Teritorial yang sama Idealnya, sebuah KBG terbentuk sekitar lima belas sampai dua puluh keluarga bertetangga yang hidup dalam wilayah yang sama. Hal ini dapat dipahami dengan alasan:
Ada beberapa alasan, mengapa sharing Injil sangat ditekankan dan dinilai sebagai faktor kunci sebuah KBG:
Ada beberapa alasan, mengapa aksi nyata injili merupakan ciri yang harus tampak dalam KBG:
Ada beberapa alasan mengapa KBG harus terikat dengan paroki:
Istilah Komunitas Umat Basis (KUB) sampai sekarang ini penulis belum menemukan definisi operasionalnya. Namun dari beberapa referensi tentang kehidupan komunitas basis di negera- negara Eropa Selatan, Eropa Timur, Asia Timur, Amerika Latin, dan Asia Tenggara (Filipina), komunitas basis merujuk pada struktur gereja yang mengedepankan partisipasi umat dalam perutusan. Kepemimpinan kehidupan gereja Katolik tidak lagi pada pastor sentris atau top down. Awam diberi tugas dan tanggung jawab sebagai katekis untuk melaksanakan pembinaan iman kepada umat, baik mereka yang belum dibaptis ataupun yang sudah dibaptis, orang muda Katolik yang akan mempersiapkan perkawinan atau keluarga yang sudah menjalani kehidupan berumah tangga, dan lain-lain yang berkaitan dengan pemeliharaan iman.
Di Indonesia, seorang Teolog, Frans Magnis Suseno, adalah rohaniwan yang menggagas tentang komunitas basis ini. Yang menjadi dasar dan alasan mengapa komunitas basis perlu diberdayakan untuk menghidupi paroki:
Pembentukan dan pemberdayaan umat basis ini sebenarnya lebih cocok diterapkan di paroki yang umatnya sangat majemuk dari latar belakang suku, ras, pekerjaan/ profesi, pendidikan, dan gender. Kemajemukan ini biasa ditemui di dalam masyarakat perkotaan atau daerah tujuan urbanisasi. KUB adalah bagian kecil dari organisasi gereja Katolik karena KUB dilengkapi dengan pengurus yang harus mempertanggungjawabkan seluruh kegiatan dan administrasi kepada lingkungan, wilayah, atau paroki. KUB tidak berdiri di luar struktur gereja Katolik dan harus tunduk pada AD dan ART paroki. Keanggotaan KUB berkisar 20 keluarga Katolik. Keberadaan KUB lebih fleksibel karena untuk daerah-daerah yang teritorialnya tidak luas, fungsinya bisa ditiadakan, dengan catatan administrasi harus definitif. Namun untuk daerah yang teritorialnya lebih luas dan distribusi penyebaran umat tidak merata (jawa=mencar-mencar), keberadaan KUB dapat memberikan kemudahan untuk melakukan kegiatan rohani dan nonrohani di komunitas yang lebih kecil tersebut.
Beberapa pertimbangan perlunya pembentukan dan pemberdayaan komunitas umat basis di paroki-paroki perkotaan atau daerah tujuan urbanisasi, yaitu: (1) kondisi geografis, (2) ekonomi keluarga, (3) kapasitas rumah-rumah di kompleks perumahan yang relatif berukuran tidak terlalu luas. Ada pun tujuan pembentukan dan pemberdayaan KUB, yaitu:
Penyampaian artikel ini sebenarnya sebagai jawaban dari beberapa pertanyaan seputar keberadaan KUB di Paroki Santo Paulus saat DPP dan DKP melakukan kunjungan di wilayah-wilayah. Jawaban ini mungkin belum memberikan kepuasan, untuk itu penulis menyajikan bentuk-bentuk organisasi lain yang fungsinya sama atau hampir sama untuk dijadikan sebagai pembanding atau persamaannya. Jika ada beberapa umat yang belum sepaham dengan kebijakan paroki tentang KUB ini, bisa dimaklumi. Biasanya kebijakan tidak serta merta diterima begitu saja dan membutuhkan proses yang lama. Hanya perlu diingat bahwa gereja Katolik tidak konservatif, gereja Katolik selalu dinamis dan mengikuti perkembangan zaman agar tidak tergerus oleh arus globalisasi dan modernisasi. Gereja Katolik tetap luwes dalam menyikapi segala permasalahan grass root. Jika KUB ini dirasa tidak relevan, gereja akan mengkaji ulang dan kembali pada format lama jika dinilai lebih aktual.
Dulu pernah ada kebijakan paroki yang menamai lingkungan dengan sebutan praptamarga. Namun nama tersebut sampai sekarang tidak terdengar lagi. Idealnya nama organisasi yang terikat dengan struktur gereja (paroki) memiliki nama yang khas dan berbeda dengan organisasi lain. Jika kita merujuk pada semangat Gereja Perdana, kata komunitas dan persekutuan hendaknya menjadi kata kuncinya. Basis gereja adalah umat yang beriman dan yang menghidupi umat beriman adalah sabda Tuhan. Menurut penulis, penggunaaan istilah Komunitas Umat Basis yang ditetapkan oleh DPP Paroki Santo Paulus Depok periode 2011-2013 tidak menyalahi aturan. Penggunaan istilah lingkungan memiliki makna yang terlalu luas. Sulit dibedakan dengan lingkungan sekolah, lingkungan hijau, lingkungan kumuh, dan lain-lain.
Kebijakan ini mungkin tidak popular dan bisa jadi kontroversial, namun bisa juga menjadi sebaliknya. Menjadi format/ formula yang dibakukan dan ditiru oleh paroki-paroki lain. (Sudir Inu Menggolo)
- Karena keluarga-keluarga itu bertetangga dekat dan berjumlah relatif kecil dalam area yang sama, Gereja sebagai komunio dapat dialami tanpa sekat-sosial seperti suku, bahasa, ekonomi, gender, minat, dan sebagainya.
- Umat dapat mengalami komunio sebagai relationship dengan Tuhan dan sesama, saling mengenal dan mengunjungi untuk mewujudkan persekutuan dan persaudaraan sebagai satu keluarga Allah. Orang tidak lagi merasa terasing di dalam kelompoknya sendiri. Dengan demikian, hukum kasih yang merupakan isi Injil dialami dalam hidup beriman.
Ada beberapa alasan, mengapa sharing Injil sangat ditekankan dan dinilai sebagai faktor kunci sebuah KBG:
- Sharing Injil adalah alat yang ampuh untuk membantu umat beriman mendengarkan Sabda Tuhan.
- Di dalam Kitab Suci, mendengar suara Allah adalah sebuah keutamaan yang lebih penting daripada melihat. Allah yang tak kelihatan bisa dialami kehadiranNya secara nyata. Umat menerima Sabda Allah melalui telinga dan memeliharanya dalam hati.
- Sebagai perwujudan konkret Gereja, KBG adalah komunitas doa. Dalam sharing Injil, Kitab Suci menjadi buku doa. Yesus hadir, menyapa dan menyentuh semua saudara-Nya.
- Sharing Injil menolong umat untuk melihat segala sesuatu dalam terang Injil.
- Sharing Injil dapat dilakukan tanpa harus dipimpin oleh imam walaupun imam hadir di situ. Hidup komunitas Gereja yang berpusat pada Sabda Allah membuat sifat gereja yang kudus menjadi tampak.
Ada beberapa alasan, mengapa aksi nyata injili merupakan ciri yang harus tampak dalam KBG:
- Aksi nyata membuat iman menjadi iman yang hidup.
- Tugas semua umat beriman untuk menghayati hidupnya dalam terang Injil.
- Bersaksi tentang Yesus adalah pengabdian yang luhur.
- Sarana utama bagi penginjilan adalah kesaksian hidup kristiani yang otentik
- Semua kaum beriman bertugas untuk melanjutkan perutusan Yesus di dunia. Dengan melakukan aksi nyata injili, KBG menampakkan sifat universal gereja yang apostolik.
Ada beberapa alasan mengapa KBG harus terikat dengan paroki:
- Paroki menghadirkan gereja semesta yang kelihatan. Oleh karena itu, KBG sebagai komunitas gereja harus disatukan dengan paroki, bagai ranting anggur dengan pokoknya. Tanpa kesatuan erat dengan paroki, KBG bukan komunitas basis gereja, melainkan sekte.
- Paroki adalah komunitas orang-orang yang dibaptis. Paus Yohanes Paulus II menegaskan bahwa paroki adalah komunitas dasar umat Allah. Komunitas dasar itu ditemukan dalam baptisan dan memiliki tugas khusus mengembangkan panggilan orang-orang yang dibaptis. Sebagai sebuah paroki, setiap orang yang dibaptis dipanggil untuk membentuk satu jati diri (entitas) dalam Kristus, terikat untuk mengemban kesaksian hidup kepada komunitas ini, dengan berusaha bertumbuh dalam Kristus, tidak hanya sebagai individu tetapi juga sebagai paroki. Dengan demikian, KBG hanya bisa menjadi Komunitas Basis Gerejawi, bila keberadaannya adalah untuk pembangunan paroki sebagai gereja yang paling lokal.
- Paroki adalah komunitas ekaristi, komunitas yang paling cocok untuk perayaan sakramen sumber hidup ini dalam persatuan penuh seluruh gereja, di mana pastor yang mewakili Uskup Disosesan, merupakan ikatan hirarkis dengan seluruh gereja partikular. Dalam ekaristi tampak komunio semua anggota tubuh Kristus yang menyebar di setiap KBG dalam kesatuan dengan imam sebagai in nomine christi capitiis, merayakan komunio itu secara sakramental dalam misteri keselamatan, bersama semua anggota tubuh Kristus di seluruh dunia, sebagai gereja yang berziarah dalam kesatuan dengan gereja yang bahagia (para kudus), dan gereja yang masih menantikan keselamatan (para arwah). Karena merupakan komunitas ekaristi, maka paroki pertama-tama hendaknya dan harus menjadi tempat perjumpaan kaum beriman dan diundang untuk membagi hidup dan misi gereja secara penuh. Dengan demikian paroki sebagai komunitas ekaristi bermaksud untuk memberi daya hidup misi yang terjadi di KBG, dan oleh komunio gereja yang bersumber pada tubuh dan darah Kristus sendiri, kaum beriman diutus untuk melanjutkan misi di KBG-KBG.
Istilah Komunitas Umat Basis (KUB) sampai sekarang ini penulis belum menemukan definisi operasionalnya. Namun dari beberapa referensi tentang kehidupan komunitas basis di negera- negara Eropa Selatan, Eropa Timur, Asia Timur, Amerika Latin, dan Asia Tenggara (Filipina), komunitas basis merujuk pada struktur gereja yang mengedepankan partisipasi umat dalam perutusan. Kepemimpinan kehidupan gereja Katolik tidak lagi pada pastor sentris atau top down. Awam diberi tugas dan tanggung jawab sebagai katekis untuk melaksanakan pembinaan iman kepada umat, baik mereka yang belum dibaptis ataupun yang sudah dibaptis, orang muda Katolik yang akan mempersiapkan perkawinan atau keluarga yang sudah menjalani kehidupan berumah tangga, dan lain-lain yang berkaitan dengan pemeliharaan iman.
Di Indonesia, seorang Teolog, Frans Magnis Suseno, adalah rohaniwan yang menggagas tentang komunitas basis ini. Yang menjadi dasar dan alasan mengapa komunitas basis perlu diberdayakan untuk menghidupi paroki:
- Semangat gereja perdana
- Konsili Vatikan II (tidak ada komunitas Kristen yang dibangun tanpa men-dasarkan diri pada perayaan ekaristi kudus)
- Gereja Katolik sebagai comunio dan misio
- Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia tahun 2000 di Kinasih, Caringin, Bogor
- Sinode Keuskupan Bogor tahun 2000
- Jumlah imam tertahbis yang tidak signifikan dengan pertambahan umat.
- Longgarnya nilai-nilai kehidupan di masyarakat.
- Perilaku yang hedonisme, konsume-risme, budaya instan, tidak mau susah, maunya menuntut, reaksioner, dan lain-lain
- Bergesernya paradigma lama ke ranah demokratisasi.
Pembentukan dan pemberdayaan umat basis ini sebenarnya lebih cocok diterapkan di paroki yang umatnya sangat majemuk dari latar belakang suku, ras, pekerjaan/ profesi, pendidikan, dan gender. Kemajemukan ini biasa ditemui di dalam masyarakat perkotaan atau daerah tujuan urbanisasi. KUB adalah bagian kecil dari organisasi gereja Katolik karena KUB dilengkapi dengan pengurus yang harus mempertanggungjawabkan seluruh kegiatan dan administrasi kepada lingkungan, wilayah, atau paroki. KUB tidak berdiri di luar struktur gereja Katolik dan harus tunduk pada AD dan ART paroki. Keanggotaan KUB berkisar 20 keluarga Katolik. Keberadaan KUB lebih fleksibel karena untuk daerah-daerah yang teritorialnya tidak luas, fungsinya bisa ditiadakan, dengan catatan administrasi harus definitif. Namun untuk daerah yang teritorialnya lebih luas dan distribusi penyebaran umat tidak merata (jawa=mencar-mencar), keberadaan KUB dapat memberikan kemudahan untuk melakukan kegiatan rohani dan nonrohani di komunitas yang lebih kecil tersebut.
Beberapa pertimbangan perlunya pembentukan dan pemberdayaan komunitas umat basis di paroki-paroki perkotaan atau daerah tujuan urbanisasi, yaitu: (1) kondisi geografis, (2) ekonomi keluarga, (3) kapasitas rumah-rumah di kompleks perumahan yang relatif berukuran tidak terlalu luas. Ada pun tujuan pembentukan dan pemberdayaan KUB, yaitu:
- Memungkinkan terjadinya pertemuan yang rutin untuk melakukan sharing iman, pembahasan Kitab Suci, menyanyikan lagu-lagu liturgi, dan mempererat hubungan antar pribadi dan keluarga.
- Mengenal sesama anggota perse-kutuan gereja sehingga misi dan visi gereja sebagai comunio dan misio bisa direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari.
- Umat akan berani dan terlatih ber-bicara, menyampaikan pendapat, dan berani memimpin doa/ibadat.
- Antar umat/ keluarga saling memberikan peneguhan dalam menghadapi tantangan, pengaruh, dan permasalahan yang mungkin mucul di setiap saat.
- Apabila jumlah umat di KUB-KUB sudah bertambah banyak dan dimung-kinkannya adanya pemekaran, mereka sudah sangat siap, dapat mengembangkan kepemimpinan, terlatih menyelesaikan kasus/per-masalahan, dan menjalankan tugas di lingkup yang lebih besar.
Penyampaian artikel ini sebenarnya sebagai jawaban dari beberapa pertanyaan seputar keberadaan KUB di Paroki Santo Paulus saat DPP dan DKP melakukan kunjungan di wilayah-wilayah. Jawaban ini mungkin belum memberikan kepuasan, untuk itu penulis menyajikan bentuk-bentuk organisasi lain yang fungsinya sama atau hampir sama untuk dijadikan sebagai pembanding atau persamaannya. Jika ada beberapa umat yang belum sepaham dengan kebijakan paroki tentang KUB ini, bisa dimaklumi. Biasanya kebijakan tidak serta merta diterima begitu saja dan membutuhkan proses yang lama. Hanya perlu diingat bahwa gereja Katolik tidak konservatif, gereja Katolik selalu dinamis dan mengikuti perkembangan zaman agar tidak tergerus oleh arus globalisasi dan modernisasi. Gereja Katolik tetap luwes dalam menyikapi segala permasalahan grass root. Jika KUB ini dirasa tidak relevan, gereja akan mengkaji ulang dan kembali pada format lama jika dinilai lebih aktual.
Dulu pernah ada kebijakan paroki yang menamai lingkungan dengan sebutan praptamarga. Namun nama tersebut sampai sekarang tidak terdengar lagi. Idealnya nama organisasi yang terikat dengan struktur gereja (paroki) memiliki nama yang khas dan berbeda dengan organisasi lain. Jika kita merujuk pada semangat Gereja Perdana, kata komunitas dan persekutuan hendaknya menjadi kata kuncinya. Basis gereja adalah umat yang beriman dan yang menghidupi umat beriman adalah sabda Tuhan. Menurut penulis, penggunaaan istilah Komunitas Umat Basis yang ditetapkan oleh DPP Paroki Santo Paulus Depok periode 2011-2013 tidak menyalahi aturan. Penggunaan istilah lingkungan memiliki makna yang terlalu luas. Sulit dibedakan dengan lingkungan sekolah, lingkungan hijau, lingkungan kumuh, dan lain-lain.
Kebijakan ini mungkin tidak popular dan bisa jadi kontroversial, namun bisa juga menjadi sebaliknya. Menjadi format/ formula yang dibakukan dan ditiru oleh paroki-paroki lain. (Sudir Inu Menggolo)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berbicara adalah hak asasi manusia dari setiap individu, tetapi gunakan hak itu sesuai dengan peraturan yang berlaku serta budaya lokal yang membangun. Salam kasih. Admin