Foto: Istimewa |
Tanggal 6 Oktober menjadi hari bersejarah
bagi umat Katolik di Kampung Sawah, Kelurahan Jati Melati, Kecamatan
Pondok Melati, Kota Bekasi, Jawa Barat. Di tanggal yang sama, Pastor
Bernardus Schweitz asal Belanda membaptis 18 anak setempat “memeluk”
Katolik, 118 tahun lalu.
Momen ketika itu kemudian dijadikan hari
bersejarah sebagai lahirnya benih-benih umat Katolik di wilayah sebelah
tenggara kota Jakarta itu. Peristiwa itu juga menjadi hari peringatan
bagi lahirnya Paroki Santo Servatinus Kampung Sawah atau yang dikenal
Gereja Kampung Sawah.
Sabtu (4/10/2014) lalu, Gereja Kampung Sawah
memperingati hari ulang tahun yang ke-118. Di usia yang menginjak lebih
dari satu abad, Gereja Kampung Sawah memiliki spirit untuk menjaga
toleransi di tengah kemajemukan.
Masyarakat asli Kampung Sawah, yang berbudaya
asli Betawi itu, bukan hanya pemeluk Katolik, tetapi juga memeluk agama
lainnya, seperti Islam, Kristen, Hindu, dan Buddha. Salah satu upaya
menjaga kerukunan ala masyarakat Kampung Sawah yakni melalui kegiatan ngeriung bareng.
Cara itu mengadopsi warisan leluhur yang mengajarkan kerukunan.Ngeriung bareng menjadi kumpulan bagi perwakilan lintas agama untuk berkomitmen memberdayakan Kampung Sawah tetap harmonis.
“Dengan adanya “Ngeriung Bareng” bila
terjadi permasalahan bisa atasi. Sekalipun ada tantangan luar yang
merongrong akan diatasi dengan cara yang dibekali,” kata Eddy Pepe (54),
Wakil Ketua Dewan Paroki Gereja Kampung Sawah, kepada Kompas.com.
Secara historis, masyarakat asli Kampung
Sawah erat karena berkerabat. Walaupun, sesama keluarga ada yang
menganut keyakinan yang berbeda.
Dalam suasana kemajemukan di Kampung Sawah,
toleransi antar umat beragama berjalan baik. “Dan pada kegiatan
tertentu, kita juga bekerja sama dengan baik,” ujar Ketua Pengurus
Masjid Agung Al-Jauhar Yasfi, Iman S.
Misalnya, kata Iman, dibentuknya Forum
Komunikasi Umat Beragama (FKUB) di Kampung Sawah. Forum ini dibentuk
menggantikan Rukun Kegiatan Kepemudaan Kampung Sawah (RKKKS). “Yang FKUB
ini masih aktif,” ujar Iman.
Menurut dia, pemimpin Gereja Kampung Sawah
juga dikenal punya cara untuk melakukan silaturahmi. Pastor atau Romo di
gereja, biasanya keliling ke rumah pemuka agama Islam setempat.
Anton Priwartono (42), umat Paroki Kampung
Sawah mengatakan, perbedaan dapat melebur karena warga asli setempat mau
untuk membuka diri. Pria yang tinggal di RT 1 RW 4 Kampung Sawah, ini,
tak pernah merasa adanya diskriminasi antar umat yang berbeda keyakinan
di tempat tinggalnya.
Misalnya, lanjut Anton, jika ada peristiwa
kematian. Warga yang berbeda keyakinan saling membantu. Ada yang
mendirikan tenda, menyiapkan fasilitas, dan lainnya. Untuk kegiatan
keagamaan di rumah-rumah, kata Anton, selama ini berjalan baik.
Masyarakat tak pernah saling mengusik
mengganggu. Katolik dalam Betawi Gereja Kampung Sawah memadukan usur
religi dan budaya menjadi satu dalam kehidupan iman Kristiani umatnya.
Kekhasan budaya Betawi langsung dirumuskan
dalam berbagai kegiatan Gereja. Misalnya, lagu pembukaan di awal Misa
sampai lagu penutup. Para pelayan liturgi juga ada yang memakai pakaian
Betawi.
Foto: Istimewa |
Serba Betawi
Selain itu, pada perayaan, Gereja juga
amenggunakan bahasa Betawi. Sejarah masuknya budaya Betawi ke Gereja itu
tak lepas dari datangnya relikwi Santo Sarvatius. Penyambutan relikwi
Santo Servatius, dari Kota Maastricht, Belanda, yang dibawa pada 1996,
ke Jakarta, kemudian diperingati sekali setahun.
Setiap tanggal 30 September umat Paroki
Gereja Santo Servatius berjalan kaki membawa relikwi mengelilingi
kampung. Kegiatan itu, biasa mulai pukul 18.00 sampai dengan pukul
21.30. “Jadi keliling kampungnya itu sejauh empat kilometer, memutar
kembali, dan dalam keadaan hening,” ujar Romo Agustinus Purwantoro.
Menurut Romo Agustinus, prosesi tersebut
tidak sampai mengganggu ketenangan masyarakat sekitar. Karena, dilakukan
dengan hening. Budaya Betawi juga masuk dalam prosesi ini. Sejumlah
pria dengan pakaian dan celana koko mengenakan peci menjadi penggotong
relikwi.
“Mereka Grida Wibawa, sama seperti Garda
Swiss (pengawal Paus). Jadi kalau direfleksikan mereka itu garda
gereja,” ujar Romo Agustinus.
Antonius Yepta Noron (61), mengatakan, budaya
Betawi masuk ke dalam Gereja Kampung Sawah melalui Romo Rudolphus
Kurris SJ, tahun 1996. “Berkat Romo Kurris gereja kami bisa seperti
ini,” ujar warga asli Kampung Sawah itu.
Kini, budaya Betawi menjadi identitas Gereja
tersebut. Ia mengatakan, budaya Betawi yang dikenal di Kampung Tengah
berbeda dengan Betawi asal Jakarta. Perbedaannya pada sisi bahasanya.
Masyarakat setempat menyebut bahasa Betawi mereka sebagai bahasa Betawi
A. Sedangkan Betawi-Jakarta, cenderung memakai E dalam lafalnya. “Kalau
di Jakarta gue, kalau di sini jadi gua,” ujarnya. (Sumber: Kompas.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berbicara adalah hak asasi manusia dari setiap individu, tetapi gunakan hak itu sesuai dengan peraturan yang berlaku serta budaya lokal yang membangun. Salam kasih. Admin