Rabu, 22 Februari 2017

Liturgi sebagai Tempat Bertumbuh dalam Doa

Foto: Istimewa
Saudara dan Saudari terkasih dalam Kristus,

Dalam beberapa bulan terakhir kita telah melakukan perjalanan dalam terang Sabda Allah, untuk belajar berdoa dalam cara yang kian otentik, dengan memandang beberapa tokoh besar di Perjanjian Lama, Mazmur, Surat-Surat St. Paulus dan Kitab Wahyu, tetapi kita juga melihat pengalaman Yesus yang unik dan hakiki dalam hubungan-Nya dengan Bapa Surgawi.

Sesungguhnya, hanya dalam Kristus manusia dimampukan untuk menyatukan diri-Nya dengan Allah yang mengasihinya, hanya di dalam Dia kita dapat berpaling dalam segala kebenaran kepada Allah, dan dengan penuh kasih memanggil-Nya “Abba! Bapa.”

Seperti para Rasul, kita juga telah dan masih mengulangi perkataan ini kepada Yesus: “Tuhan, ajarilah kami berdoa” (Luk 11:1).

Selain itu, guna menghidupi relasi pribadi dengan Tuhan lebih mendalam, kita telah belajar untuk memanggil Roh Kudus, karunia pertama dari Tuhan yang bangkit kepada umat beriman, karena Dialah “Demikian juga Roh membantu kita dalam kelemahan kita; sebab kita tidak tahu, bagaimana sebenarnya harus berdoa” (Rm 8:26).

Sampai di sini kita dapat bertanya: bagaimana saya bisa membiarkan diri saya dibentuk Roh Kudus? Apakah sekolah yang menjadi tempat Ia mengajar dan membantu saya dalam kesulitan saya untuk menghadap Allah dalam cara yang benar? Sekolah doa pertama yang telah kita bahas dalam beberapa minggu terakhir ialah Sabda Allah, Kitab Suci, Kitab Suci dalam dialog permanen antara Allah dan manusia, dialog berkelanjutan yang mana Allah menyatakan diri-Nya yang semakin dekat pada kita. Kita dapat semakin mengakrabkan diri kita dengan wajah-Nya, suara-Nya, keberadaan-Nya dan manusia belajar menerima dan mengenal Allah, belajar berbicara kepada Allah. Jadi dalam beberapa minggu terakhir, dengan membaca Kitab Suci, kita menantikan dialog berkelanjutan ini dalam Kitab Suci, untuk belajar cara berhubungan dengan Allah.

Ada juga “tempat” berharga lainnya, “sumber” bernilai lainya untuk bertumbuh dalam doa, sumber air hidup yang terkait erat dengan sebelumnya. Saya mengacu kepada liturgi, yang merupakan tempat istimewa ketika Allah berbicara kepada masing-masing diri kita, di sini dan kini, dan menanti tanggapan kita.

Apa itu liturgi? Bila kita membuka Katekismus Gereja Katolik – yang merupakan bantuan berharga dan tak tergantikan khususnya dalam Tahun Iman, yang segera dimulai – kita membaca bahwa pada awalnya kata “liturgi” berarti “pelayanan atas nama/demi umat” (1069). Bila teologi Kristen mengambil kata ini dari alam Yunani, ia melakukannya dengan jelas seraya memikirkan Umat Allah baru yang lahir dari Kristus yang membentangkan tangan-Nya di salib untuk menyatukan umat-Nya dalam damai Allah yang tunggal. “Pelayanan demi umat”, umat tidak ada dengan sendirinya, tetapi ia dibentuk dari misteri Paskah Yesus Kristus. Sesungguhnya, Umat Allah tidak ada melalui ikatan darah, wilayah atau bangsa, tetapi ia selalu lahir dari karya Putra Allah dan persekutuan dengan Bapa yang Ia perolehkan untuk kita.

Katekismus juga menyatakan bahwa “dalam tradisi Kristen (kata “liturgi”) berarti partisipasi Umat Allah dalam ‘karya Allah’.” Karena Umat Allah sedemikian rupa hanya ada melalui karya Allah.

Perkembangan Konsili Vatikan II mengingatkan kita akan hal ini. Ia memulai karyanya, lima puluh tahun yang lalu, dengan diskusi tentang skema perihal Liturgi Suci, yang disetujui dengan meriah pada 4 Desember 1963, teks pertama yang disetujui Konsili. Fakta bahwa dokumen tentang liturgi adalah buah pertama perkumpulan konsili barangkali dianggap kebetulan oleh sebagian orang. Di antara sekian banyak proyek, teks tentang liturgi suci tampak paling tidak kontroversial, dan hal ini dapat berperan sebagai latihan guna mempelajari metodologi konsili. Tapi, jelaslah, apa yang tampak seperti kebetulan belaka, terbukti menjadi pilihan tepat karena ia bermula dari hirarki tema-tema dan tugas terpenting Gereja. Sejak permulaan, melalui tema “liturgi”, primat Allah, prioritas mutlak-Nya kini kian terang. Allah mendahului segala sesuatu: pilihan Konsili yang memulai dari liturgi memberitahu kita persis tentang hal ini. Ketika tatapan kepada Allah menjadi tidak mutlak, segala sesuatu kehilangan arah. Kriteria mendasar bagi liturgi ialah orientasinya kepada Allah, sehingga kita dapat ambil bagian dalam karya-Nya.

Tetapi kita dapat bertanya: Apakah karya Allah ini, yang kepadanya kita dipanggil untuk berpartisipasi? Jawaban ganda tampak diberikan Konstitusi Konsili tentang Liturgi Suci. Nomor 5 dari teks Konstitusi memberitahu kita, sejatinya, bahwa karya Allah adalah karya historis-Nya yang membawa keselamatan, berpuncak dalam wafat dan kebangkitan Yesus Kristus, tetapi di nomor 7, Konstitusi mendefinisikan perayaan liturgi sebagai “karya Kristus.” Sesungguhnya, dua makna ini terpaut erat. Bila kita bertanya pada diri kita, siapakah yang menyelamatkan dunia dan manusia, jawaban satu-satunya ialah Yesus dari Nazareth, Tuhan dan Kristus, Disalibkan dan Bangkit. Dan di mana Misteri Wafat dan Kebangkitan Kristus, yang menghasilkan keselamatan itu hadir dan nyata bagi kita, bagi saya di hari ini? Jawabannya ialah karya Kristus melalui Gereja, dalam liturgi, khususnya dalam sakramen Ekaristi, yang membuat nyata dan menghadirkan persembahan kurban Putra Allah, yang telah menebus kita, dalam Sakramen Rekonsiliasi, yang melaluinya kita melintas dari kematian dosa menuju kehidupan baru, dan dalam tindakan sakramental lainnya yang menguduskan kita (bdk. PO 5). Dengan demikian, Misteri Paskah Wafat dan Kebangkitan Kristus adalah pusat teologi liturgis Konsili.

Mari kita ambil langkah selanjutnya dan bertanya pada diri sendiri: bagaimana penetapan ulang Misteri Paskah Kristus menjadi mungkin? Beato Yohanes Paulus II, 25 tahun setelah Konstitusi Sacrosanctum Concilium, menulis demikian: “Guna menetapkan ulang Misteri Paskah-Nya, Kristus hadir dalam Gereja-Nya, khususnya dalam perayaan-perayaan liturgis. (27). Jadi liturgi adalah tempat istimewa bagi orang Kristen untuk berjumpa dengan Allah dan dengan Dia yang diutus-Nya, Yesus Kristus” (cf Jn 17:3). “(Vicesimus quintus annus, n. 7). Sejalan dengan ini, kita juga membaca dalam Katekismus Gereja Katolik: “perayaan sakramental adalah perjumpaan anak-anak Allah dengan Bapa mereka, dalam Kristus dan Roh Kudus; perjumpaan ini mengambil bentuk dialog, melalui tindakan dan kata-kata” (no. 1153). Jadi, syarat pertama untuk perayaan liturgi yang baik ialah doa dan percakapan dengan Allah, terlebih dahulu mendengarkan, lalu menjawab. St. Benediktus, dalam “Regula”nya, bebicara tentang doa Mazmur, yang menunjukkan kepada para rahib: mens concordet voci, “semoga pikiran selaras dengan suara”. Sang santo mengajarkan bahwa dalam doa Mazmur, perkataan harus mendahului pikiran kita. Biasanya hal ini tidak terjadi demikian karena seseorang harus berpikir dahulu dan selanjutnya apa yang telah dipikirkan, diubah menjadi perkataan. Di sini, dalam liturgi, yang sebaliknya lah yang terjadi, perkataan yang mendahului pikiran. Allah memberi kita Sang Sabda dan Liturgi Suci memberikan kita kata-kata, dan kita harus memasuki maknanya, menyambutnya dalam diri kita, menjadi selaras dengannya. Dengan demikian kita menjadi anak-anak Allah, serupa dengan Allah. 

Sebagaimana dicatat Sacrosanctum Concilium, untuk menjamin efektivitas perayaan, “perlulah agar umat beriman datang padanya dengan disposisi yang pantas, agar pikiran mereka selaras dengan suara mereka, dan agar mereka bekerja sama dengan rahmat ilahi, bila tidak demikian, mereka menerimanya dengan sia-sia” (no. 11). Unsur hakiki dan utama dari dialog dengan Allah di dalam liturgi ialah keselarasan antara apa yang kita ucapkan dengan bibir kita dan apa yang kita bawa dalam hati kita. Dengan masuk ke dalam perkataan doa dengan sejarah agungnya, kita sendiri diselaraskan dengan roh dari perkataan tersebut dan dimampukan untuk berbicara kepada Allah. 

Selaras dengan hal ini, saya ingin menyebutkan satu momen selama liturgi yang memanggil kita dan membantu kita menemukan hubungan tersebut, yakni penyelarasan diri kita dengan apa yang kita dengar, katakan, dan lakukan dalam liturgi. Saya mengacu kepada undangan dari Selebran yang daraskan sebelum Doa Syukur Agung: “Sursum corda”, kita mengangkat hati kita dari luar jeratan kepedulian kita, keinginan kita, kegelisahan kita, distraksi kita. Hati kita, diri kita yang paling dalam, harus terbuka dengan kepatuhan kepada Sabda Allah, dan berkumpul dalam doa Gereja, guna menerima orientasinya menuju Allah dari perkataan yang didengar dan diucapkan. Pandangan hati harus diarahkan kepada Tuhan yang ada di tengah kita: inilah disposisi yang hakiki
Ketika kita mengalami liturgi dengan sikap dasar ini, seakan-akan hati kita dibebaskan dari kuasa gravitasi, yang menyeret kita ke bawah, dan dari dalam menarik kita ke atas, menuju kebenaran dan kasih, menuju Allah. Sebagaimana dikatakan Katekismus: “Dalam liturgi sakramental Gereja, misi Kristus dan Roh Kudus ialah mewartakan, menghadirkan, menyampaikan misteri keselamatan, yang dilanjutkan dalam hati yang berdoa. Para penulis rohani terkadang membandingkan hati dengan altar” (No. 2655): altare Dei est cor nostrum. (altar Tuhan adalah hati kita).

Para sahabat terkasih, kita merayakan dan menghidupi liturgi dengan baik bila kita tinggal dalam sikap doa, dan bukan bila kita ingin “melakukan sesuatu, membuat diri kita dilihat atau bertindak, tetapi bila kita mengarahkan hati kita kepada Allah dan tinggal dalam sikap doa”, menyatukan diri kita dengan Misteri Kristus dan percakapan-Nya sebagai Putra dengan Bapa. Allah sendiri mengajar kita berdoa, sebagaimana ditulis St. Paulus (bdk. Rm 8:26). Ia sendiri memberikan kita perkataan yang benar untuk mendengar-Nya, perkataan yang kita temukan dalam Mazmur, dalam doa-doa agung liturgi dan dalam perayaan Ekaristi yang sama. Kita berdoa kepada Tuhan agar semakin menyadari fakta bahwa liturgi adalah karya Allah dan manusia; doa yang bangkit dari Roh Kudus dan diri kita, seutuhnya diarahkan kepada Bapa, dalam persekutuan dengan Putra Allah yang menjadi manusia (bdk. KGK 2564).

Benediktus XVI
General Audience 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berbicara adalah hak asasi manusia dari setiap individu, tetapi gunakan hak itu sesuai dengan peraturan yang berlaku serta budaya lokal yang membangun. Salam kasih. Admin