Laksma TNI Christina Maria Rantetana SKM MPH |
“Sebagai prajurit saya dikontrak
24 jam, yang berarti saya harus siap sedia menerima dan menjalankan perintah
kapan pun,” ujar wanita yang setiap perkataannya kerap disambut dengan kalimat
‘Siap, Jenderal!’ oleh para anak buahnya. Itu memang risiko dari pekerjaannya.
Menjadi wanita jenderal pertama dan satu-satunya staf ahli wanita di
Kementerian Polhukam dengan jabatan setara eselon I juga tidak membuat wanita
kelahiran Tana Toraja, 57 tahun silam, ini pongah. Pangkat dan jabatan yang
semakin tinggi justru dimaknainya sebagai bertambahnya tanggung jawab. Dan ia
bertekad jangan sampai gagal, agar masyarakat tidak menyalahkan gendernya.
Menduduki jabatan tinggi juga berarti merelakan lebih banyak waktunya untuk pekerjaan ketimbang untuk keluarga. Menyiasati hal ini, Christina mengaku harus pintar-pintar ‘mencuri’ waktu supaya keluarganya tidak terbengkalai. Ia memang tidak boleh menolak jika pekerjaan menuntutnya harus lembur di kantor hingga larut malam, namun sebisa mungkin ia tidak membawa pekerjaan ke rumah.
Sebagai perwira tinggi TNI, ia
juga harus menghadiri berbagai acara dinas, yang tidak boleh ditolaknya. Namun
untuk acara-acara non dinas, barulah sesekali ia menjadikan anak-anaknya
sebagai pemenang. Beberapa kali ia tidak menghadiri undangan pernikahan, karena
sudah keburu berjanji untuk berkumpul dengan suami dan anak-anaknya. “Kuantitas
pertemuan saya dengan keluarga mungkin lebih sedikit dibanding ibu yang lain,
jadi saya harus menekankan kualitas komunikasi kami,” ujarnya.
Kendati harus sering meninggalkan
keluarga demi tugas, istri dari Cosmas S. Birana ini tidak pernah
menyesal telah memilih berkarier di dunia militer. Prinsipnya, hidup memang
pilihan. Karena itu, ia tidak sebentar-sebentar minta izin dari pekerjaannya
untuk urusan anak-anak. Jika tidak benar-benar perlu, ia cukup memecahkan
masalah di rumah dengan komando via telepon. “Jangan sampai saya menjadi kontraproduktif
di hadapan kolega-kolega pria,” begitu alasannya. Untuk menjaga komunikasi
dengan anak-anak, Christina secara rutin menghubungi mereka ataupun asisten
rumah tangganya lewat telepon atau Blackberry messenger.
Pola asuh yang diterapkan
Christina ini ditirunya dari sang ibu, seorang pensiunan guru. Kendati bekerja,
sang ibu berhasil merawat ketujuh putra putrinya dengan baik. Ibunda Christina
juga menurunkan pola asuh yang mengajarkan hidup teratur kepada anak-anaknya.
“Dulu saya punya tugas yang jelas di rumah. Saya harus pulang sekolah pukul
sekian, setelah itu merawat ternak, dan seterusnya,” ia menjelaskan. Gaya hidup
penuh disiplin itu rupanya pas dengan lingkungan kemiliteran tempatnya bernaung
sekarang.
Dalam membina keluarga, Christina
memang tidak bekerja sendirian. Bersama suaminya yang pegawai negeri, mereka
menjadi mitra yang saling melengkapi. “Sebagai pegawai negeri, suami saya juga
harus berpindah-pindah tempat tugas. Tapi tidak selamanya istri yang harus ikut
suami, ada kalanya suami yang ikut istri, supaya kehidupan keluarga kami bisa
berjalan lancar,” ujarnya. Ini sekaligus menjawab rasa penasaran banyak orang
yang mempertanyakan mengapa suaminya mau mengikuti istrinya berpindah-pindah
tempat tugas. Namun ketika ia memutuskan untuk pindah bagian ke Jayapura demi
mengikuti suaminya yang ditugaskan di kota itu, kembali banyak kening
mengernyit. Tetapi ia tidak peduli apa kata orang. Yang penting ia menjalankan
semuanya dengan ikhlas demi keutuhan keluarga. (Darius Lekalawo)
__________________________________________
__________________________________________
Sumber: http://www.pesona.co.id/relasi/keluarga/menjadi.jenderal.dan.seorang.ibu/003/001/73.
Foto: www.santoalbertus.org
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berbicara adalah hak asasi manusia dari setiap individu, tetapi gunakan hak itu sesuai dengan peraturan yang berlaku serta budaya lokal yang membangun. Salam kasih. Admin