Paus Benediktus XVI (Foto: sidomi.com) |
Pada 29 Juni 2009 Paus Benediktus XVI meluncurkan ensiklik terbarunya yang diberi judul Caritas in Veritate (Kasih dalam Kebenaran). Ensiklik ini merupakan suatu dokumen yang kaya dengan ajaran sosial Gereja yang terbarukan dan ditulis lebih dari 40 tahun setelah ensiklik Populorum Progressio (Paus Paulus VI, 26 Maret 1967) dan lebih dari 20 tahun setelah ensiklik Sollicitudo Rei Socialis (Paus Yohanes Paulus II, 30 Desember 1987). Ensiklik ini harus dibaca dalam keutuhan dengan dua ensiklik sebelumnya dari Paus Benediktus XVI, yakni Deus Caritas Est dan Spe Salvi. Sejumlah istilah dalam Populorum Progressio didefinisikan kembali dan diberi arti baru sesuai pemahaman dewasa ini.
Kasih dan kebenaran adalah dua keutamaan yang saling terkait erat dan saling mengisi. Cinta tanpa kebenaran akan menjadi sentimental, sedangkan kebenaran tanpa cinta akan menjadi dingin dan penuh perhitungan manusiawi. Tanpa kasih dan kebenaran relasi-relasi manusiawi menjadi hampa. “Terkait erat dengan kebenaran maka kasih dapat diakui sebagai ungkapan otentik dari kemanusiaan dan sebagai unsur yang sangat mendasar dalam relasi-relasi manusiawi, termasuk relasi-relasi publik. Hanya dalam kebenaran kasih bersinar, hanya dalam kebenaran kasih dapat secara otentik dihayati. Kebenaran adalah cahaya yang memberikan makna dan nilai pada kasih… Tanpa kebenaran kasih merosot menjadi sentimental…” (CV, 3). “Karena dipenuhi dengan kebenaran maka kasih dapat dimengerti dalam nilai-nilainya yang berlimpah, kasih dapat dibagikan dan dikomunikasikan…. Tanpa kebenaran kasih dibatasi pada bidang sempit yang hampa relasi-relasi, kasih dikesampingkan dari rencana-rencana dan proses-proses untuk mempromosikan perkembangan manusiawi berskala universal, dalam dialog antara pengetahuan dan praksis” (CV, 4). Ditegaskan dalam kesimpulan bahwa tanpa Tuhan manusia tidak tahu arah tujuannya dan tidak mengerti siapakah dia sesungguhnya. Dengan Tuhan cakrawala cinta menjadi luas (CV, 78).
Melalui ensiklik ini Sri Paus menegaskan sejumlah hal yang berkaitan dengan ajaran sosial Gereja dalam konteks perkembangan dunia dewasa ini, khususnya di bidang kehidupan sosial-ekonomi, politik, budaya dan relasi-relasi internasional. Ditegaskan kembali bahwa kasih adalah prinsip utama ajaran sosial Gereja. “Kasih merupakan hakekat ajaran sosial Gereja. Setiap tanggung jawab dan setiap komitmen yang diutarakan oleh ajaran ini berasal dari kasih yang, sesuai ajaran Yesus, merupakan sintese seluruh Hukum (lih. Mat 22:36-40). Kasih memberi substansi riil pada relasi pribadi dengan Allah dan dengan sesama; kasih merupakan prinsip tidak hanya dari relasi-relasi mikro [dengan para sahabat, dengan anggota keluarga atau dalam kelompok-kelompok kecil] tetapi juga dari relasi-relasi makro [sosial, ekonomi dan politik]” (CV, 2). Caritas in veritate merupakan prinsip di sekitar mana ajaran sosial Gereja berpaling, suatu prinsip yang mengatur tindakan moral… disertai dua hal yang punya relevansi khusus bagi komitmen pada perkembangan di dalam dunia yang semakin terglobalisasi ialah keadilan dan kepentingan umum ” (CV, 6).
Secara panjang lebar Sri Paus membicarakan tentang perkembangan (development). Kata ini menjadi salah satu kata kunci dan konsep sentral dalam bahasan seluruh dokumen. Dalam semuanya itu Paus menegaskan bahwa manusia dan penghargaan atas martabatnya harus berada di pusat setiap perkembangan ekonomis, politis, budaya dan relasi-relasi internasional. Ekonomi dan politik yang merendahkan martabat manusia atau yang membahayakan serta mengorbankan manusia tidaklah otentik. Di dalam perkembangan ekonomi manusia harus dihargai sesuai martabatnya lebih daripada modal/ kapital. Manusia harus dihargai secara otentik, tidak sekedar alat politik demi suatu tujuan dan kepentingan pribadi. Paus mengulangi pernyataan dari Paulus VI dalam Populorum Progressio bahwa perkembangan manusia yang utuh dan otentik menyangkut seluruh pribadi dalam setiap dimensinya (CV, 11). Perkembangan itu “harus integral yakni mempromosikan kebaikan setiap orang dan keseluruhan manusia” (CV, 18). Lagi dikatakannya: “Saya ingin mengingatkan setiap orang, khususnya para pemerintah yang terlibat dalam meningkatkan aset ekonomi dan sosial dunia bahwa modal utama yang harus dipelihara dan dihargai adalah manusia, pribadi manusia dalam keutuhannya: manusia adalah sumber, fokus dan tujuan semua kehidupan ekonomis dan sosial” (CV, 25). Ditegaskan pula bahwa penghargaan terhadap harkat kehidupan merupakan salah satu aspek paling menonjol dalam perkembangan dewasa ini (CV, 28).
Selanjutnya, Sri Paus mengakui bahwa dewasa ini “ciri baru utama adalah ledakan saling ketergantungan, yang secara umum dikenal sebagai globalisasi,” (CV, 33) yang memunculkan “kebutuhan moral mendesak akan solidaritas yang terbarukan, khususnya dalam relasi-relasi antara negara-negara yang sedang berkembang dan negara-negara industri maju (CV, 49). Masalah-masalah yang muncul seperti krisis global, kemiskinan, kelaparan, dsb, bukan disebabkan oleh adanya ekonomi pasar dan globalisasi, tetapi oleh penggunaannya oleh manusia demi tujuan dan kepentingan dirinya sendiri.
Ekologi pun disorot, yakni hormat terhadap segala makhluk yang hidup, terhadap seluruh alam semesta. Ditunjukkannya bagaimana kebudayaan dunia masa kini gagal melindungi hidup malahan menghancurkannya dengan melecehkan hak-hak asasi manusia. “Dewasa ini pokok tentang perkembangan terkait erat dengan kewajiban-kewajiban yang muncul dari relasi kita dengan lingkungan alam. Lingkungan adalah anugerah Tuhan kepada setiap orang dan dalam memanfaatkannya kita memiliki tanggung jawab terhadap orang-orang miskin, terhadap generasi mendatang dan terhadap umat manusia secara keseluruhan” (CV, 48). Untuk itu, semua orang mempunyai tanggung jawab global untuk melindungi, menikmati hasilnya dan mengolahnya atas cara-cara baru agar dapat mengakomodasi dan memberi makan pada penduduk dunia, agar manusia dapat hidup sesuai martabatnya (CV, 50). Demikian juga Gereja mempunyai tanggung jawab untuk melindungi manusia dari pemusnahan diri dan untuk mempromosikan ekologi manusia (human ecology) di samping ekologi lingkungan (environmental ecology); ketika ekologi manusia dihormati di dalam masyarakat maka ekologi lingkungan juga memberi manfaatnya (CV, 51).
Demikian, nilai rohani atau sikap batin yakni kasih yang berlandaskan dan dipenuhi kebenaran harus dirangkul untuk menjiwai perkembangan di pelbagai bidang kehidupan demi membangun persaudaraaan sejati antara manusia. Tidaklah cukup manusia hanya mengandalkan keuntungan ekonomis dan politis serta perkembangan dan perubahan di bidang budaya. Semuanya harus diterangi oleh kasih dalam kebenaran, yang antara lain berwujud dalam option for the poor (pilihan mengutamakan kaum miskin). Kasih yang sejati lebih dari pada sekedar memberi kepada orang miskin atau berkekurangan, tetapi yang lebih mendasar adalah pengakuan bahwa semua berasal dari cinta Allah. Kasih sedemikian adalah memberi tanpa mengharapkan balasan. Kasih sedemikian bukan do ut des (saya memberi supaya saya mendapatkannya kembali), tetapi saya memberi dan mencintai orang lain, karena saya terlebih dahulu mengalami kasih ilahi. Itulah kebenaran yang terdalam.
Kasih dan kebenaran adalah dua keutamaan yang saling terkait erat dan saling mengisi. Cinta tanpa kebenaran akan menjadi sentimental, sedangkan kebenaran tanpa cinta akan menjadi dingin dan penuh perhitungan manusiawi. Tanpa kasih dan kebenaran relasi-relasi manusiawi menjadi hampa. “Terkait erat dengan kebenaran maka kasih dapat diakui sebagai ungkapan otentik dari kemanusiaan dan sebagai unsur yang sangat mendasar dalam relasi-relasi manusiawi, termasuk relasi-relasi publik. Hanya dalam kebenaran kasih bersinar, hanya dalam kebenaran kasih dapat secara otentik dihayati. Kebenaran adalah cahaya yang memberikan makna dan nilai pada kasih… Tanpa kebenaran kasih merosot menjadi sentimental…” (CV, 3). “Karena dipenuhi dengan kebenaran maka kasih dapat dimengerti dalam nilai-nilainya yang berlimpah, kasih dapat dibagikan dan dikomunikasikan…. Tanpa kebenaran kasih dibatasi pada bidang sempit yang hampa relasi-relasi, kasih dikesampingkan dari rencana-rencana dan proses-proses untuk mempromosikan perkembangan manusiawi berskala universal, dalam dialog antara pengetahuan dan praksis” (CV, 4). Ditegaskan dalam kesimpulan bahwa tanpa Tuhan manusia tidak tahu arah tujuannya dan tidak mengerti siapakah dia sesungguhnya. Dengan Tuhan cakrawala cinta menjadi luas (CV, 78).
Melalui ensiklik ini Sri Paus menegaskan sejumlah hal yang berkaitan dengan ajaran sosial Gereja dalam konteks perkembangan dunia dewasa ini, khususnya di bidang kehidupan sosial-ekonomi, politik, budaya dan relasi-relasi internasional. Ditegaskan kembali bahwa kasih adalah prinsip utama ajaran sosial Gereja. “Kasih merupakan hakekat ajaran sosial Gereja. Setiap tanggung jawab dan setiap komitmen yang diutarakan oleh ajaran ini berasal dari kasih yang, sesuai ajaran Yesus, merupakan sintese seluruh Hukum (lih. Mat 22:36-40). Kasih memberi substansi riil pada relasi pribadi dengan Allah dan dengan sesama; kasih merupakan prinsip tidak hanya dari relasi-relasi mikro [dengan para sahabat, dengan anggota keluarga atau dalam kelompok-kelompok kecil] tetapi juga dari relasi-relasi makro [sosial, ekonomi dan politik]” (CV, 2). Caritas in veritate merupakan prinsip di sekitar mana ajaran sosial Gereja berpaling, suatu prinsip yang mengatur tindakan moral… disertai dua hal yang punya relevansi khusus bagi komitmen pada perkembangan di dalam dunia yang semakin terglobalisasi ialah keadilan dan kepentingan umum ” (CV, 6).
Secara panjang lebar Sri Paus membicarakan tentang perkembangan (development). Kata ini menjadi salah satu kata kunci dan konsep sentral dalam bahasan seluruh dokumen. Dalam semuanya itu Paus menegaskan bahwa manusia dan penghargaan atas martabatnya harus berada di pusat setiap perkembangan ekonomis, politis, budaya dan relasi-relasi internasional. Ekonomi dan politik yang merendahkan martabat manusia atau yang membahayakan serta mengorbankan manusia tidaklah otentik. Di dalam perkembangan ekonomi manusia harus dihargai sesuai martabatnya lebih daripada modal/ kapital. Manusia harus dihargai secara otentik, tidak sekedar alat politik demi suatu tujuan dan kepentingan pribadi. Paus mengulangi pernyataan dari Paulus VI dalam Populorum Progressio bahwa perkembangan manusia yang utuh dan otentik menyangkut seluruh pribadi dalam setiap dimensinya (CV, 11). Perkembangan itu “harus integral yakni mempromosikan kebaikan setiap orang dan keseluruhan manusia” (CV, 18). Lagi dikatakannya: “Saya ingin mengingatkan setiap orang, khususnya para pemerintah yang terlibat dalam meningkatkan aset ekonomi dan sosial dunia bahwa modal utama yang harus dipelihara dan dihargai adalah manusia, pribadi manusia dalam keutuhannya: manusia adalah sumber, fokus dan tujuan semua kehidupan ekonomis dan sosial” (CV, 25). Ditegaskan pula bahwa penghargaan terhadap harkat kehidupan merupakan salah satu aspek paling menonjol dalam perkembangan dewasa ini (CV, 28).
Selanjutnya, Sri Paus mengakui bahwa dewasa ini “ciri baru utama adalah ledakan saling ketergantungan, yang secara umum dikenal sebagai globalisasi,” (CV, 33) yang memunculkan “kebutuhan moral mendesak akan solidaritas yang terbarukan, khususnya dalam relasi-relasi antara negara-negara yang sedang berkembang dan negara-negara industri maju (CV, 49). Masalah-masalah yang muncul seperti krisis global, kemiskinan, kelaparan, dsb, bukan disebabkan oleh adanya ekonomi pasar dan globalisasi, tetapi oleh penggunaannya oleh manusia demi tujuan dan kepentingan dirinya sendiri.
Ekologi pun disorot, yakni hormat terhadap segala makhluk yang hidup, terhadap seluruh alam semesta. Ditunjukkannya bagaimana kebudayaan dunia masa kini gagal melindungi hidup malahan menghancurkannya dengan melecehkan hak-hak asasi manusia. “Dewasa ini pokok tentang perkembangan terkait erat dengan kewajiban-kewajiban yang muncul dari relasi kita dengan lingkungan alam. Lingkungan adalah anugerah Tuhan kepada setiap orang dan dalam memanfaatkannya kita memiliki tanggung jawab terhadap orang-orang miskin, terhadap generasi mendatang dan terhadap umat manusia secara keseluruhan” (CV, 48). Untuk itu, semua orang mempunyai tanggung jawab global untuk melindungi, menikmati hasilnya dan mengolahnya atas cara-cara baru agar dapat mengakomodasi dan memberi makan pada penduduk dunia, agar manusia dapat hidup sesuai martabatnya (CV, 50). Demikian juga Gereja mempunyai tanggung jawab untuk melindungi manusia dari pemusnahan diri dan untuk mempromosikan ekologi manusia (human ecology) di samping ekologi lingkungan (environmental ecology); ketika ekologi manusia dihormati di dalam masyarakat maka ekologi lingkungan juga memberi manfaatnya (CV, 51).
Demikian, nilai rohani atau sikap batin yakni kasih yang berlandaskan dan dipenuhi kebenaran harus dirangkul untuk menjiwai perkembangan di pelbagai bidang kehidupan demi membangun persaudaraaan sejati antara manusia. Tidaklah cukup manusia hanya mengandalkan keuntungan ekonomis dan politis serta perkembangan dan perubahan di bidang budaya. Semuanya harus diterangi oleh kasih dalam kebenaran, yang antara lain berwujud dalam option for the poor (pilihan mengutamakan kaum miskin). Kasih yang sejati lebih dari pada sekedar memberi kepada orang miskin atau berkekurangan, tetapi yang lebih mendasar adalah pengakuan bahwa semua berasal dari cinta Allah. Kasih sedemikian adalah memberi tanpa mengharapkan balasan. Kasih sedemikian bukan do ut des (saya memberi supaya saya mendapatkannya kembali), tetapi saya memberi dan mencintai orang lain, karena saya terlebih dahulu mengalami kasih ilahi. Itulah kebenaran yang terdalam.
____________________________
Darius Lekalawo
Sumber: https://jmangkey.wordpress.com/tag/paus-benediktus-xvi-dan-ensiklik-caritas-in-veritate-kasih-dalam-kebenaran/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berbicara adalah hak asasi manusia dari setiap individu, tetapi gunakan hak itu sesuai dengan peraturan yang berlaku serta budaya lokal yang membangun. Salam kasih. Admin