Rabu, 22 Februari 2017

Liturgi Dirayakan untuk Allah, Bukan untuk Kita

Dalam katekese terakhir saya mulai berbicara tentang satu dari sumber-sumber istimewa doa Kristen: liturgi suci, yang mana – sebagaimana ditegaskan Katekismus Gereja Katolik – merupakan “partisipasi dalam doa Kristus yang ditujukan kepada Bapa dalam Roh Kudus” (KGK 1073). Dalam liturgi, semua doa Kristen menemukan sumber dan tujuannya (1073). Hari ini saya ingin kita bertanya pada diri sendiri: dalam hidupku, apakah aku menyediakan cukup ruang untuk berdoa, dan terutama, di manakah tempat doa liturgis dalam hubungan saya dengan Allah, khususnya Misa, sebagai partisipasi doa bersama Tubuh Kristus yang adalah Gereja.

Untuk menjawab pertanyaan ini kita harus mengingat bahwa doa adalah relasi yang hidup dari anak-anak Allah dengan Bapa mereka yang kebaikannya tiada tara, dengan Putra-Nya Yesus Kristus, dan Roh Kudus (bdk. KGK 2565). Jadi, kehidupan doa terletak dalam hadir dalam kehadiran Allah dan menyadarinya, dalam menghidupi relasi kita dengan Allah sama seperti kita menghidupi relasi-relasi dalam hidup kita, relasi dengan anggota keluarga, dengan teman-teman; sungguh relasi kita dengan Tuhan menerangi semua relasi kita lainnya. Persekutuan hidup dengan Allah ini, Allah yang Esa dan Tritunggal, menjadi mungkin, karena melalui baptisan kita disertakan dalam Kristus, kita telah mulai menjadi satu dengan-Nya (bdk. Rm 6:5).

Sejatinya, hanya dalam Kristus kita dapat berbicara dengan Allah Bapa sebagai anak, bila tidak demikian, maka ini mustahil, namun dalam persekutuan dengan Putra, kita juga dapat berkata seperti Dia yang berkata “Abba”, karena hanya dalam persekutuan dengan Kristus, kita dapat mengenal Allah sebagai Bapa kita yang sejati (bdk. Mat 11:27). Oleh karena itu, doa Kristen terdiri dari terus menerus memandang Kristus, dalam cara yang kian baru, mendengarkan Dia, bertindak dan menderita bersama-Nya. Orang Kristen menemukan kembali identitas sejatinya dalam Kristus, “putra sulung dari setiap ciptaan”, yang di dalamnya kita semua diciptakan (bdk. Kol 1:15). Dengan mengidentifikasi diri dengan-Nya, menjadi satu dengan-Nya, saya menemukan identitas pribadi saya, yaitu identitas anak sejati yang melihat Allah sebagai Bapa yang penuh kasih.

Tetapi janganlah lupa: kita menemukan Kristus, kita mengenal-Nya sebagai Pribadi yang hidup, di dalam Gereja. Gereja adalah “Tubuh-Nya”. Perwujudan ini dapat dipahami dari firman biblis perihal pria dan wanita: mereka berdua akan menjadi satu daging (bdk. Kej 2:24, Ef 5:30, 1Kor 6:16). Ikatan yang tak terputuskan antara Kristus dan Greja, melalui kuasa kasih yang mempersatukan, tidak menyangkal  “kamu” atau “aku”, tetapi mengangkat keduanya dalam persatuan yang paling dalam. Menemukan identitas sejati seseorang berarti mencapai persekutuan dengan-Nya, yang tidak meniadakan saya, tetapi mengangkat saya menuju martabat tertinggi, yaitu sebagai anak Allah dalam Kristus, “kisah cinta antara Allah dan manusia terdiri dari kenyataan bahwa persekutuan kehendak ini meningkat dalam persekutuan pikiran dan sentimen, dan karenanya kehendak kita dan kehendak Allah makin berpadu” (Ensiklik Deus Caritas Est, 17). Berdoa berarti bangkit menuju ketinggian Allah melalui transformasi bertahap keberadaan kita.

Jadi, dengan berpartisipasi dalam liturgi, bahasa Bunda Gereja kita jadikan sebagai milik kita, kita belajar mengucapkannya. Tentu, seperti yang telah saya katakan, ini terjadi secara bertahap, perlahan-lahan. Saya harus kian menceburkan diri saya dalam perkataan Gereja, dengan doa saya, hidup saya, penderitaan saya, sukacita saya, pikiran saya. Ini adalah perjalanan yang mengubah kita.

Dengan demikian, saya pikir perenungan ini memampukan kita menjawab pertanyaan yang kita ajukan di awal: bagaimana saya belajar berdoa, bagaimana saya bertumbuh dalam doa? Dengan melihat teladan yang Yesus ajarkan pada kita, Pater Noster [Bapa Kami], kita melihat bahwa kata pertama adalah “Bapa” dan kedua adalah “kami”. Maka, jawabannya jelas: saya belajar berdoa, saya memperkaya doa saya, dengan menyebut Allah sebagai Bapa dan dengan berdoa bersama yang lain, berdoa bersama Gereja, menerima karunia perkataannya, yang kian menjadi akrab dan kaya dalam makna. Dialog yang Allah tetapkan dengan masing-masing kita, dan kita bersama-Nya, dalam doa selalu mencakup sebuah “kebersamaan”, kamu tidak bisa berdoa kepada Allah dengan cara individualistik. Dalam doa liturgis, khususnya Ekaristi, dan pola-pola liturgi – dalam setiap doa, kita tidak berbicara sebagai individu tunggal, melainkan kita masuk ke dalam ke-“kita”-an Gereja yang berdoa. Dan kita harus mengubah “Aku” nya kita, masuk ke dalam ke-“kita”-an ini.

Saya ingin mengingat aspek penting lainnya. Dalam Katekismus Gereja Katolik kita membaca: “Dalam liturgi Perjanjian baru, setiap karya liturgis, khususnya perayaan Ekaristi dan sakramen-sakramen, merupakan perjumpaan antara Kristus dan Gereja” (no. 1097); jadi “seluruh Kristus”, di seluruh Komunitas, Tubuh Kristus yang disatukan dengan Kepala-Nya lah yang merayakan. Dengan demikian liturgi bukanlah semacam “perwujudan diri” komunitas, melainkan ia keluar dari semata “menjadi diri sendiri”, keluar dari keberadaan yang tertutup dalam dirinya, dan menjangkau pesta nan agung, masuk ke dalam komunitas hidup nan agung yang di dalamnya Allah memelihara kita. Liturgi mengimplikasikan karakter universal yang harus selalu dibarui. Liturgi Kristen adalah ibadah bait universal yang adalah Kristus yang bangkit, yang tangan-Nya membentang di salib untuk menarik kita semua ke dalam pelukannya, yakni kasih Allah yang kekal. Ini adalah ibadah langit yang terbuka luas. Ia tidak pernah menjadi peristiwa komunitas tunggal, dalam ruang dan waktu. Penting agar setiap orang Kristen merasa dan sungguh menjadi bagian “kita” universal, yang menyediakan fondasi dan tempat berlindung ke dalam “Aku”, dalam Tubuh Kristus yang adalah Gereja.

Dalam hal ini, kita harus sadar dan menerima logika Inkarnasi Allah: Ia telah mendekat, hadir, masuk ke dalam sejarah dan kodrat manusia, menjadi satu dengan kita. Dan kehadiran ini berlanjut di dalam Gereja, tubuh-Nya. Liturgi bukanlah kenangan akan peristiwa masa lampau, tetapi kehadiran Misteri Paskah Kristus yang hidup, yang melampaui dan menyatukan semua waktu dan ruang. Bila sentralitas Kristus tidak muncul dalam perayaan, maka ia bukan liturgi Kristen, yang bergantung secara total kepada Tuhan dan ditopang oleh kehadiran kreatif-Nya. Allah bertindak melalui Kristus dan kita hanya bisa bertindak melalui Dia dan dalam Dia. Setiap hari keyakinan tersebut harus bertumbuh dalam diri kita, bahwa liturgi bukan “tindakan” saya dan kita, tetapi karya Allah di dalam dan bersama kita.

Bukanlah individu – imam atau awam – atau kelompok yang merayakan liturgi, tetapi terutama karya Allah melalui Gereja yang memiliki sejarahnya sendiri, tradisi dan kreativitasnya yang kaya. Universalitas dan keterbukaan hakiki ini, yang adalah ciri seluruh liturgi, adalah satu dari sekian alasan mengapa liturgi tidak dapat diciptakan atau diubah oleh komunitas individual atau para ahli, tetapi ia harus setia kepada bentuk Gereja universal.
Seluruh Gereja selalu hadir, bahkan dalam liturgi dari komunitas terkecil. Untuk alasan inilah, tidak ada “orang asing” dalam komunitas liturgis. Seluruh Gereja berpartisipasi dalam perayaan liturgis, surga dan bumi, Allah dan manusia. Liturgi Kristen, bahkan bila dirayakan di tempat dan ruang konkret, dan mengungkapkan “ya” sebuah komunitas khusus, liturgi tersebut secara hakikatnya adalah Katolik, ia berasal dari segalanya dan mengarah kepada segalanya, dalam persekutuan dengan Paus, Para Uskup, bersama umat beriman di sepanjang waktu dan tempat. Semakin sebuah perayaan dihidupi oleh kesadaran ini, kian berbuahlah makna liturgi sejati yang diwujudkan di dalamnya.

Para sahabat terkasih, Gereja menjadi kasatmata dalam banyak cara: dalam karya amal, dalam proyek misi, dalam kerasulan prbadi yang harus diwujudkan setiap orang Kristen dalam lingkungannya. Tetapi tempat ketika Gereja dipahami sebagai Gereja secara penuh ialah di dalam liturgi: ia merupakan karya yang mana kita percaya bahwa Allah masuk ke dalam realita kita dan kita dapat berjumpa dengan-Nya, kita dapat menyentuh-Nya. Ini merupakan karya yang mana kita bersentuhan dengan Allah, Ia mendatangi kita, dan kita diterangi oleh-Nya. Jadi ketika dalam perenungan tentang liturgi kita memusatkan semua perhatian kita tentang cara membuatnya menarik, apik, dan indah, kita berisiko melupakan yang hakiki: liturgi dirayakan untuk Allah dan bukan untuk kita, liturgi adalah karya-Nya, Ia adalah subjek, dan kita harus membuka diri kita dan dibimbing oleh-Nya dan Tubuh-Nya yang adalah Gereja.

Mari kita memohon kepada Tuhan, untuk belajar menghidupi liturgi setiap hari, khususnya perayaan Ekaristi, untuk berdoa dalam “kita” Gereja, yang mengarahkan pandangannya kepada Allah dan bukan dirinya, untuk merasa menjadi bagian Gereja yang hidup di sepanjang tempat dan zaman.

Benediktus XVI
October 3, 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berbicara adalah hak asasi manusia dari setiap individu, tetapi gunakan hak itu sesuai dengan peraturan yang berlaku serta budaya lokal yang membangun. Salam kasih. Admin