Oleh: P. Alex Lanur, OFM |
St. Fransiskus dari Asisi merenungkan secara singkat “Pemberitaan tentang kelahiran Yesus” (Luk 1: 26-38). Renungan itu disampaikannya dalam salah satu Suratnya kepada Kaum Beriman. Dan yang dimaksudkannya dengan Kaum Beriman itu adalah para pengikutnya yang pada waktu itu disebut Saudara-saudari Pentobat.
Inilah buah renungannya yang singkat itu. “Firman Bapa itu, yang begitu luhur, begitu kudus dan mulia, telah disampaikan dari surga oleh Bapa Yang Mahatinggi, dengan perantaraan Gabriel malaikat-Nya yang kudus ke dalam kandungan Perawan Maria yang kudus dan mulia. Dari kandungannya Firman itu telah menerima daging sejati kemanusiaan dan kerapuhan kita. Dia, sekalipun kaya melampaui segala-galanya, mau memilih kemiskinan di dunia ini, bersama Bunda-Nya, Perawan yang amat berbahagia” (2 Sur Berim 4-5).
Firman Bapa itu sungguh menjadi manusia. Sebab, Dia telah menerima daging sejati kemanusiaan kita. Dengan menjadi manusia Dia “yang mendiami terang yang tak terhampiri” (bdk. 1 Tim 6: 16), merendahkan diri-Nya serendah-rendahnya. Perendahan diri itu tak terbayangkan oleh manusia mana pun. Selain itu Firman Bapa juga menerima kerapuhan kita. Dengan menerima daging sejati kemanusiaan dan kerapuhan kita Dia menunjukkan jalan khusus yang membawa keselamatan untuk manusia. Dan jalan khusus itu adalah jalan perendahan diri, jalan penaklukan, jalan ketaatan, jalan kelemahan dan ketidakberdayaan, jalan pengosongan diri dan jalan kemiskinan. Artinya, Tuhan menggunakan kerapuhan, kelemahan dan ketidakberdayaan, kemiskinan serta perendahan diri manusia sebagai sarana yang menyelamatkan.
Namun Firman Bapa itu disampaikan oleh Bapa Yang Mahatinggi…ke dalam kandungan Perawan Maria yang kudus dan mulia. Dengan demikian ditunjukkan bahwa St. Maria adalah Ibu Yesus. Meskipun dia adalah Ibu Yesus, namun dia tidak ditampilkan sebagai tokoh yang “hebat”, menurut ukuran dan penilaian manusia. Memang dalam ceritera tentang masa muda Yesus (Luk 1-2) dia ditampilkan sebagai pelaku yang penting. Namun dalam bagian di mana dia ditampilkan sebagai orang penting itu, dia sendiri mengakui bahwa dia samasekali tidak penting. Dia tidak membanggakan apa pun juga, termasuk peranannya sebagai Ibu Tuhan kita Yesus Kristus.
Dalam karya penyelamatan Allah memang dia memainkan peranan yang memutuskan. Namun peranan atau sumbangannya itu juga dinilainya sebagai karunia Allah belaka. Hanya karena pilihan Allah saja dia menjadi Ibu Sang Juruselamat (Luk 1: 26-38). Juga benar bahwa dia dipuji oleh Elisabet. Namun kebahagiaan itu terlaksana bukan karena jasa atau perbuatannya. Semua itu terlaksana hanya karena Tuhan sendiri menyatakannya dan hal itu juga akan terlaksana. Dia tidak berbuat lain daripada mengandalkan Allah saja. Dia juga memasrahkan dirinya seutuh-utuhnya hanya kepada Dia saja (Luk 1: 42-45). Peranan yang lain tidak diberikan kepadanya. Yesus, Puteranya sendiri bahkan tidak mengizinkanya untuk turut menentukan jalan hidup-Nya (Luk 2: 48-50).
Dalam lagu pujian (Magnificat) yang dinyanyikannya dengan penuh semangat, juga tampak bahwa St. Maria hanya berperan sebagai seorang yang menyanyi dan memuliakan Allah, Sang Juruselamatnya. Bukan dia, melainkan Allahlah yang mencerai-beraikan orang-orang yang congkak hatinya, yang menurunkan orang-orang yang berkuasa dari takhtanya serta meninggikan orang-orang yang rendah (termasuk dirinya sendiri), yang melimpahkan segala yang baik kepada orang yang lapar dan menyuruh orang yang kaya pergi dengan tangan hampa (Luk 1: 46-55).
Dengan demikian St. Maria yang ditampilkan oleh Penginjil Lukas ini sebenarnya adalah seorang Ibu yang miskin semiskin-miskinnya. Dari segi sosial, politis, ekonomis dan bahkan dari segi religius Ibu Tuhan kita Yesus Kristus sama sekali tidak berdaya, samasekali tidak berarti sedikit pun. Dia tidak malu mengakui kemiskinannya dengan sebulat hatinya. Itulah justru sebabnya mengapa dia dipuji bahagia pertama-tama oleh Allah sendiri dan Puteranya serta segala keturunan orang beriman (bdk. Luk 1: 45; 2: 19. 51). Dia termasuk dalam kelompok orang-orang yang tiada henti-hentinya mendengarkan serta memelihara firman Allah yang ditujukan kepadanya dan dengan sebulat hatinya hanya mengandalkan Allah yang berfirman kepada dirinya. Dia adalah hamba yang menerima dan menanggapi dengan suka rela kehendak Allah untuk dirinya dan bahkan untuk seluruh umat manusia. ”Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; terjadilah padaku menurut perkataanmu itu” (Luk 1: 38).
Dengan demikian Ibu-Nya juga menunjukkan jalan khusus yang membawa keselamatan untuk manusia. Dan jalan khusus itu adalah jalan perendahan diri, jalan penaklukan, jalan ketaatan, jalan kelemahan dan ketidakberdayaan, jalan pengosongan diri dan jalan kemiskinan.
Sang Putera dan Ibu-Nya menghayati dan mewujudkan dalam diri-Nya jalan yang membawa manusia kepada keselamatan. Karena itu orang Kristen yang sungguh mau diselamatkan seharusnya juga menempuh jalan yang dihayati dan diwujudkan oleh Yesus Putera Maria dan Maria Ibu-Nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berbicara adalah hak asasi manusia dari setiap individu, tetapi gunakan hak itu sesuai dengan peraturan yang berlaku serta budaya lokal yang membangun. Salam kasih. Admin