Senin, 14 Maret 2011

Prodiakon; Antara Panggilan dan Pelayanan, Bukan Sekadar Status

Oleh: Darius Leka, S.H., M.H. – Advokat, Aktivis Rasul Awam Gereja Katolik sekaligus Koordinator KOMSOS Paroki Santo Paulus Depok periode 2010-2013

KOTA DEPOK - Minggu, 13 Februari 2011, ruang Galatia Paroki St. Paulus Depok dipenuhi wajah-wajah penuh semangat. Sebanyak 32 prodiakon—baik yang baru dilantik maupun yang telah lama mengabdi—berkumpul dalam sebuah pertemuan bersama Rm. Stanislaus Haryanto, OFM, pastor paroki yang baru. Pertemuan ini bukan sekadar ajang perkenalan, tetapi juga momen reflektif untuk menyegarkan kembali makna pelayanan yang sejati.

Menurut Pedoman Umum Misale Romawi (PUMR) 162, prodiakon adalah umat awam yang dilantik secara liturgis untuk membantu imam dalam pelayanan sakramental dan pastoral. Tugas mereka mencakup membagikan Komuni Kudus, memimpin ibadat Sabda, bahkan dalam situasi tertentu menyampaikan homili. Di beberapa keuskupan, mereka dikenal dengan istilah Asisten Imam atau Asisten Pastoral.

Namun, lebih dari sekadar fungsi liturgis, prodiakon adalah wajah Gereja yang hadir di tengah umat. Mereka adalah perpanjangan tangan gembala dalam menjangkau komunitas yang semakin kompleks dan berkembang. Di paroki-paroki besar seperti St. Paulus Depok, di mana jumlah umat terus bertambah, kehadiran prodiakon bukan lagi pelengkap, melainkan kebutuhan pastoral yang mendesak.

Sayangnya, tidak semua yang menyandang gelar prodiakon memahami kedalaman panggilan ini. Ada yang menjadikan jabatan ini sebagai simbol status sosial—bangga mengenakan alba, duduk di panti imam, tetapi enggan menerima tugas. Ada pula yang terpaksa menerima karena tidak ada umat lain yang bersedia. Fenomena ini menjadi tantangan serius dalam kerasulan awam: bagaimana membedakan antara panggilan sejati dan ambisi pribadi?

Sebagai seorang advokat dan aktivis kerasulan awam, saya percaya bahwa pelayanan Gereja harus berakar pada spiritualitas pengosongan diri (kenosis), bukan pada pencarian kehormatan. Prodiakon bukanlah jabatan prestisius, melainkan bentuk pengabdian yang menuntut kerendahan hati, kedisiplinan, dan kesetiaan.

Pertemuan bersama Rm. Haryo menjadi ruang dialog yang penting. Dalam suasana yang hangat dan terbuka, para prodiakon diajak untuk memahami kembali tugas mereka bukan hanya sebagai rutinitas liturgis, tetapi sebagai bagian dari misi Gereja untuk mewartakan kasih Allah. “Kami berharap dapat memperoleh pencerahan agar pelayanan kami semakin bermakna,” ujar Bapak Slamet Riady, koordinator prodiakon paroki.

Formasi berkelanjutan menjadi kunci. Gereja perlu menyediakan ruang pembinaan spiritual, teologis, dan pastoral secara berkala agar para prodiakon tidak hanya terampil secara teknis, tetapi juga matang secara rohani. Ini adalah investasi jangka panjang bagi kualitas pelayanan Gereja.

Dalam konteks kerasulan awam, prodiakon adalah wajah konkret dari Gereja yang melayani. Mereka hadir di tengah umat, menjembatani kebutuhan rohani dan sosial, serta menjadi saksi kasih Kristus dalam tindakan nyata. Di tengah tantangan zaman—dari krisis moral hingga ketimpangan sosial—peran mereka semakin strategis.

Gereja Katolik memanggil setiap umat untuk terlibat aktif dalam perutusan. Prodiakon adalah salah satu bentuk nyata dari keterlibatan itu. Namun, panggilan ini hanya akan bermakna jika dijalani dengan hati yang terbuka, semangat melayani, dan kesetiaan pada ajaran Kristus.


#prodiakonpelayanumat #kerasulanawam #stpaulusdepok #gerejayangmelayani #liturgidankasih #imanyanghidup #pelayanantanpapamrih #mewartakankasihallah #katolikaktif #formasipelayangereja

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berbicara adalah hak asasi manusia dari setiap individu, tetapi gunakan hak itu sesuai dengan peraturan yang berlaku serta budaya lokal yang membangun. Salam kasih. Admin