ini adalah beberapa alasan mengapa orang Katolik berpindah ke gereja lain. Umumnya, alasannya adalah karena mereka merasa imannya tidak bertumbuh di Gereja Katolik; mereka berpikir bahwa ajaran Gereja Katolik itu salah/ tidak sesuai dengan Alkitab; mereka merasa orang- orang Katolik hidupnya tidak baik dan mereka merasa tidak diperhatikan di dalam Gereja Katolik.

Alasan- alasan semacam ini sesungguhnya menunjukkan adanya kerapuhan akar iman Katolik dalam diri orang yang bersangkutan, di samping ada hal-hal yang memang perlu diperbaiki dalam kehidupan menggereja dan proses katekese di dalam Gereja Katolik. Namun, adalah satu kenyataan, bahwa mereka tidak sungguh- sungguh mengenal dan menghayati imannya, sehingga mudah terpengaruh, gampang ragu, atau akhirnya apatis sambil mengatakan, “ah, kan semua agama sama saja”. Secara obyektif harus diterima, bahwa akar permasalahan ini sesungguhnya berawal dari kurangnya pendidikan iman Katolik pada anak- anak Katolik, sejak usia dini, baik di dalam keluarga, paroki maupun sekolah. Sebab, jika iman sudah berakar sejak usia dini, sesungguhnya seseorang tidak akan pernah meragukan imannya atau dengan mudah berpindah gereja, atau bahkan berpindah agama.

Sekarang, mari kita lihat permasalahan pendidikan iman Katolik, mulai dari menggambarkan kondisi ideal dan membandingkannya dengan kondisi yang banyak dialami oleh keluarga, paroki dan sekolah. Setelah itu, kita akan melihat secara mendalam tentang tantangan di masing-masing tingkatan serta usulan-usulan untuk memperbaikinya.


Idealisme dan kenyataan
1. Seluruh bagian dari Tubuh Mistik Kristus saling bahu membahu
Adalah suatu impian dari Gereja, bahwa semua anggota dari Tubuh Mistik Kristus saling bahu membahu menciptakan suatu iklim, di mana setiap umat Allah dapat terus berjuang dalam kekudusan, sehingga pada akhirnya seluruh umat Allah dapat sampai pada Tanah Terjanji, yaitu Surga. Sungguh menjadi suatu kondisi yang begitu ideal, jika keluarga -sebagai Gereja yang terkecil- menjadi tempat di mana anak-anak mendapatkan pondasi yang kokoh dalam iman Katolik dan anak-anak dapat belajar untuk mengasihi Tuhan dan mengasihi sesama. Dengan kata lain, keluarga menjadi tempat di mana anak-anak dapat bertumbuh dalam kekudusan.

Situasi yang kondusif di dalam keluarga untuk bertumbuh dalam kekudusan seyogyanya berlangsung terus-menerus, juga ketika anak-anak berada di sekolah. Keluarga dan sekolah harus bersama- sama melakukan pembentukan dan pembinaan karakter anak- anak untuk menjadi seperti pribadi Kristus. Pendidikan sekolah yang baik berfokus pada pembentukan anak-anak untuk menemukan jati dirinya sebagai anak-anak Allah, dan membantu anak-anak untuk mengasihi Tuhan dengan segenap hati, jiwa dan pikiran. Kasih kepada Tuhan ini juga dimanifestasikan dalam mengasihi sesama, yaitu anak-anak dilatih untuk menjadi seseorang yang tidak hanya memikirkan kepandaian/ kebaikan sendiri, namun juga mengusahakan kebaikan bagi orang lain. Sekolah menjadi suatu tempat, di mana anak-anak dapat memusatkan perhatian pada sesuatu yang benar- benar baik, benar, dan indah (the good, truth, and beautiful); dan bahwa di dalam kebersamaan, sesuatu yang baik, benar dan indah tersebut, semakin menampakkan buah- buahnya.

Selanjutnya, setelah mendapatkan pondasi iman di dalam keluarga dan sekolah, maka Gereja di tingkat paroki memberikan kesegaran kepada anak-anak dengan memperkuat pondasi iman, menyegarkan dan menguatkan anak-anak dengan sakramen-sakramen, terutama Sakramen Ekaristi dan Sakramen Tobat. Anak- anak yang mengikuti Bina Iman di paroki dilatih untuk mengetahui dan mengasihi Sabda Allah dan iman Katolik. Pada saat yang bersamaan, orang tua juga dapat memperdalam iman mereka dengan mengikuti berbagai kegiatan pembinaan iman di paroki, sehingga mereka dapat mengajarkan iman Katolik yang benar kepada anak-anak mereka di dalam keluarga.

Dengan kondisi yang kondusif di keluarga, sekolah dan paroki, anak-anak dapat dibentuk dan diarahkan untuk memberikan dirinya kepada Tuhan, dan masyarakat sekitarnya, sehingga pada akhirnya kekristenan dapat membentuk masyarakat yang berdasarkan nilai-nilai Kristiani.


2. Bagian-bagian dari Tubuh Mistik Kristus belum saling mendukung.
Namun, sayangnya kondisi yang kondusif  di keluarga, paroki maupun di sekolah, seperti yang digambarkan di atas, sering tidak kita jumpai; entah karena semua bagian kurang menjalankan fungsinya atau hanya satu atau dua bagian yang menjalankan fungsinya dengan baik. Betapa sering kita menjumpai keluarga-keluarga, di mana orang tua, yang walaupun keduanya Katolik, tidak memperhatikan pendidikan iman anak-anaknya, atau hanya seolah-olah mencukupi kebutuhan fisik anak-anak. Hal ini dipersulit dengan kondisi pekerjaan dan kemacetan di kota-kota besar, sehingga orang tua kurang mempunyai waktu yang cukup bagi anak-anaknya.

Kondisi yang kurang mendukung di dalam keluarga diperparah dengan kondisi yang cukup memprihatinkan di dalam pendidikan di sekolah. Sebagian sekolah non-Katolik tidak memberikan pendidikan Katolik dengan baik, bahkan kadang-kadang mengajarkan pokok-pokok iman yang bertentangan dengan iman Katolik. Sekolah Katolik sendiri mulai kehilangan identitasnya, di mana nama ‘Katolik’ seolah hanya diartikan sebatas memberikan pelajaran agama Katolik seminggu sekali dan Misa bersama sebulan sekali. Padahal sangatlah penting untuk melakukan pendekatan yang holistik untuk menyampaikan pendidikan iman yaitu: iman Katolik yang merasuk ke dalam sendi-sendi kehidupan di sekolah, di setiap mata pelajaran, dan di setiap kegiatan di sekolah untuk membentuk karakter anak dengan baik, sehingga mereka tidak hanya bertumbuh dalam hal intelektual, tetapi juga dalam hal kekudusan.

Kondisi yang kurang ideal dapat juga terjadi dalam kehidupan menggereja di tingkat paroki. Secara umum, paroki-paroki cenderung lebih menekankan akan banyaknya kegiatan tanpa memperhatikan kesinambungan pembinaan iman secara terus-menerus, dari tingkat anak-anak, remaja, dewasa.


Dikotomi dalam pendidikan iman Katolik
1. Kontinuitas vs hit and run
Kalau kita amati, ada banyak kegiatan-kegiatan di dalam gereja yang bersifat hit and run, artinya  program-program tersebut diselenggarakan sesekali dalam satu tahun dan kemudian selesai tanpa koordinasi dengan program-program yang lain, tanpa ada tindak lanjut dari program tersebut setelah acara selesai. Program-program seperti ini memang lebih mudah dilaksanakan dan dikoordinasikan, namun hanya mempunyai efek sesaat. Sedangkan, program-program yang bersifat berkesinambungan kurang mendapat perhatian yang serius. Kemungkinan sebabnya adalah karena program-program seperti ini membutuhkan komitmen yang besar, dan umumnya kurang memperlihatkan efeknya dalam waktu singkat, walaupun dapat memberikan efek jangka panjang yang lebih efektif.

Sebagai contoh, program-program seminar sehari di paroki dengan topik yang bermacam-macam menjamur sepanjang tahun. Namun, program-program seperti pendampingan kehidupan perkawinan, pembinaan rohani komunitas basis, pembinaan iman OMK yang menuntut pengorbanan yang tinggi dan komitmen yang terus menerus dari para pembinanya tidak terlalu mendapatkan prioritas dalam kehidupan menggereja. Pembinaan ini sesungguhnya harus mengambil kekuatannya dari Kristus sendiri yang hadir dalam sakramen- sakramen, terutama Ekaristi dan Sakramen Tobat.

Maka pertanyaannya menjadi semakin menjurus tajam: Sejauh mana paroki yang menginginkan pertumbuhan iman umat mengadakan Adorasi Sakramen Mahakudus? Adakah kapel adorasi di paroki? Sudahkah menggiatkan umat untuk mengikuti Misa harian di paroki maupun di Lingkungan? Sudahkah membuka kesempatan Pengakuan Dosa, sedapat mungkin setiap hari? Sudahkah menggiatkan doa rosario dan pendalaman Kitab Suci dalam keluarga? Tentunya, semua ini harus didasari oleh katekese yang baik kepada umat, sehingga umat dapat mengetahui manfaat yang luar biasa yang dapat mereka peroleh dari rahmat Tuhan yang tersedia bagi kita semua melalui doa, Sabda Tuhan, dan terutama melalui sakramen- sakramen, yang bersumber pada Misteri Paska Kristus.

Demikian juga, gejala ‘hit and run’ terjadi dalam keluarga dan sekolah. Lebih mudah bagi orang tua  untuk mengirim anak-anak mengikuti retret daripada membuat komitmen untuk setiap malam membacakan Alkitab kepada anak- anak, karena hal ini menuntut pengorbanan orang tua dalam hal waktu dan tenaga. Demikian juga kondisi di sekolah, mengirim murid- murid untuk mengikuti program live-in ke desa- desa akan terasa lebih mudah dilaksanakan, daripada mengintegrasikan iman Katolik secara konsisten dalam setiap sendi kehidupan sekolah. Padahal, bukankah penerapan iman yang baik tidak semata dicapai dengan cara “hit and run“, melainkan harus terus menerus menjadi bagian dari kehidupan seseorang, atau mungkin lebih tepat, menjadi gaya hidup umat beriman? Dan untuk menjadi gaya hidup, tidak ada cara lain, kecuali bahwa nilai- nilai iman harus diterapkan secara konsisten dari mulai hal-hal terkecil sampai ke hal-hal besar, di berbagai sendi kehidupan, dan dimulai dari anak-anak sejak usia dini.

Pernahkah kita berfikir, mengapa ada sebagian umat Katolik yang setelah mengikuti pelajaran agama selama satu tahun, namun pengetahuan Alkitabnya kurang dibandingkan dengan sebagian umat Kristen non Katolik yang tidak menjalani pelajaran agama namun langsung diterima di dalam jemaat? Melihat fakta ini, mungkin memang kualitas proses dan bahan katekese di Gereja Katolik secara umum kurang memadai.

Sementara gereja Kristen non-Katolik giat melakukan proses pendidikan iman secara terus menerus dengan menerapkan komunitas basis/ cell-group, Gereja Katolik yang melakukan kegiatan katekese selama satu tahun itu kurang menindaklanjutinya dengan pembinaan iman yang bersifat terus menerus. Tentu saja, kita tidak dapat menutup mata bahwa ada paroki-paroki yang telah menjalankan pembinaan umatnya secara terus-menerus, namun adalah suatu tantangan agar semua paroki di tanah air juga dapat menerapkan hal serupa, agar semua umat Katolik dapat terus bertumbuh dalam iman dan kekudusan, sesuai dengan pesan Konsili Vatikan II, Lumen Gentium bab V: Panggilan kepada semua orang untuk hidup kudus.


2. Pembinaan spiritualitas vs aktivitas
Berapa sering kita mendengar diskusi yang seru untuk menyusun program dan aktivitas di dalam pertemuan dewan paroki harian maupun pertemuan besar dewan paroki pleno. Mereka merencanakan diadakannya seminar, pertemuan rutin, retret keluarga, dan segudang kegiatan lainnya. Program-program seperti ini adalah sesuatu yang baik. Namun, apakah pernah terlintas di pikiran kita bahwa pada akhirnya semua kegiatan ini harus mempunyai satu tujuan, yaitu membawa umat Allah untuk bertumbuh dalam kekudusan, yang menuntun kita masuk ke dalam Kerajaan Surga? Dengan demikian, apakah program-program berikut ini pernah dipikirkan: Bagaimana agar umat dapat terdorong untuk mengaku dosa secara teratur misalnya sebulan sekali? Bagaimana agar umat dapat sesering mungkin berpartisipasi dalam Sakramen Ekaristi? Bagaimana agar umat giat dalam menggali Sabda Allah; dan bagaimana agar umat dapat bertumbuh dalam kasih, dll?


3. Preventif vs kuratif
Ada banyak orang tua yang mengeluh, mengapa anaknya menjadi sulit diatur. Para guru di sekolah mengeluh bahwa anak jaman sekarang sungguh sulit dididik. Tidak ketinggalan romo paroki mengeluh, umat sekarang senantiasa ingin dimanja dan dituruti kemauannya. Para orang tua bertanya mengapa anaknya melakukan kenakalan di luar kewajaran. Pihak sekolah bertanya-tanya mengapa anak-anak tidak mempunyai semangat belajar dan kurang bertanggungjawab serta menganggap iman Katolik hanya sebatas slogan belaka.

Dan pihak paroki mempertanyakan mengapa umat seolah-olah lesu darah, kurang mau berpartisipasi dalam kehidupan menggereja, terjadi pertentangan antara satu seksi dengan seksi yang lain. Pada saat semua ini terjadi, maka yang dilakukan adalah mulai mencari jalan bagaimana mengatasi masalah-masalah yang terjadi. Dengan perkataan lain, kegiatan-kegiatan lebih bersifat kuratif dan bukan preventif. Kegiatan banyak yang bersifat jangka pendek, namun kurang memikirkan strategi jangka panjang.


4. Dibangun di atas batu vs dibangun di atas pasir
Ada banyak contoh dari umat yang berpindah dari Gereja Katolik ke gereja lain, karena mereka tidak benar-benar mengetahui pengajaran Gereja Katolik dengan baik, seperti yang ditunjukan oleh contoh di atas. Dalam konteks ini, maka seseorang tidak boleh hanya menghafal doktrin, namun harus mengerti alasan di balik doktrin Gereja Katolik, yang dapat dijelaskan dengan prinsip tiga pilar kebenaran, yaitu: Kitab Suci, Tradisi Suci dan Magisterium Gereja.

Namun, untuk mengajarkan hal ini kepada umat diperlukan pendekatan yang benar, dengan mempertimbangkan umur dan kondisi orang yang bersangkutan. Dengan mengerti alasan yang benar di balik pengajaran iman Katolik, maka seseorang tidak mudah untuk diombang-ambingkan oleh pengajaran-pengajaran lain, yang mungkin bertentangan dengan iman Katolik. Hanya tahu dan hafal doktrin tanpa mengetahui alasannya secara mendalam adalah sama saja dengan membangun rumah di atas pasir (lih. Mt 7:26-27). Dia tidak dapat bertahan terhadap hujan dan angin pengajaran yang bertentangan dengan iman Katolik, karena tidak mempunyai pondasi yang kuat.

Sebagai contoh, dalam buku “Ikutilah Aku” dari Pankat KAS, hal 131 dituliskan alasan mengapa umat Katolik menghormati Maria, yaitu: 1) Maria Bunda Allah, 2) Maria tetap perawan, 3) Maria tanpa noda, 4) Maria diangkat ke Sorga. Penjelasan tersebut tidak salah, namun kurang lengkap, sehingga kurang membekali para calon baptis (katekumen) dengan pengertian yang baik. Empat hal di atas memang menjelaskan tentang empat dogma tentang Bunda Maria, namun kurang menjelaskan alasan mengapa umat Katolik menghormati Bunda Maria. Apakah penghormatan kita kepada Maria diukur dari apakah kita percaya bahwa Maria diangkat ke Surga? Apakah umat Kristen non-Katolik dapat menerima penjelasan umat Katolik dengan empat alasan di atas? Mengapakah kurang ditekankan, bahwa kita menghormati Maria, karena Allah telah terlebih dahulu memilih dan menghormatinya? Mengapakah kurang diberitahukan dasar- dasar Alkitabiahnya yang menyatakan hal itu, dan bahwa Gereja sejak abad- abad awal juga telah menghormati Maria?


5. Isi vs cara
Sebenarnya isi dan cara bukanlah hal yang bertentangan, namun keduanya saling mendukung. Yang penting, pada akhirnya katekumen mendapatkan pengertian yang menyeluruh akan rencana keselamatan Allah[1]. Dalam konteks pendidikan iman Katolik kepada anak-anak di keluarga, para orang tua yang telah memikirkan tentang isi dan caranya sudah maju selangkah, karena ada sebagian orang tua Katolik yang mungkin bahkan tidak memikirkan hal tersebut. Namun, dalam konteks paroki, seharusnya isi dan cara harus dipikirkan secara lebih serius, sehingga tercapai kualitas pembinaan iman yang baik, entah di tingkat anak-anak, remaja maupun dewasa, termasuk pasangan yang akan menikah. Apakah kita pernah mendengar keluhan dari orang tua yang mengatakan bahwa di Bina Iman anak hanya banyak diajari mewarnai dan menggambar? Cara memang penting untuk mengajarkan iman Katolik, sehingga anak-anak dapat mengerti iman Katolik dengan baik. Namun, cara yang baik tanpa ditunjang isi yang berbobot tidaklah dapat dibenarkan.

Dalam konteks katekese dewasa, kita dapat melihat bahwa materi yang ada sekarang, sebenarnya kurang memadai untuk memaparkan pokok-pokok iman Katolik secara menyeluruh. Hal ini dapat terlihat bahwa setelah pembinaan satu tahun, banyak umat masih belum memahami imannya dengan baik, sehingga dengan mudahnya mereka terbawa pada pengajaran yang tidak sesuai dengan iman Katolik. Ada yang mengusulkan bahwa cara katekese harus diperbaiki, entah dengan drama, dll.

Namun, dari hasil pengamatan, sebetulnya cara-cara tersebut dapat menjadi bumerang, karena dapat mengambil waktu pengajaran yang memang jelas-jelas sangat minim. Sebagai contohnya, dalam kurikulum “Ikutilah Aku”, pembahasan tentang Trinitas (bab 34, hal. 100-102) hanya dilakukan satu sesi (sekitar 1-1,5 jam). Bagaimana seseorang dapat memahami esensi Trinitas dalam satu pertemuan yang harus ditambah dengan metode-metode yang dipandang menarik. Bagaimana dengan pendidikan iman Katolik di sekolah? Memang pendidikan iman Katolik di sekolah tetap harus memperhatikan cara, namun isi pengajaran juga harus diperhatikan. Memperhatikan cara lebih utama daripada isi adalah sama dengan terlalu memperhatikan kemasan dibandingkan dengan isi yang sebenarnya. General Catechetical Directory menegaskan bahwa tidaklah cukup untuk membangkitkan pengalaman spiritual tanpa dibarengi dengan perjuangan untuk mengerti keseluruhan kebenaran akan rencana Allah[2] dengan cara mempersiapkan umat beriman untuk mengerti Kitab Suci dan Tradisi yang hidup dalam Gereja.[3]


6. Holistik vs sporadis
Salah satu kekuatan dari Gereja Katolik adalah hirarki yang tersusun sangat rapi, baik di tingkat stasi, paroki, keuskupan, satu negara dan tingkat dunia. Menjadi suatu kekuatan yang begitu besar, kalau di banyak tingkat, terutama di tingkat keuskupan dan seluruh keuskupan di negara yang sama dapat menyediakan materi dan sumber yang benar-benar dapat membantu proses pendidikan iman Katolik sejak usia dini. Namun, sering dijumpai bahwa banyak dari antara guru bina iman, katekis merasa tidak mempunyai materi yang memadai. Perlu dipikirkan bagaimana menggali potensi yang ada di dalam Gereja Katolik, sehingga memungkinkan kita mempunyai bahan dan metode pengajaran iman Katolik yang dapat dijangkau oleh seluruh umat beriman dari berbagai tempat.

Yang perlu dipikirkan adalah memberikan informasi selengkap mungkin, sehingga memungkinkan katekis untuk memilih bahan yang ada dan menerapkannya secara kreatif pada peserta yang mempunyai latar belakang, umur, budaya dan pendidikan yang berbeda.

Kurangnya pendidikan iman anak sejak usia dini
Mari, kita melihat permasalahan dan tantangan ini secara lebih mendalam. Hal kurangnya pendidikan iman anak sejak usian dini terlihat tidak saja di rumah/ di tengah keluarga, tetapi juga di sekolah, bahkan di sekolah Katolik, dan juga di paroki. Seandainya sudah ada sekalipun, patutlah kita pertanyakan, apakah sudah cukup memadai, terutama jika ada cukup banyak umat Katolik yang meninggalkan Gereja Katolik.

1. Kurangnya pendidikan iman Katolik di dalam keluarga
Dewasa ini ada banyak anak- anak yang menganggap rumah hanya sebagai tempat makan dan tidur. Kedua orang tua sibuk dengan urusan mereka masing- masing, sehingga tidak ada waktu yang cukup untuk berkomunikasi dengan anak- anak. Jika berkomunikasi tentang hal- hal yang sehari- hari saja sudah kurang, apalagi pembicaraan tentang Tuhan dan iman Katolik. Kurangnya perhatian dari orang tua ini mengakibatkan anak- anak mencari kesenangannya sendiri, asyik dengan dunia mereka sendiri, dan mencari pemenuhan kebutuhan mereka untuk diperhatikan dan dikasihi dengan cara mereka sendiri. Sebagian mungkin mendapatkannya dari permainan game di komputer/ internet, chatting di FB (Face book), BBM (BlackBerry Messenger), nonton TV atau jalan- jalan/ shopping di Mall.

Anak- anak dewasa ini berkembang menjadi pribadi yang cenderung individualistik daripada berorientasi komunal dan berinteraksi langsung dengan orang- orang di sekitar mereka. Atau, kesenangan sesaat dan kehidupan hura- hura yang serba instan menjadi pilihan banyak anak muda sekarang ini. Soal iman? Bagi mereka sepertinya hanya prioritas kedua, atau bahkan bahkan tidak menjadi prioritas sama sekali. Soal Tuhan? Mungkin kurang menarik perhatian mereka. Dalam kondisi ini, orang tua seolah tak berdaya, dan akhirnya menyerah sambil berkata, ‘Jaman sekarang memang berbeda dengan jaman dulu…. Sekarang terserah anaknya saja deh, kita orang tua hanya dapat mendoakan…. ’

Suatu ironi, sebab seharusnya tugas utama orang tua adalah mendidik anak- anak agar mereka mengenal dan mengasihi Allah, dan karena mengasihi Allah, mereka dapat mengasihi sesama; dan dengan demikian orang tua menghantar anak- anak mereka ke Surga. Jadi sesungguhnya pembentukan karakter anak sampai menjadikan mereka pribadi- pribadi yang mengutamakan Allah, merupakan tugas orang tua. Sejauh mana hal ini dilakukan oleh para orang tua, jika sehari- harinya anak- anak menghabiskan sebagian besar waktu di depan komputer/ TV atau alat- alat komunikasi lainnya, tanpa atau sedikit sekali berkomunikasi dengan orang tua? Bagaimana orang tua dapat menampakkan wajah Tuhan bagi anak- anak, jika sehari- harinya anak- anak jarang melihat wajah orang tua mereka? Atau jika orang tua ada di rumah, apakah mereka memberikan perhatian khusus kepada anak- anak, ataukah malah sibuk dengan urusan mereka sendiri? Sejauh mana orang tua mengarahkan anak- anak, sehingga di tengah kesibukan mereka, anak- anak tetap mau berdoa dan membaca Kitab Suci?


2. Kurangnya pendidikan iman Katolik di sekolah
Pendidikan iman Katolik juga tidak mudah diperoleh di sekolah- sekolah, baik di sekolah negeri maupun juga di sekolah- sekolah Katolik sendiri. Adanya kondisi pluralitas di masyarakat kita menjadikan sekolah- sekolah Katolik sepertinya kehilangan jati diri dalam menyampaikan ajaran iman Katolik. Pendidikan iman Katolik umumnya diidentikkan dengan mata pelajaran Agama sekali seminggu, dan diadakannya Misa Kudus bagi semua murid sebanyak sebulan sekali.

Dari pengalaman kami pribadi, penekanan yang lebih ditekankan adalah perbuatan baik, dan hanya sedikit pembahasan tentang iman Katolik. Akibatnya anak- anak tidak sungguh- sungguh mengenal iman Katolik, atau mengenalnya hanya sebatas hafalan dalam pelajaran Agama, namun kurang menangkap esensinya sebagai yang mendasari segala perbuatan mereka. Pengenalan akan Kristus relatif minim, sehingga anak- anak tidak atau kurang mempunyai hubungan yang pribadi dengan Kristus. Pengenalan tentang arti Gereja juga kurang memadai, sehingga mereka tidak merasa sebagai bagian di dalamnya dan tidak berkeinginan untuk membaktikan diri membangun Gereja demi kasih mereka kepada Kristus. Dalam kondisi semacam ini tak mengherankan jika angka panggilan imamat atau kehidupan religius merosot.

Pendidikan iman yang komprehensif juga nampaknya masih merupakan ‘barang langka’ di tanah air. Artinya, pendidikan iman Katolik yang terintegrasi dengan semua mata pelajaran yang lain, mulai dari sejarah umat manusia, ilmu pengetahuan alam, ilmu pengetahuan sosial, bahasa Inggris dan bahasa Indonesia, kesenian, dst. Para guru juga mempunyai tanggung jawab untuk tidak hanya menjadi pengajar ilmu untuk mengisi otak, namun juga teladan iman untuk mengisi hati para murid mereka. Memang untuk melakukan hal- hal ini tidak mudah, dan memerlukan kerja keras dari pihak pengajar dan koordinator kurikulum di sekolah, namun jika dilakukan, sesungguhnya sangat baik.


3. Kurangnya pendidikan iman Katolik di paroki
Di paroki, pendidikan iman Katolik pada anak- anak juga mempunyai permasalahannya sendiri. Tantangan yang dihadapi oleh para orang tua dan guru di sekolah, sebenarnya juga dihadapi oleh para pengajar/ katekis di paroki. Bagaimana memperkenalkan Kristus dan misteri Paska-Nya kepada anak- anak se-efektif mungkin, menjadi PR (Pekerjaan rumah) para guru Bina Iman/ katekis dan juga para imam di paroki. Bina Iman bukan sekedar tempat berkumpulnya anak- anak untuk bermain dan mewarnai, melainkan sarana untuk menyampaikan pengajaran iman yang dapat masuk di dalam pikiran dan hati anak- anak, sehingga mereka dapat bersuka cita dan mensyukuri karunia iman yang Tuhan sudah berikan kepada mereka.

Dewasa ini tenaga pengajar Bina Iman ataupun katekisasi secara umum adalah tenaga sukarela, dan banyak di antaranya yang tidak secara khusus dibekali dengan latar belakang sebagai pengajar iman Katolik. Dengan demikian, sangatlah logis jika memang para katekis membutuhkan buku panduan yang dapat dijadikan acuan untuk mengajar. Di beberapa pertemuan guru- guru Bina Iman, evaluasi yang disampaikan antara lain menyebutkan kesulitan mereka untuk memperoleh bahan- bahan pengajaran (yang lengkap: dengan kisah, pembahasan, permainan, gambar, nyanyian, dari kisah- kisah Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru) untuk disampaikan kepada anak- anak. Umumnya mereka harus ‘meracik’ sendiri bahan pengajaran di antara tim pengajar. Dengan demikian, diperlukan waktu untuk membicarakannya dan mempersiapkannya, dan ini tidak selamanya hal ini mudah bagi para relawan pengajar, di tengah- tengah kesibukan mereka dalam pekerjaan/ keluarga.

Selain itu, jika diperhatikan, terdapat waktu jeda bagi pembinaan iman anak, yaitu periode antara waktu setelah Komuni Pertama sampai menjelang penerimaan Sakramen Penguatan/ Krisma. Ada beberapa paroki yang telah mengadakan Bina Iman Remaja, atau merekomendasikan anak- anak ini untuk bergabung dengan dalam komunitas Putera/i Altar. Namun kita mengetahui bahwa hanya sedikit prosentase jumlah anak- anak dalam paroki yang tergabung dengan kegiatan ini. Maka kelompok mayoritas anak- anak di paroki tidak ‘tertangani’ pendidikan imannya.

Dewasa ini kitapun perlu memberikan perhatian kepada anak- anak Katolik yang bersekolah di sekolah- sekolah National plus, yang juga kurang mendapat pengajaran tentang iman Katolik. Prosentase jumlah anak- anak ini nampaknya terus menanjak setiap tahunnya, dan banyak di antara mereka mempunyai kesulitan untuk bergabung dalam kegiatan Bina Iman di paroki, antara lain karena bahasa yang digunakan dalam proses katekese tersebut adalah bahasa Indonesia, sedangkan anak- anak ini lebih terbiasa menggunakan bahasa Inggris untuk berkomunikasi.


Bagaimana seharusnya?
Konsili Vatikan II dalam Deklarasi tentang Pendidikan Kristiani (Gravissimum Educationis) menyatakan tujuan pendidikan secara umum, dan pendidikan Kristiani secara khusus, demikian:


1. Secara umum
“Tujuan pendidikan dalam arti sesungguhnya ialah: mencapai pembentukan pribadi manusia dalam perspektif tujuan terakhirnya dan demi kesejahteraan kelompok-kelompok masyarakat, di mana ia  sebagai manusia, adalah anggotanya, dan bila sudah dewasa ia akan mengambil bagian menunaikan tugas kewajiban di dalamnya.”[4]

Tujuan terakhir manusia yang dimaksud di sini adalah kehidupan kekal bersama Allah di Surga. Dengan demikian, pendidikan secara umum harus mengarah kepada pembentukan (formation) pribadi manusia secara utuh, baik dari segi fisik, moral, intelektual agar anak- anak dapat menjadi manusia yang bertanggung jawab di dalam menghadapi kehidupan ini, agar kelak dapat masuk dalam Kerajaan Surga.


2. Secara khusus
a. Pendidikan Kristiani bertujuan untuk pendalaman misteri keselamatan, iman, makna kekudusan, memberi kesaksian tentang pengharapan Kristiani.
“Pendidikan Kristiani itu tidak hanya bertujuan pendewasaan pribadi manusia seperti telah diuraikan, melainkan terutama hendak mencapai, supaya mereka yang telah dibaptis langkah demi langkah semakin mendalami misteri keselamatan, dan dari hari ke hari makin menyadari kurnia iman yang telah mereka terima; supaya mereka belajar menyembah Allah Bapa dalam Roh dan kebenaran (lih. Yoh 4:23), terutama dalam perayaan Liturgi; supaya mereka dibina untuk menghayati hidup mereka sebagai manusia baru dalam kebenaran dan kekudusan yang sesungguhnya (Ef 4:22-24); supaya dengan demikian mereka mencapai kedewasaan penuh, serta tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus (lih. Ef 4:13), dan ikut serta mengusahakan pertumbuhan Tubuh Mistik. Kecuali itu hendaklah umat beriman menyadari panggilan mereka, dan melatih diri untuk memberi kesaksian tentang harapan yang ada dalam diri mereka (lih. 1Ptr 3:15) serta mendukung perubahan dunia menurut tata-nilai Kristiani …”[5]

b. Pendidikan Kristiani harus menanamkan nilai- nilai esensial di dalam hidup manusia
“Bahkan di tengah kesulitan- kesulitan karya pendidikan, kesulitan- kesulitan yang kadang lebih besar dewasa ini, para orang tua harus dengan yakin dan berani mendidik anak- anak mereka tentang nilai- nilai esensial di dalam hidup manusia. Anak- anak harus tumbuh dengan sikap yang benar tentang kemerdekaan [ketidak- terikatan] terhadap barang- barang materi, dengan menerapkan gaya hidup yang sederhana dan bersahaja, yakin bahwa “manusia itu lebih berharga karena apa adanya dia daripada karena apa yang dia miliki.”[6]

Adalah suatu permenungan, sejauh manakah hal- hal yang disebutkan di atas dilakukan di dalam keluarga, di sekolah dan di paroki?

Pendidikan iman Katolik di dalam keluarga
a. Orang tua adalah pendidik pertama dan utama anak- anak
“Karena orang tua telah menyalurkan kehidupan kepada anak-anak, orang tua terikat kewajiban amat serius  untuk mendidik anak-anak mereka. Maka orang tualah yang harus diakui sebagai pendidik yang pertama dan utama bagi anak- anak mereka”[7]. Dengan demikian, orang tua harus menyediakan waktu bagi anak- anak untuk membentuk mereka menjadi pribadi- pribadi yang mengenal dan mengasihi Allah. Kewajiban dan hak orang tua untuk mendidik anak- anak mereka tidak dapat seluruhnya digantikan ataupun dialihkan kepada orang lain.[8]

Orang tua sebagai pendidik utama dalam hal iman kepada anak- anak berarti orang tua harus secara aktif mendidik anak- anak dan terlibat dalam proses pendidikan anak- anaknya. Orang tua sendiri harus mempraktekkan imannya, berusaha untuk hidup kudus, dan terus menerapkan ajaran iman dalam kehidupan keluarga di rumah. Ini adalah sangat penting, agar anak melihat bahwa iman itu bukan hanya untuk diajarkan tetapi untuk dilakukan, dan diteruskan lagi kemudian, jika anak- anak sendiri membentuk keluarga di kemudian hari.

Sebagai pendidik utama, maka orang tua harus terlibat dalam proses pendidikan yang dilakukan oleh sekolah, dan orang tua bertugas membentuk  anak- anaknya. Orang tua harus mengetahui apa yang sedang dipelajari oleh anak- anaknya di sekolah, buku- buku yang mereka baca, bagaimana sikap dan tabiat anaknya di sekolah, siapakah teman- teman anak- anaknya, dan sebagainya. Tugas dan tanggungjawab ini ini tidak dapat dialihkan ataupun dipasrahkan kepada pembantu rumah tangga ataupun guru les. Orang tua tidak dapat memusatkan perhatian untuk urusan dan pekerjaan mereka sendiri, dan kurang mempedulikan atau kurang mau terlibat dalam pendidikan anak- anak. Mengirim anak- anak untuk les pelajaran, atau menyekolahkan anak di sekolah national plus, tidak menjamin pembentukan karakter anak dengan baik.

Demikian pula dalam hal iman. Banyak orang tua berpikir, asal sudah mengirimkan anak ke Bina Iman, maka tugasnya selesai. Pemikiran sedemikian sungguh keliru. Guru- guru di sekolah, guru les ataupun guru Bina Iman hanyalah membantu orang tua, namun orang tua tetaplah yang harus melakukan tugasnya sebagai pendidik utama. Mendidik anak dalam hal iman sesungguhnya tidak sulit, karena dapat dimulai dari hal- hal sederhana. Namun dibutuhkan komitmen dan pengorbanan dari pihak orang tua, misalnya: berdoa bersama anak- anak dan membacakan kisah Kitab Suci kepada mereka setiap malam, membawa anak- anak ikut Misa Kudus dan sesudahnya menjelaskan kepada anak- anak maknanya, mendorong anak- anak agar mempraktekkan suatu ajaran Sabda Tuhan, memberi koreksi jika anak berbuat salah namun setelahnya tetap merangkul dengan kasih, dst.

Orang tua juga harus mempunyai perhatian kepada pengaruh media massa ke dalam kehidupan anak- anak. Terlalu banyak menonton TV tidak memberikan efek yang baik pada anak, apalagi jika anak- anak menonton TV tanpa pendampingan dari orang tua. Demikian pula dengan terlalu banyak bermain video game, apalagi jika permainannya bersifat kekerasan yang sadis, seperti tembak- tembakan, pembunuhan, dst, yang secara tidak langsung merangsang sifat- sifat agresif pada anak- anak, seperti kemarahan, kekerasan, tidak mau mengalah, dst.

Tak kalah seru, adalah kebiasaan ber FB (Face book) di kalangan anak- anak remaja. Jika memungkinkan, silakan orang tuapun ber FB, bukan untuk memata- matai anak, namun untuk mengetahui sekilas lingkungan pergaulan anak. Ada resiko yang umum terjadi, yaitu jika anak terlalu banyak ‘bermain’ sendiri dengan komputer, TV, atau sejenisnya, maka lama kelamaan ia menjadi tidak terbiasa untuk berinteraksi dengan orang lain. Ia menjadi kurang luwes di dalam pergaulan, kurang dapat membawa diri, dan terlalu berpusat kepada diri sendiri. Tidak berarti bahwa TV, game internet dan FB memberikan efek buruk semuanya. Efek negatif itu terjadi  jika yang ditonton, atau yang dimainkan tidak sesuai dengan ajaran iman dan moral; atau yang diajak berkomunikasi adalah orang- orang yang tidak membangun iman, atau malahan menjerumuskan mereka; atau jika hal menonton TV dan bermain komputer tersebut sampai menyita hampir semua waktu luang. Mengapa? Sebab jika ini yang terjadi, hati dan pikiran anak tidak lagi terarah kepada Tuhan dan Kerajaan-Nya.

b. Orang tua berkewajiban untuk menyampaikan pendidikan dalam hal nilai- nilai esensial dalam hidup manusia.
Dari orang tualah anak- anak belajar akan nilai- nilai yang esensial dan terpenting di dalam hidup. Nilai- nilai esensial ini menurut Paus Yohanes Paulus II dalam Pengajaran Apostoliknya, Familiaris Consortio, adalah: 1) keadilan yang menghormati martabat setiap manusia, terutama mereka yang termiskin dan yang paling membutuhkan bantuan; 2) hukum kasih: memberikan diri untuk orang lain dan memberi adalah suka cita, 3) pendidikan seksualitas yang menyangkut keseluruhan pribadi manusia, baik tubuh, emosi maupun jiwa; 4) pendidikan tentang kemurnian (chastity); 5) pendidikan moral yang menjamin anak- anak bertanggungjawab.[9].

c. Orang tua harus mengusahakan suasana kasih di rumah
Maka para orang tua harus menciptakan suasana di rumah yang penuh kasih dan penghormatan kepada Tuhan dan sesama, sehingga pendidikan pribadi dan sosial yang menyeluruh bagi anak- anak dapat ditumbuhkan[10]. Kasih orang tua adalah dasar dari pendidikan anak, sehingga kasih itu harus menjiwai semua prinsipnya, disertai juga dengan nilai- nilai kebaikan, pelayanan, tidak pilih kasih, kesetiaan dan pengorbanan[11]. Dalam hal ini, komunikasi antara anak dan orang tua adalah sangat penting, sebab tanpa komunikasi akan sangat sulit menciptakan suasana yang penuh kasih di dalam keluarga.


d. Keluarga harus menjadi sekolah pertama untuk menanamkan kebijakan Kristiani dan orang tualah yang memberikan teladan.
Keluarga harus menjadi sekolah yang pertama untuk menanamkan nilai- nilai dan kebajikan Kristiani, seperti: memaafkan kesalahan orang lain, belajar meminta maaf jika berbuat salah, saling menghormati, saling berbagi, saling menolong, saling menghibur jika ada yang kesusahan, saling memperhatikan terutama kepada yang lemah, sakit, dan miskin, saling mengakui kelebihan dan kekurangan tiap- tiap anggota keluarga, rela berkorban demi kebaikan orang lain, dst. Orang tua selayaknya memberikan teladan dalam nilai- nilai Kristiani tersebut, dan bukan hanya dengan perkataan, tetapi terlebih dengan perbuatan. Anak- anak akan dengan lebih cepat belajar melalui teladan perbuatan orang tua daripada dari apa yang diajarkannya melalui perkataan saja.


e. Pengajaran tentang iman dalam keluarga dapat dilakukan di setiap kesempatan dan dapat dikemas menarik
Pengajaran tentang Allah dan perintah- perintah-Nya ini tidak harus diberikan dalam bentuk ‘kuliah’ bagi anak, yang pasti membosankan, tetapi hendaknya dikemas dalam bentuk yang lebih hidup dan menarik, sesuai dengan umur anak. Quiz/ bermain tebak- tebakan, ayah atau ibu membacakan Kitab Suci bergambar, atau sama- sama menonton DVD rohani dan dilanjutkan dengan diskusi singkat dapat menjadi suatu pilihan. Di samping itu, jangan dilupakan bahwa setiap kejadian yang paling sederhana sekalipun dapat dijadikan momen untuk pengajaran tentang iman. Contohnya pada saat anak jatuh ketika belajar bersepeda, dapat dijadikan momen untuk mengajarkan betapa kita sebagai manusia dapat jatuh dalam kesalahan dan dosa, namun Tuhan dapat menolong kita sehingga kita dapat bangkit lagi, sebelum akhirnya kita berhasil. Atau contoh lain, pada saat ada tetangga/ saudara yang membutuhkan pertolongan, itulah saatnya kita sekeluarga pergi menjenguk dan menghibur mereka.

Jika anak telah bertumbuh remaja, kemungkinan pengajaran tentang iman dapat dilakukan dengan lebih mendalam, misalnya, sharing tentang pengalaman dalam hari itu, tentang latihan kebajikan tertentu yang disepakati bersama sehari sebelumnya, misalnya tentang kesabaran. Dengarkan pengalaman anak dan ceritakan juga pengalaman kita sebagai orang tua sepanjang hari itu untuk menjadi orang yang sabar. Baik jika sharing ini ditutup dengan doa.  Jika hal ini terus konsisten dilakukan, baik orang tua maupun anak sama- sama bertumbuh dalam kekudusan.


f. Doa bersama sekeluarga merupakan hal yang harus dilakukan
Orang tua harus mengusahakan agar dapat melakukan doa bersama sekeluarga setiap hari, entah pada pagi hari atau sore hari. Mother Teresa pernah mengatakan, “A family that prays together, stays together” (Keluarga yang berdoa bersama, tetap bersatu bersama). Doa bersama juga dilakukan pada saat sebelum dan sesudah makan. Doa bersama dapat berupa Ibadat Harian, doa spontan, doa rosario, atau doa kaplet Kerahiman Ilahi, dan seterusnya, dan dapat juga dinyanyikan. Doa dapat dilanjutkan dengan renungan Kitab Suci, dan anak- anak dan orang tua dapat melakukan sharing iman sesuai dengan ayat- ayat yang direnungkan.


g. Orang tua mengarahkan anak- anak untuk bergabung ke dalam Gereja
Melalui keluargalah anak- anak secara berangsur- angsur diarahkan ke dalam persekutuan dengan saudara- saudari seiman yang lain di dalam Gereja. Orang tua berkewajiban untuk membawa anak- anak untuk turut mengambil bagian dalam kehidupan Gereja, baik dalam ibadah di paroki atau di lingkungan, ataupun kegiatan rohani dalam komunitas- komunitas Gereja. Persaudaraan sesama umat Katolik di dalam Kristus, harus juga diperkenalkan sejak dini kepada anak- anak. Orang tua juga harus memberikan dorongan kepada anak- anak untuk mengambil bagian dalam sakramen- sakramen Gereja, terutama Ekaristi dan Tobat.

Pendidikan iman Katolik di sekolah
Sekolah melaksanakan peran yang penting di dalam membantu para orang tua mendidik anak- anak mereka. Dalam hal ini, sekolah tidak hanya bertugas untuk membantu pertumbuhan intelektual anak, tetapi juga kemampuan untuk bertindak dengan bijak, memilah hal- hal yang baik dan yang buruk, meneruskan tradisi yang baik dari generasi sebelumnya, dan untuk mempersiapkan anak- anak untuk kehidupan sesuai dengan profesi mereka di masa datang.

Berikut ini adalah masukan tentang “Apakah yang menjadikan suatu sekolah adalah Sekolah Katolik?” yang kami peroleh dari Maria Brownell, salah seorang kontributor situs Katolisitas. Maria berdomisili di Wisconsin, Amerika Serikat, dan ia aktif terlibat dalam penyusunan kurikulum salah satu sekolah Katolik di sana:

“Apakah yang menjadikan suatu sekolah adalah Sekolah Katolik?

 
1. Sekolah Katolik adalah sekolah yang bertujuan untuk membentuk anak menjadi kudus
Tujuan dari sekolah tersebut adalah tidak hanya mengajar, melainkan juga membentuk anak- anak menjadi pribadi yang utuh. Sekolah tidak hanya harus mengajar mereka secara akademis, tetapi juga untuk harus bekerja keras untuk membawa mereka kepada kekudusan. Manusia terdiri atas tubuh dan jiwa, maka sekolah Katolik yang baik harus tidak hanya mengisi ‘kepala’ murid- muridnya dengan informasi, tetapi harus juga mengisi hati murid- muridnya dengan iman Katolik dan kasih. Sekolah Katolik harus menanamkan dalam hati murid- muridnya, hati yang mengasihi dan melayani: pelayanan kepada sesama, kepada negara dan kepada Tuhan.


2. Semua guru/ pendidik di sekolah harus Katolik dan bekerja sama dengan para orang tua murid untuk mendidik anak- anak, terutama dalam hal iman.
  1. Semua guru di sekolah harus Katolik dan mereka harus mengenal/ mengetahui tentang iman Katolik dengan baik, dan melaksanakan ajaran iman mereka. Mereka harus percaya, setuju dan mengasihi semua ajaran Katolik. Guru- guru juga harus mengejar kekudusan dalam kehidupan mereka sehari- hari.
  2. Adalah ideal jika sekolah mempunyai juga imam pembimbing rohani yang turut aktif membina sekolah tersebut. Atau suster (biarawati) yang juga dapat mengajar para murid. Imam, biarawan ataupun biarawati yang mengajar di sekolah -misalnya untuk mata pelajaran Agama atau mata pelajaran lain sesuai dengan keahlian masing- masing- dapat menjadi tokoh panutan bagi murid- murid dan membantu mereka untuk semakin meneladani Kristus.
  3. Para guru juga harus menerapkan ajaran iman Katolik di dalam pengajaran mereka di dalam setiap mata pelajaran. Mereka harus mencari kesempatan- kesempatan untuk meng-integrasikan iman dalam pengajarannya kepada murid- murid.
  4. Setiap murid harus dihargai martabatnya sebagai anak Allah, dan sebaliknya semua murid harus menghormati dan menaati para gurunya.
  5. Sekolah harus bersama- sama dengan orang tua mendidik anak- anak dan membentuk karakter mereka, sebab pada akhirnya, orang tua-lah yang merupakan pendidik pertama dan utama dalam hal iman bagi anak- anak. Orang tua harus juga mendukung para guru, dan tidak cenderung mempunyai sikap curiga kepada guru yang memberikan koreksi ataupun teguran kepada anaknya.
3. Kurikulum sekolah harus Katolik: 
  1. Liturgi harus dimasukkan di dalam kurikulum sekolah, seperti perayaan Misa Kudus, adorasi Sakramen Mahakudus, dst.
  2. Buku- buku yang dipergunakan harus baik secara akademis, namun juga setia terhadap ajaran Gereja. Ini tidak berarti bahwa semua buku harus merupakan buku- buku Katolik. Namun demikian, buku- buku tersebut harus tidak bertentangan dengan ajaran Gereja. Semua buku harus mengajarkan semua mata pelajaran secara akademis dengan baik.
  3. Kurikulum harus mengajarkan kepada para murid, “Bagaimana untuk BELAJAR” dan “Bagaimana untuk BERPIKIR”, dan bukan hanya sekedar memberikan kepada mereka banyak informasi. Kurikulum harus mengajar anak- anak untuk berpikir kritis, analitis dan jika memungkinkan secara filosofis. Pada akhirnya, setelah luus SMA anak- anak harus dapat menjawab beberapa pertanyaan fundamental, seperti: Siapakah aku? Mengapa saya ada di dunia? Apakah tujuan hidupku? Siapakah Tuhan dan apakah rencana-Nya bagi dunia dan saya?
  4. Iman harus diintegrasikan ke dalam kurikulum, di dalam semua mata pelajaran. Semua mata pelajaran berhubungan dan saling mendukung satu dengan lainnya. Sebagai contohnya, ketika mereka belajar sejarah, mereka perlu juga melihat sejarah dari sudut pandang Katolik. Kurikulum pelajaran sejarah harus juga mengajarkan tentang sejarah keselamatan dari Tuhan, peran para Santa/ Santo dalam kurun waktu/ sejarah tertentu.
  5. Literatur dan buku- buku bacaan harus memasukkan buku- buku Katolik dan kisah- kisah klasik yang mengajarkan nilai- nilai kebajikan dan membedakan antara yang baik dari yang jahat, yang benar dari yang salah. Di mata Tuhan, pada akhirnya orang- orang yang baik akan menang dan mereka yang jahat selalu kalah. Contohnya, buku kisah the Chronicles of Narnia adalah lebih baik daripada Harry Potter, karena karena pada kisah Narnia, tokoh- tokoh utamanya adalah anak- anak yang baik, dan bukan penyihir. Dewasa ini banyak buku yang ingin mengacaukan konsep yang baik dan yang jahat pada anak-anak. Kejahatan dapat kelihatan bagus, menarik dan berani, namun kejahatan adalah kejahatan, dan kita tidak dapat membungkusnya dengan gula- gula seolah- olah itu baik.
  6. Penekanan harus diberikan pada mata pelajaran dasar, seperti: membaca, menulis dan artimetika (matematika). Sekolah harus mengajarkan kepada anak- anak bagaimana membaca dengan baik, terutama buku- buku dengan banyak tulisan (bukan buku berupa komik yang memuat banyak gambar).
  7. Contoh- contoh adalah sangat penting, terutama ketika guru mengajarkan matematika dan ilmu pengetahuan. Anak- anak dapat belajar dengan baik ketika mereka menggunakan indera mereka, tidak hanya dengan mata, telinga dan otak, tetapi juga dengan alat peraba (misalnya pengajaran penjumlahan, dipraktekkan dengan menghitung koin, dst). Kurikulum harus mengkaitkan buku- buku pelajaran dengan kehidupan nyata. Oleh karena itu, pengalaman praktis adalah sesuatu yang baik. Contohnya, ajarkan mereka untuk menghargai dan menyukai ilmu pengetahuan melalui pengalaman keluar melihat alam sekitar, tidak saja dari buku. Saat -saat seperti ini, adalah saatnya bagi para guru untuk mengajarkan tentang Tuhan dan keajaiban alam ciptaan-Nya.
4. Lingkungan di dalam sekolah harus Katolik: 
  1. Harus ditekankan dan dipelihara, suatu lingkungan sekolah yang menyatakan kasih dan saling menghormati, di antara para guru, murid dan staf di sekolah. Tidak diperkenankan saling berteriak/ marah- marah/ kasar satu sama lain (di antara guru, antara guru dan murid- murid ataupun di antara para murid). Jika seorang murid berbuat salah, jangan dipermalukan: tidak diperkenankan mengkoreksi murid di hadapan para murid yang lain.
  2. Para murid harus merasa bahwa mereka dikasihi dan dihargai. Guru- guru ada di sana untuk membantu mereka untuk menjadi seseorang seperti yang dikehendaki oleh Tuhan.
  3. Tidak perlu menghargai mereka dengan banyak kado/ bingkisan. Para murid seharusnya di harapkan untuk melakukan yang terbaik menurut kemampuan mereka, dan untuk memberikan apa yang terbaik dari diri mereka kepada Tuhan.
  4. Para Santa/ Santo harus menjadi teladan mereka, dan bukan para bintang film/ selebriti. Maka adalah tugas para guru untuk memperkenalkan teladan para Santa/o kepada para muridnya.
  5. Para guru harus mengajar anak- anak bagaimana untuk berpikir sendiri, dan untuk memberikan dorongan/ inspirasi agar mereka menjadi yang terbaik bagi Tuhan, mencintai Tuhan dan sesama, dan mencintai Gereja. Ketentuan disiplin harus berdasarkan kebajikan. Ketentuan tersebut harus mendorong para murid untuk menjadi semakin berbudi dan kudus.
  6. Persaingan dalam sekolah harus tidak hanya di bidang akademis, olah raga dan musik, tetapi juga dalam hal pembangunan karakter. Sebagai contohnya, penghargaan juga harus diberikan terhadap murid- murid yang mempunyai hati yang melayani, pekerja keras/ rajin, dan suka menolong, dst.”
Dengan demikian, memang ada banyak hal yang dapat dilakukan untuk menjadikan sekolah benar- benar sekolah Katolik, yang sungguh- sungguh mengajarkan iman Katolik dan mengintegrasikannya di dalam seluruh kegiatan belajar dan mengajar di sekolah.


Beberapa contoh konkret yang dapat dilakukan di Indonesia: 
  1. Doa bersama sebelum sekolah dimulai. Baik jika diterapkan doa Malaikat Tuhan (Angelus) pada jam 12 siang, dilanjutkan dengan renungan singkat Kitab Suci dan tentang kisah riwayat orang kudus (Santa/ santo) pada hari itu sesuai dengan kalender liturgi Gereja.
  2. Diadakan Misa Kudus bersama minimal seminggu sekali (jika dapat diusahakan lebih sering lebih baik), dengan disediakannya kesempatan mengaku dosa dalam Sakramen Pengakuan Dosa sebelum Misa dimulai, dan Ibadah Tobat minimal sebulan sekali.
  3. Diadakan kantin kejujuran (kantin tanpa penjaga, para pembeli harus dengan jujur membayar sesuai dengan jumlah yang dibeli). Tentu anak- anak perlu dilatih untuk dapat memahami cara kerja kantin ini.
  4. Diadakan piket kebersihan digilir per kelas untuk melatih anak- anak saling melayani.
  5. Pelajaran tentang iman Katolik diintegrasikan dengan seni: seni suara/ musik, seni lukis, menjahit, keramik, pidato dst.
  6. Demikian juga pada pelajaran ilmu pengetahuan, hindari menggunakan buku- buku yang tidak sesuai dengan ajaran iman Katolik, seperti evolusi Darwin (makroevolusi), atau buku sejarah yang mengatakan bahwa Abad Pertengahan adalah Abad kegelapan; atau buku yang mengatakan bahwa dunia sudah terlalu penuh, sehingga orang harus membatasi jumlah anak. Jika pemakaian buku- buku tersebut tidak dapat dihindari, minimal para guru dapat memberikan penjelasan yang meluruskannya.
  7. Pendidikan seksualitas pada anak- anak sesuai dengan umurnya, dengan menyampaikan nilai- nilai Kristiani sesuai dengan ajaran Gereja Katolik.


Pendidikan Iman Katolik di paroki
Mengingat fakta secara umum, bahwa dewasa ini banyak orang Katolik tidak sungguh- sungguh mengenali imannya, maka pendidikan katekese sebaiknya dilakukan di semua lini, maksudnya adalah, kepada anak- anak, kaum muda, maupun orang tua. Katekese anak dapat dilakukan melalui Bina Iman, yang dilakukan sekali seminggu, menurut kelompok usia. Namun mungkin baik dipikirkan jika terdapat buku panduan dari pihak keuskupan setempat, agar memudahkan para guru untuk mempersiapkan pengajaran.

Alangkah baiknya, jika pastor paroki menghimbau dan mendukung Bina Iman, juga dalam hal mencari para pengajar yang kompeten untuk mengajar Bina Iman. Mungkin kaum muda/ OMK dapat dilibatkan dalam hal ini, setelah mereka menjalani semacam pelatihan untuk menjadi guru- guru Bina Iman. Jika keuangan paroki memungkinkan, dapat pula diusahakan adanya staf khusus yang menangani hal katekese umat, dalam hal ini untuk menjadi koordinator guru- guru Bina Iman, yang memberikan pengarahan kepada para guru setiap minggunya (atau dua minggu sekali) sebelum mereka mengajar; ataupun juga mengkoordinasikan para katekis lainnya yang bertugas mengajar katekumen, calon Krisma ataupun calon penerima Komuni pertama. Alangkah baiknya jika dalam pendidikan iman anak- anak ini, pihak orang tua dilibatkan, misalnya dengan secara periodik mengadakan rekoleksi/ retret keluarga ataupun semacam seminar setengah hari yang melibatkan orang tua, ataupun yang disertai dengan acara rekreasi keluarga.

Di samping itu perlu diperhatikan adanya kesinambungan dalam pendidikan iman Katolik dari masa kanak- kanak sampai usia dewasa. Jika tidak ada kelompok khusus antara usia Komuni pertama sampai usia mudika maka perlu diusahakan komunitas ‘antara’ tersebut. Komunitas ini tidak selalu harus baru, tetapi bisa juga mendayagunakan komunitas yang sudah ada, seperti Putra- Putri Altar, Legio Maria Junior, Kelompok koor anak/ remaja, yang diberi pandampingan rohani.

Komunitas OMK atau pasangan muda juga dapat disemangati dengan katekese tentang pendalaman iman Katolik. Selanjutnya, kelompok ini dapat didayagunakan untuk juga menjadi para guru Bina Iman Anak dan Remaja. Jika memungkinkan, dipupuk juga pelatihan OMK untuk menjadi kelompok yang berguna bagi kegiatan membangun kehidupan menggereja, seperti menjadi relawan yang mengunjungi  dan mendoakan umat paroki yang sakit, menjadi guru Bina Iman termasuk mengajar Bina Iman dalam bahasa Inggris, menggiatkan kelompok Bible Study/ Bible Sharing untuk pendalaman iman, kelompok diskusi apologetik, kelompok musik/ orkestra rohani dan seterusnya.

Hal yang juga dapat diterapkan untuk meningkatkan kualitas katekisasi adalah prinsip sponsor/ pendukung dalam proses katekumenat calon baptis. Sesungguhnya prinsip ini bukan hal yang baru, melainkan sudah diterapkan oleh Gereja sejak jaman dulu, dan kini diterapkan kembali di banyak paroki di negara- negara lain.

Dalam  proses ini, setiap katekumen didukung oleh seorang sponsor (dari salah seorang umat yang sudah dibaptis), yaitu pendukung yang mendampingi katekumen sepanjang proses katekumenat. Tugas seorang sponsor adalah membantu agar katekumen dapat semakin memahami iman Katolik, membantunya menemukan motivasi yang lebih murni untuk menjadi Katolik dan mendampinginya dalam pergumulan yang mungkin dihadapi dalam proses katekumenat. Maka para sponsor adalah “mereka yang telah mengetahui dan membantu calon baptis dan berdiri sebagai saksi baginya dalam hal karakter moral, iman dan intensi”.[12]. Kemungkinan, para lulusan kursus evangelisasi di paroki dapat diarahkan untuk menjadi sponsor bagi para katekumen.

Selain sponsor, setiap katekumen juga mempunyai wali baptis yang mendampinginya, membantu pertumbuhan imannya dan selalu mendoakannya setiap hari. “Para wali baptis adalah orang- orang yang dipilih oleh para katekumen atas dasar teladan yang baik, persahabatan …. Adalah tanggung jawab dari para orang tua baptis untuk memperlihatkan kepada para katekumen bagaimana mempraktekkan Injil di dalam kehidupan pribadi dan sosial, untuk menguatkan mereka di saat- saat mereka ragu/ enggan dan kuatir, untuk menjadi saksi dan untuk membimbing kemajuan katekumen dalam kehidupan sebelum dan sesudah baptisan.”[13].

Karena peran sponsor dan para orang tua baptis sangatlah penting, maka pentinglah pula dipersiapkan beberapa umat di paroki agar dapat melakukan tugas ini. Diperlukan katekese umat dalam hal ini, agar mereka dapat terpanggil untuk menjadi sponsor [dan wali baptis] dan melakukan tugas mereka dengan suka cita. Sponsor dan para katekis harus bersama- sama saling bahu- membahu untuk mempersiapkan calon baptis menerima Kristus dalam sakramen- sakramen Inisiasi.

Perlu dipikirkan juga bagaimana menerapkan penggabungan para katekumen ke dalam kehidupan seluruh umat beriman dalam liturgi, seperti yang ditetapkan dalam the RCIA (Rites of Christian Initiation of Adults) yang disusun berdasarkan the Order of Christian Initiation of Adults yang dipromulgasikan oleh Paus Paulus VI pada tahun 1972.  Hal ini terlihat dalam beberapa ritual dalam liturgi yang mencerminkan beberapa tahapan dalam masa katekumenat, sejak masa penerimaan sampai dibaptis, seperti: Rite of Acceptance, Rite of Welcoming, Rite of Election, Rite of the Call to Continuing Conversion, Scrutinies, Sacraments of Initiation. Dan akhirnya, perlu dipikirkan bagaimana seluruh umat di paroki menyambut mereka, sehingga mereka dapat masuk ke dalam kehidupan menggereja. Untuk membantu umat yang baru dibaptis, maka mistagogi juga harus disusun secara serius.

Para katekis awam juga perlu terus memperdalam pengetahuan dan penghayatan mereka akan iman Katolik, sehingga mereka dapat mengajar sesuai dengan pengajaran Magisterium Gereja; setelah menerapkan ajaran tersebut dalam kehidupannya pribadinya sendiri. Alangkah baiknya jika seksi Katekese KWI secara berkala mengadakan sesi pengajaran khusus tentang beberapa topik khas Katolik secara mendalam (misalnya Maria, tentang Gereja, Sakramen, dst) yang dapat diikuti oleh semua katekis. Harapannya agar para katekis menjadi semakin memahami ajaran iman Katolik, yang selalu mengambil dasar dari Kitab Suci dan Tradisi Suci. Lebih lanjut, seksi Katekese KWI juga dapat memberikan kursus kepada para katekis, yang nantinya menjadi dasar untuk pemberian sertifikat mengajar kepada para katekis.

Selanjutnya, katekese lanjutan bagi kelompok umat yang baru dibaptis juga sangat penting. Mereka yang baru dibaptis sebenarnya adalah ‘anak- anak’ dalam hal rohani, yang memerlukan pembinaan iman lebih lanjut agar iman mereka dapat terus bertumbuh. Pembinaan lanjutan ini idealnya tidak hanya dilakukan satu atau dua kali, tetapi seterusnya, sampai mereka dapat menjadi sponsor bagi para calon baptis dalam angkatan berikutnya. Dengan demikian, harapannya proses katekese  dapat  berjalan berkesinambungan dan ada proses regenerasi dalam proses tersebut.


Kesimpulan
Bahwa ada banyak umat Katolik yang tidak sungguh- sungguh mengenali imannya, menjadi tantangan bagi kita untuk memperbaiki proses katekese di dalam Gereja Katolik. Proses katekese atau pendidikan iman ini harus dimulai sejak dini, baik di keluarga, sekolah maupun di paroki. Di dalam semua proses tersebut, harus tetap dipahami dan diterapkan bahwa orang tua merupakan pendidik pertama dan utama bagi anak- anak mereka dalam hal iman dan pembentukan karakter.

Dalam melakukan tugas ini, orang tua memperoleh bantuan dari sekolah dan paroki dan ketiga pihak ini harus bersama- sama berusaha untuk membentuk anak untuk mengasihi Tuhan dan sesama, dan menjadi pribadi yang bertanggungjawab di dalam hidup ini, agar kelak dapat masuk dalam Kerajaan Surga. Dewasa ini  ada begitu banyak tantangan yang harus dihadapi untuk melaksanakan pendidikan iman sejak usia dini, karena ada banyak tawaran dunia yang dapat lebih menarik perhatian anak-anak dan generasi muda. Maka orang tua, pihak sekolah dan paroki harus bersatu padu untuk bersama- sama berusaha untuk malaksanakan tugas pendidikan iman ini, dengan memperhatikan isi dan cara penyampaiannya.

Jika usaha terpadu ini dapat dilakukan secara berkesinambungan,  dari usia dini sampai dewasa, maka besar harapan kita bahwa semakin banyak umat Katolik dapat mengenal dan mengasihi imannya, dan dapat pula menjadi saksi- saksi iman yang hidup untuk membangun Gereja dan masyarakat. Janganlah kita lupa akan prinsip dasar dalam hal pendidikan iman ini: “Jangan biarkan dunia ini yang mendidik dan membesarkan anak- anak kita, sebab sebagai orang tua, guru dan Gereja, kitalah yang harus mendidik anak- anak agar mereka dapat masuk surga.” Mari kita bersama sebagai anggota Tubuh Kristus secara bahu membahu bekerja bersama Kristus sang Kepala kita untuk mewujudkan kehendak-Nya yang “mengendaki supaya semua orang diselamatkan dan memperoleh pengetahuan akan kebenaran” (1 Tim 2:4).

Semoga pendidikan iman dalam keluarga, sekolah dan paroki mengarah kepada pengetahuan akan kebenaran ini, yang menghantar kita sampai kepada kehidupan kekal.

Catatan:
Artikel ini dibuat untuk acara Temu Darat Katolisitas 2, dengan tema “Pendidikan anak sejak usia dini di dalam keluarga, paroki dan sekolah”, yang diselenggarakan pada tanggal 29 Januari 2011 di Paroki Hati Kudus – Kramat, Jakarta.
_________________________________________
Sumber:
http://katolisitas.org/6011/pendidikan-iman-katolik-anak-sejak-usia-dini-di-dalam-keluarga-paroki-dan-sekolah/comment-page-1

CATATAN KAKI:

1 Paus Yohanes Paulus II, Catechesi Tradendae, 30-31
2 lihat Congregation for the Clergy, Ad Normam Decreti, General Catechetical Directory, 38
3 Ibid., 24
4 Konsili Vatikan II, Gravissimum Educationis, 1
5 Ibid
6 Paus Yohanes Paulus II, Apostolic Exhortation, Familiaris Consortio 37
7 Konsili Vatikan II, Gravissimum Educationis 3, lihat juga KGK 1653 dan Familiaris Consortio 36
8 lihat Paus Yohanes Paulus II, Familiaris Consortio 36
9 lihat Paus Yohanes Paulus II, Familiaris Consortio 37
10 Konsili Vatikan II, Gravissimum Educationis 3
11 lihat Paus Yohanes Paulus II, Familiaris Consortio, 36
12 Rite of Christians Initiantion for Adults, 10
13 Rite of Christians Initiantion for Adults, General Introduction, 11

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berbicara adalah hak asasi manusia dari setiap individu, tetapi gunakan hak itu sesuai dengan peraturan yang berlaku serta budaya lokal yang membangun. Salam kasih. Admin