Oleh: Pastor Tauchen Hotlan Girsang, OFM |
Tentu saja,
Gereja mengalami kasih Allah dalam rupa agape.
Agape dialami melalui kehadiran dan
karya Roh Kudus. Melalui Roh Kudus,
para murid mampu mempersatukan bangsa manusia tanpa pembeda-bedaan dan
sekat-sekat. Hal ini kita jumpai dalam bacaan pertama hari ini di mana Petrus
mengakui dirinya sebagai manusia biasa saja tetapi Roh Kudus berkarya melalui
kata-katanya.
Kita juga sangat
mengenal kata-kata Rasul Yohanes: “ marilah kita saling mengasihi sebab kasih
itu berasal dari Allah, dan setiap orang yang mengasihi, lahir dari Allah dan
mengenal Allah. Barangsiapa tidak mengasihi, ia tidak mengenal Allah sebab
Allah adalah kasih... Bukan kita yang telah mengasihi Allah tetapi Allahlah
yang telah mengasihi kita dan yang telah mengutus Anak-Nya sebagai silih atas
dosa-dosa kita.” Dalam bacaan kedua ini agape
dialami melalui kehadiran dan karya sesama.
Agape lebih lanjut semakin jelas dan
nyata sekali di dalam diri Yesus Kristus. Dia yang rela memberikan naya-Nya
sebagai silih atas dosa kita seperti disebutkan dalam bacaan Injil: “Tidak ada
kasih yang lebih besar daripada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk
sahabat-sahabatnya.” Kasih yang total sekaligus radikal inilah yang dinamai agape, yang contoh dan teladannya
mewujud dalam diri Yesus.
Bangsa manusia
pastilah membutuhkan agape. Apalagi
kita lihat suasana kehidupan bersama dalam bermasyarakat. Adanya geng motor
yang pamer kekerasan. Adanya penggunaan senjata api liar di jalanan bahkan
digunakan secara terang-terangan dalam perampokan. Adanya korupsi yang meraja
lela dan tersistematis. Kisruh politik yang tak kunjung memiliki titik terang.
Maraknya aksi penipuan bermodus pelayanan rohani dan amal. Rasa-rasanya
kehadiran agape sangat dirindukan
dalam suasana seperti ini.
Orang beriman di
dalam gereja pastilah juga merindukan agape.
Keluarga kita juga merindukan hal yang sama. Kita lihat misalnya pengalaman Ibu
Theresia dari Kalkuta. Ia menulis: ”...kegelapan tak terperikan ini, kesepian ini,
kerinduan yang terus-menerus kepada Allah ini, yang memberi saya rasa nyeri
yang dalam di hati saya. Kegelapan sedemikian rupa sehingga saya tidak dapat
melihat, entah dengan pikiran atau dengan akal budi saya. Tempat Allah dalam
jiwa saya terasa hampa. Tidak ada Allah dalam diri saya ketika nyeri karena
kerinduan yang begitu dahsyat. Saya hanya merindukan Allah dan kemudian inilah
yang saya rasakan. Allah tidak menginginkan saya. Terkadang saya cuma mendengar
hati saya sendiri menjerit “Allahku” dan tak ada lain yang datang. Siksaan dan
nyeri yang tak dapat saya jelaskan.”
Jelaslah bahwa Ibu Theresia dari Kalkuta merindukan agape. Betapa jiwanya haus akan kasih Allah. Dahaga itu terasa begitu
menyiksa karena seakan-akan selalu dibiarkan dalam penantian yang panjang.
Penantian yang terasa sunyi, sepi, hampa dan menyiksa. Barangkali kita pun
merindukan adanya agape di dalam
keluarga kita. Suami merindukan agape
isteri dan anak. Isteri merindukan agape
dari suami dan anak. Anak merindukan agape
dari orangtuanya. Demikian juga dengan sanak-saudara kita yang lain. Kita
kadang-kadang tak memiliki waktu dan kesempatan untuk berbuat kasih. Atau kita
mengabaikan kesempatan emas yang ada di depan mata kita. Kita lihat saja. Di
dalam rumah kerap suami sibuk menonton televisi. Isteri sibuk dengan
blackberrynya. Anak-anak sibuk dengan game.
Masing-masing anggota keluarga sibuk dengan dirinya sendiri. Mereka ada bersama
tetapi tak ada kesempatan untuk berbagi kasih karena setiap orang sibuk dengan
dirinya sendiri.
Mari kita bertanya. Apakah suasana kasih di dalam keluarga kita telah
hilang karena masing-masing sibuk dengan dirinya sendiri? Apakah sarana-sarana
teknologi sudah merampas kasih kita? Jika memang benar itu yang terjadi, maka
saatnya kita perlu melakukan puasa teknologi barang sejenak.
Puasa ini kita pakai sebagai kesempatan untuk berbagi kasih. Sebab, setiap
orang pasti merindukan agape. Tuhan
Yesus memberkati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berbicara adalah hak asasi manusia dari setiap individu, tetapi gunakan hak itu sesuai dengan peraturan yang berlaku serta budaya lokal yang membangun. Salam kasih. Admin