Jumat, 10 Februari 2017

Satu Abad Lebih Gereja Kampung Sawah Memelihara Budaya Betawi Lokal

Foto: Istimewa
Tanggal 6 Oktober menjadi hari bersejarah bagi umat Katolik di Kampung Sawah, Kelurahan Jati Melati, Kecamatan Pondok Melati, Kota Bekasi, Jawa Barat. Di tanggal yang sama, Pastor Bernardus Schweitz asal Belanda membaptis 18 anak setempat “memeluk” Katolik, 118 tahun lalu.

Momen ketika itu kemudian dijadikan hari bersejarah sebagai lahirnya benih-benih umat Katolik di wilayah sebelah tenggara kota Jakarta itu. Peristiwa itu juga menjadi hari peringatan bagi lahirnya Paroki Santo Servatinus Kampung Sawah atau yang dikenal Gereja Kampung Sawah.

Sabtu (4/10/2014) lalu, Gereja Kampung Sawah memperingati hari ulang tahun yang ke-118. Di usia yang menginjak lebih dari satu abad, Gereja Kampung Sawah memiliki spirit untuk menjaga toleransi di tengah kemajemukan.

Masyarakat asli Kampung Sawah, yang berbudaya asli Betawi itu, bukan hanya pemeluk Katolik, tetapi juga memeluk agama lainnya, seperti Islam, Kristen, Hindu, dan Buddha. Salah satu upaya menjaga kerukunan ala masyarakat Kampung Sawah yakni melalui kegiatan ngeriung bareng.

Cara itu mengadopsi warisan leluhur yang mengajarkan kerukunan.Ngeriung bareng menjadi kumpulan bagi perwakilan lintas agama untuk berkomitmen memberdayakan Kampung Sawah tetap harmonis.

“Dengan adanya “Ngeriung Bareng” bila terjadi permasalahan bisa atasi. Sekalipun ada tantangan luar yang merongrong akan diatasi dengan cara yang dibekali,” kata Eddy Pepe (54), Wakil Ketua Dewan Paroki Gereja Kampung Sawah, kepada Kompas.com.


Hidup berdampingan
Secara historis, masyarakat asli Kampung Sawah erat karena berkerabat. Walaupun, sesama keluarga ada yang menganut keyakinan yang berbeda.

Dalam suasana kemajemukan di Kampung Sawah, toleransi antar umat beragama berjalan baik. “Dan pada kegiatan tertentu, kita juga bekerja sama dengan baik,” ujar Ketua Pengurus Masjid Agung Al-Jauhar Yasfi, Iman S.

Misalnya, kata Iman, dibentuknya Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB) di Kampung Sawah. Forum ini dibentuk menggantikan Rukun Kegiatan Kepemudaan Kampung Sawah (RKKKS). “Yang FKUB ini masih aktif,” ujar Iman.

Menurut dia, pemimpin Gereja Kampung Sawah juga dikenal punya cara untuk melakukan silaturahmi. Pastor atau Romo di gereja, biasanya keliling ke rumah pemuka agama Islam setempat.
Anton Priwartono (42), umat Paroki Kampung Sawah mengatakan, perbedaan dapat melebur karena warga asli setempat mau untuk membuka diri. Pria yang tinggal di RT 1 RW 4 Kampung Sawah, ini, tak pernah merasa adanya diskriminasi antar umat yang berbeda keyakinan di tempat tinggalnya.

Misalnya, lanjut Anton, jika ada peristiwa kematian. Warga yang berbeda keyakinan saling membantu. Ada yang mendirikan tenda, menyiapkan fasilitas, dan lainnya. Untuk kegiatan keagamaan di rumah-rumah, kata Anton, selama ini berjalan baik.

Masyarakat tak pernah saling mengusik mengganggu. Katolik dalam Betawi Gereja Kampung Sawah memadukan usur religi dan budaya menjadi satu dalam kehidupan iman Kristiani umatnya.

Kekhasan budaya Betawi langsung dirumuskan dalam berbagai kegiatan Gereja. Misalnya, lagu pembukaan di awal Misa sampai lagu penutup. Para pelayan liturgi juga ada yang memakai pakaian Betawi.

Foto: Istimewa
Serba Betawi
Selain itu, pada perayaan, Gereja juga amenggunakan bahasa Betawi. Sejarah masuknya budaya Betawi ke Gereja itu tak lepas dari datangnya relikwi Santo Sarvatius. Penyambutan relikwi Santo Servatius, dari Kota Maastricht, Belanda, yang dibawa pada 1996, ke Jakarta, kemudian diperingati sekali setahun.

Setiap tanggal 30 September umat Paroki Gereja Santo Servatius berjalan kaki membawa relikwi mengelilingi kampung. Kegiatan itu, biasa mulai pukul 18.00 sampai dengan pukul 21.30. “Jadi keliling kampungnya itu sejauh empat kilometer, memutar kembali, dan dalam keadaan hening,” ujar Romo Agustinus Purwantoro.

Menurut Romo Agustinus, prosesi tersebut tidak sampai mengganggu ketenangan masyarakat sekitar. Karena, dilakukan dengan hening. Budaya Betawi juga masuk dalam prosesi ini. Sejumlah pria dengan pakaian dan celana koko mengenakan peci menjadi penggotong relikwi.

“Mereka Grida Wibawa, sama seperti Garda Swiss (pengawal Paus). Jadi kalau direfleksikan mereka itu garda gereja,” ujar Romo Agustinus.

Antonius Yepta Noron (61), mengatakan, budaya Betawi masuk ke dalam Gereja Kampung Sawah melalui Romo Rudolphus Kurris SJ, tahun 1996. “Berkat Romo Kurris gereja kami bisa seperti ini,” ujar warga asli Kampung Sawah itu.

Kini, budaya Betawi menjadi identitas Gereja tersebut. Ia mengatakan, budaya Betawi yang dikenal di Kampung Tengah berbeda dengan Betawi asal Jakarta. Perbedaannya pada sisi bahasanya. Masyarakat setempat menyebut bahasa Betawi mereka sebagai bahasa Betawi A. Sedangkan Betawi-Jakarta, cenderung memakai E dalam lafalnya. “Kalau di Jakarta gue, kalau di sini jadi gua,” ujarnya. (Sumber: Kompas.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berbicara adalah hak asasi manusia dari setiap individu, tetapi gunakan hak itu sesuai dengan peraturan yang berlaku serta budaya lokal yang membangun. Salam kasih. Admin