Kring dan Stasi
Istilah Kring dan Stasi pertama dikenalkan oleh seorang misionaris dari Eropa, Romo F. Strater, SJ yang berkarya di Yogyakarta tahun 1918. Salah satu daerah yang mengalami perkembangan umat cukup pesat adalah umat Katolik yang berada di Dusun Dukuh. Namun dalam perkembangan selanjutnya pada tahun 1930-an, pertumbuhannya menjadi tersendat karena tekanan politik dari pemerintah kolonial Belanda. Setelah Indonesia merdeka, pertumbuhan umat Katolik di daerah ini kembali semarak. Banyak orang yang tadinya sebagai penghayat kepercayaan seperti Saptodarmo, Pengestu, Setyabudi 45, dan lain-lain berpindah ke agama Katolik. Demikian juga dengan orang-orang Islam tetapi tidak menjalankan syariat Islamnya dan tidak tahu apa yang harus mereka lakukan dalam lima rukun Islam, mereka memilih menjadi umat Katolik secara sukarela dan kesadaran sendiri. Tidak hanya perorangan, banyak dari mereka adalah satu keluarga “menyerahkan diri” kepada Pastor untuk dibaptis.
Istilah Kring dan Stasi pertama dikenalkan oleh seorang misionaris dari Eropa, Romo F. Strater, SJ yang berkarya di Yogyakarta tahun 1918. Salah satu daerah yang mengalami perkembangan umat cukup pesat adalah umat Katolik yang berada di Dusun Dukuh. Namun dalam perkembangan selanjutnya pada tahun 1930-an, pertumbuhannya menjadi tersendat karena tekanan politik dari pemerintah kolonial Belanda. Setelah Indonesia merdeka, pertumbuhan umat Katolik di daerah ini kembali semarak. Banyak orang yang tadinya sebagai penghayat kepercayaan seperti Saptodarmo, Pengestu, Setyabudi 45, dan lain-lain berpindah ke agama Katolik. Demikian juga dengan orang-orang Islam tetapi tidak menjalankan syariat Islamnya dan tidak tahu apa yang harus mereka lakukan dalam lima rukun Islam, mereka memilih menjadi umat Katolik secara sukarela dan kesadaran sendiri. Tidak hanya perorangan, banyak dari mereka adalah satu keluarga “menyerahkan diri” kepada Pastor untuk dibaptis.
Perkembangan ini tidak hanya terjadi di Dusun Dukuh, tetapi dusun-dusun lain yang ada di Desa Pandowohardjo. Bahkan dusun-dusun lain di luar Desa Pendowoharjo, seperti Temon, Krandon, Ngelo, Kepanjen, dan masih banyak lagi. Karena jumlah calon umat Katolik yang sangat banyak itulah, maka Romo F. Strater, SJ membagi wilayahnya menjadi Kring. Nama Kring adalah nama pedukuhannya, yaitu Kring Dukuh, Kring Temon, Kring Krandon, Kring Ngelo, Kring Kepanjen, dan lain-lain. Dusun Dukuh menjadi pusat kegiatan liturgi mingguannya. Dari 19 kring yang ada tersebut disatukan oleh nama Stasi. Satasi Dukuh adalah bagian dari paroki di Kecamatan Sleman, Kabupaten Sleman.
Nama Kring (nama komunitas terkecil dalam struktur gereja Katolik di daerah Yogyakarta dan sekitarnya saat itu) digunakan untuk memudahkan mengorganisasi calon umat Katolik yang akan dibaptis. Nama kegiatannya adalah “Wulangan”, yaitu kegiatan pembinaan iman yang akan dipersiapkan untuk baptisan dewasa oleh seorang katekis awam yang telah dipercaya oleh pastor di paroki. Jumlah katekis saat itu sangat terbatas. Mereka harus berkeliling dari dusun ke dusun untuk memberikan “wulangan”. Sampai sekarang ini nama Kring masih melekat di daerah-daerah atau pinggiran kota, meskipun kegiatan “wulangan” sudah tidak ada lagi/jarang, karena pusat pembinaan iman umat sudah bergeser ke paroki.
Kemudian yang kedua adalah nama stasi. Stasi adalah pusat kegiatan umat Katolik di bawah paroki. Stasi adalah wilayah yang keberadaannya jauh dari paroki. Stasi biasanya berada di desa-desa. Stasi memiliki kapel atau gereja. Kegiatan misa bisa satu bulan sekali, satu bulan dua kali, bahkan ada yang 2-3 bulan sekali. Terutama yang berada di pelosok-pelosok dan imamnya hanya ada satu. Stasi yang memiliki umat lebih dari 60 kepala keluarga, memiliki perangkat pengurus yang lengkap, administrasi dan manajemen yang baik, dan AD/ART yang jelas bisa dinaikkan statusnya menjadi paroki. Meskipun letaknya ada di desa atau pinggiran kota.
Dalam sejarah perkembangan gereja di nusantara ini, nama kring dan stasi seperti sudah dipatenkan dan bagian dari struktur gereja Katolik. Padahal dalam statuta gereja Katolik dua istilah tersebut masih samar. Namun kedua istilah tersebut tidak salah diterapkan dalam struktur gereja karena gereja Katolik universal mengakomodasi kearifan lokal, toleran, dialogal, luwes, dan dinamis. Penggunaan kedua istilah tersebut juga tidak terlepas dari pengaruh para pemuka agama Katolik dan para rohaniwan yang diberi kepercayaan memimpin gereja Katolik di Indonesia pada waktu itu. Latar belakang para pemuka agama Katolik dan para rohaniwan kebanyakan berasal dari Suku Jawa, sehingga istilah yang kental dengan nuansa Jawa tersebut dianggap nama yang paling pas secara turun-temurun (mohon maaf jika pandangan penulis ini salah). Sementara dari suku lain menganggap hal itu baik dan benar sehingga tidak dipermasalahkan.
Karakteristik kring dan stasi biasanya memiliki tradisi yang yang lebih kuat. Pola pikir umat yang menghidupi kring dan stasi lebih sederhana namun militant. Hubungan horizontal dengan pemeluk agama lain dan masyarakat umum relatif tidak mengalami kendala. Sikap saling protect, menghargai, tolerasi, dan gotong royong masih nampak nyata. Permasalahan di kring dan stasi sangat kecil karena musyawarah untuk mencapai mufakat masih dijunjung tinggi. Azas kekeluargaan masih dikedepankan dalam menyelesaikan suatu permasalahan.
Lingkungan
Lingkungan dalam pembagian komunitas umat Katolik di paroki sama dengan kring. Tugas-tugas dan susunan organisasinya sama. Bedanya bahwa kring biasanya terdapat di desa-desa yang wilayahnya dibatasi oleh batas pedukuhan atau desa. Sedangkan lingkungan adalah komunitas yang domisilinya berdekatan. Tidak terikat dengan batas pemerintahan. Satu lingkungan bisa melewati lintas kelurahan, kecamatan, kabupaten, bahkan provinsi. Kita dapat mengambil contoh yang terdekat yaitu umat yang tinggal antara Parungpanjang, Tenjo, dan Balaraja. Sebagian umat ada yang tinggal di kawasan Tangerang dan Bogor yang jelas-jelas secara pemerintahan berbeda provinsi, namun umat di territorial tersebut termasuk bagian dari Paroki Santa Perawan Maria Tak Bernoda Rangkasbitung.
Lingkungan biasanya pembagian wilayah gereja Katolik yang berada di kota-kota besar dan kota-kota kecil yang mudah dijangkau dengan kendaraan umum dan jarak dengan pusat paroki tidak terlalu jauh. Jika jumlah umat dalam wilayah 100 KK biasanya dimekarkan menjadi dua lingkungan. Lingkungan menggunakan nama santo atau santa sebagai pelindung lingkungan. Sehingga pada hari besar santo dan santa tersebut dipestakan oleh warga lingkungan yang ditandai dengan misa syukur. Ada lingkungan yang merayakan pesta nama santo pelindung sekaligus merayakan hari jadi lingkungan. Di Paroki tertentu ada bagian terkecil dalam lingkungan, yaitu rukun. Rukun biasanya bagian dari lingkungan tertentu yang letaknya agak terpencil. Rukun juga menggunakan nama santo dan santa.
Kegiatan lingkungan biasanya sangat dinamis karena lingkungan merupakan representasi dari perkembangan sebuah paroki. Penyangga utama secara ekonomi, liturgi, dan SDM paroki adalah lingkungan. Untuk itu, trend positif lingkungan perlu mendapatkan pembinaan baik oleh pengurus lingkungan dan DPP. Hal tersebut perlu dilakukan karena di lingkungan juga rentan terhadap masalah-masalah. Kemajemukan, egoisme, sentimen pribadi, mudah mutung, memaksakan kehendak, dan beda pandangan terkadang menjadi penghambat majunya sebuah lingkungan.
Wilayah
Sampai saat ini keberadaan wilayah di paroki-paroki tertentu ditempatkan pada slot yang berbeda-beda. Kebanyakan paroki, wilayah adalah struktur gereja yang membawahkan 2-4 lingkungan. Secara garis komando, wilayah adalah sebagai koordinator. Pengurusnya tidak selengkap pengurus lingkungan. Job desc-nya dinilai kurang jelas (meskipun sebenarnya cukup banyak). Pengurus wilayah pun kadang merasa bahwa tugas dan tanggung jawabnya tidak efektif, hanya tanda tangan dan membentuk kepanitiaan hari besar gereja. Setelah itu selesai. Biasanya wilayah tidak menggunakan nama santo atau santa sebagai pelindung wilayah. Wilayah biasanya menggunakan angka rumawi atau berdasarkan nama daerah, blok, kompleks, atau kampung. Meskipun demikian ada juga wiayah yang tetap mempergunakan nama santo dan santa sebagai pelindung wilayah.
Di paroki lain, ada yang tidak menempatkan wilayah sebagai bagian dari struktur gereja karena dianggap tumpang tindih dengan lingkungan. Sementara ada paroki yang justru menempatkan wilayah sebagai struktur gereja dan menghapus keberadaan lingkungan. Nama wilayahnya menggunakan santo atau santa. Menurut KBBI, secara makna semantik dan kontekstual antara wilayah dan lingkungan sangat berbeda. Wilayah cakupannya lebih luas, sementara lingkungan cakupannya lebih kecil. Namun gereja Katolik tidak pernah mempermasalahkan penggunaan dua istilah ini, karena substansi gereja bukan pada masalah nama wilayah atau lingkungan. Prioritas gereja adalah menempatkan bagaimana sabda Tuhan dapat dihayati, direnungkan, dan dimaknai, dan diimplentasikan dalam kehidupan sehari-hari. Nama wilayah dan lingkungan adalah hanyalah cara atau sarana untuk memudahkan pengorganisasian umat dan menyampaikan kabar gembira dari Allah.
KBG dan KUB
Menurut Ensiklopedia Bahasa Indonesia, Komunitas Basis Gerejani (KBG) adalah suatu komunitas yang terdiri dari kelompok kecil, umumnya terkelompok dalam jumlah lima belas sampai dua puluh kepala keluarga atau perorangan di suatu wilayah, lingkungan, atau pun rukun di satu paroki. Kelompok kecil ini memiliki nama yang berbeda bahkan menghidupi aspek-aspek hidup menggereja yang berbeda pula, entah kelompok evangelisasi, kajian Kitab Suci, pendoa/legio, atau pun renungan.
Ciri - ciri KBG:
Teritorial yang sama
Idealnya, sebuah KBG terbentuk sekitar lima belas sampai dua puluh keluarga bertetangga yang hidup dalam wilayah yang sama. Hal ini dapat dipahami dengan alasan:
Karena keluarga-keluarga itu bertetangga dekat dan berjumlah relatif kecil dalam area yang sama, Gereja sebagai komunio dapat dialami tanpa sekat-sosial seperti suku, bahasa, ekonomi, gender, minat, dan sebagainya.
Umat dapat mengalami komunio sebagai relationship dengan Tuhan dan sesama, saling mengenal dan mengunjungi untuk mewujudkan persekutuan dan persaudaraan sebagai satu keluarga Allah. Orang tidak lagi merasa terasing di dalam kelompoknya sendiri. Dengan demikian, hukum kasih yang merupakan isi Injil dialami dalam hidup beriman.
Sharing Injil
Ada beberapa alasan, mengapa sharing Injil sangat ditekankan dan dinilai sebagai faktor kunci sebuah KBG:
- Sharing Injil adalah alat yang ampuh untuk membantu umat beriman mendengarkan Sabda Tuhan.
- Di dalam Kitab Suci, mendengar suara Allah adalah sebuah keutamaan yang lebih penting daripada melihat. Allah yang tak kelihatan bisa dialami kehadiranNya secara nyata. Umat menerima Sabda Allah melalui telinga dan memeliharanya dalam hati.
- Sebagai perwujudan konkret Gereja, KBG adalah komunitas doa. Dalam sharing Injil, Kitab Suci menjadi buku doa. Yesus hadir, menyapa dan menyentuh semua saudara-Nya.
- Sharing Injil menolong umat untuk melihat segala sesuatu dalam terang Injil.
- Sharing Injil dapat dilakukan tanpa harus dipimpin oleh imam walaupun imam hadir di situ. Hidup komunitas Gereja yang berpusat pada Sabda Allah membuat sifat gereja yang kudus menjadi tampak.
Ada beberapa alasan, mengapa aksi nyata injili merupakan ciri yang harus tampak dalam KBG:
- Aksi nyata membuat iman menjadi iman yang hidup.
- Tugas semua umat beriman untuk menghayati hidupnya dalam terang Injil.
- Bersaksi tentang Yesus adalah pengabdian yang luhur.
- Sarana utama bagi penginjilan adalah kesaksian hidup kristiani yang otentik.
- Semua kaum beriman bertugas untuk melanjutkan perutusan Yesus di dunia. Dengan melakukan aksi nyata injili, KBG menampakkan sifat universal gereja yang apostolik.
Ada beberapa alasan mengapa KBG harus terikat dengan paroki:
- Paroki menghadirkan gereja semesta yang kelihatan. Oleh karena itu, KBG sebagai komunitas gereja harus disatukan dengan paroki, bagai ranting anggur dengan pokoknya. Tanpa kesatuan erat dengan paroki, KBG bukan komunitas basis gereja, melainkan sekte.
- Paroki adalah komunitas orang-orang yang dibaptis. Paus Yohanes Paulus II menegaskan bahwa paroki adalah komunitas dasar umat Allah. Komunitas dasar itu ditemukan dalam baptisan dan memiliki tugas khusus mengembangkan panggilan orang-orang yang dibaptis. Sebagai sebuah paroki, setiap orang yang dibaptis dipanggil untuk membentuk satu jati diri (entitas) dalam Kristus, terikat untuk mengemban kesaksian hidup kepada komunitas ini, dengan berusaha bertumbuh dalam Kristus, tidak hanya sebagai individu tetapi juga sebagai paroki. Dengan demikian, KBG hanya bisa menjadi Komunitas Basis Gerejawi, bila keberadaannya adalah untuk pembangunan paroki sebagai gereja yang paling lokal.
- Paroki adalah komunitas ekaristi, komunitas yang paling cocok untuk perayaan sakramen sumber hidup ini dalam persatuan penuh seluruh gereja, di mana pastor yang mewakili Uskup Disosesan, merupakan ikatan hirarkis dengan seluruh gereja partikular. Dalam ekaristi tampak komunio semua anggota tubuh Kristus yang menyebar di setiap KBG dalam kesatuan dengan imam sebagai in nomine christi capitiis, merayakan komunio itu secara sakramental dalam misteri keselamatan, bersama semua anggota tubuh Kristus di seluruh dunia, sebagai gereja yang berziarah dalam kesatuan dengan gereja yang bahagia (para kudus), dan gereja yang masih menantikan keselamatan (para arwah). Karena merupakan komunitas ekaristi, maka paroki pertama-tama hendaknya dan harus menjadi tempat perjumpaan kaum beriman dan diundang untuk membagi hidup dan misi gereja secara penuh. Dengan demikian paroki sebagai komunitas ekaristi bermaksud untuk memberi daya hidup misi yang terjadi di KBG, dan oleh komunio gereja yang bersumber pada tubuh dan darah Kristus sendiri, kaum beriman diutus untuk melanjutkan misi di KBG-KBG. (Sudir M) bersambung...............
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berbicara adalah hak asasi manusia dari setiap individu, tetapi gunakan hak itu sesuai dengan peraturan yang berlaku serta budaya lokal yang membangun. Salam kasih. Admin