Pertanyaan ini tercetus saat
sesi tanya jawab dalam pembekalan spiritualitas rapat pleno pengurus DPP, DKP,
dan Kelompok Kategorial Paroki Santo Paulus Periode 2014-2016 oleh Mgr.
Paskalis Bruno Syukur, OFM. Saat itu Mgr. Paskalis Bruno Syukur, OFM memberikan
jawaban bahwa di Depok ada dua macam sekolah Katolik, yaitu sekolah Katolik
yang dikelola oleh Yayasan di bawah keuskupan atau paroki dan sekolah Katolik
yang dikelola oleh perorangan.
Masing-masing yayasan memiliki
regulasi dan pola kebijakan yang berbeda. Untuk mengakomodasi beberapa
pertanyaan dan keinginan tersebut, Keuskupan Bogor akan mencoba berdialog
dengan yayasan, MPK, dan penyelenggara pendidikan Katolik. Mgr. Paskalis Bruno
Syukur, OFM juga mengajak umat Katolik harus memahami bahwa biaya pendidikan di
sekolah Katolik tidaklah murah.
Kemudian pertanyaan ini juga mengemuka kembali dalam kegiatan kunjungan DPP dan DKP di Wilayah Santa Theresia Paroki Santo Paulus Depok (23/3). Khusus penyelenggaraan pendidikan di sekolah Mardi Yuana di Depok terutama berkaitan dengan sistem penerimaan peserta didik baru akan dipaparkan dalam tulisan ini. Menjadi penting karena bertepatan dengan masa-masa akhir penerimaan peserta didik baru untuk tahun pelajaran 2014/2015. Selama ini informasi tentang sekolah Katolik Mardi Yuana di Depok belum tersosialisasi di masyarakat secara optimal, sehingga informasi yang diperoleh menjadi kurang valid.
Yang tersebar di masyarakat
bahwa masuk di sekolah Mardi Yuana Depok mahal dan susah. Informasi sepihak ini
perlu diluruskan dan harus dijelaskan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya.
Selama ini di sekolah Mardi Yuana belum pernah ada kasus sekolah mempersulit
calon siswa masuk ke sekolah Mardi Yuana Depok, khususnya di unit SMP Mardi
Yuana Depok. Misalnya pernah terjadi pun tentu bukan pada lembaganya namun pada
perorangan. Tidak terkecuali hal yang menyangkut biaya masuk. Bila ada
kesulitan yang berkaitan dengan biaya dapat dibicarakan antara calon orang tua
dan pihak sekolah.
Sekolah Mardi Yuana Depok yang
mencakup PG, TK, SD, SMP, dan SMA memegang teguh pesan Bapak Uskup Emeritus
Mgr. Michael Cosmas Angkur, OFM bahwa sekolah-sekolah Mardi Yuana hendaknya
menyediakan “kursi-kursi Yesus” untuk orang tua yang benar-benar tidak mampu
dan ingin mendapatkan pelayanan pendidikan di Mardi Yuana. Dalam realitanya,
jangankan untuk calon
siswa beragama Katolik yang
berasal dari keluarga tidak mampu, calon siswa yang secara ekonomi keluarga
tidak mampu yang beragama non-Katolik pun mendapat perhatian yang sama tanpa
ada diskriminasi. Hanya klasifikasinya berbeda.
Tidak Mempersulit
Dalam pemberlakuan kebijakan palayanan
terhadap calon siswa dari keluarga tidak mampu ada beberapa persyaratan yang
berlaku, yaitu: (1) Untuk calon siswa yang beragama Katolik harus ada surat
rekomendasi dari ketua lingkungan atau ketua wilayah yang diketahui oleh pastor
paroki, (2) Untuk calon siswa non-Katolik harus ada rekomendasi dari pendeta,
kepala jemaat, atau aparat pemerintah desa/ kelurahan, (3) Quota calon siswa
yang membawa surat rekomendasi dari paroki, pendeta, kepala jemaat, dan lurah
terbatas dan ada pertimbangan lain seperti skala prioritas keadaan ekonomi
keluarga dan prestasi.
Quota biasanya didasarkan
jumlah paroki/ wilayah yang ada di Depok, Cibinong, Parung, dan Jakarta Selatan
dan bisa berlaku silang atau lintas paroki, (4) Tim survei dari sekolah
memiliki kewenangan melakukan kunjungan ke rumah calon orang tua siswa.
Jika dikaji dari kebijakan
yang dikeluarkan oleh Yayasan Mardi Yuana adalah sangat membantu calon siswa. Namun
terkadang permasalahan muncul dari orang tua, di antaranya: (1) Meskipun telah
dinyatakan tidak diterima karena hasil tes yang tidak memenuhi standar, orang
tua memaksakan kehendak untuk bisa diterima, (2) Malu meminta surat keterangan
dari ketua lingkungan, ketua wilayah, pastor, kepala jemaat, pendeta, dan lurah
karena tidak aktif di lingkungan atau gereja, (3) Tidak mau repot mengurus surat
dengan alasan sibuk dan tidak ada waktu, (4) Tersinggung dan marah merasa “dimiskinkan”,
(5) Berpura-pura miskin untuk mendapatkan keringanan biaya.
Dengan permasalahan tersebut
biasanya orang-orang yang pernah kecewa dengan sekolah Mardi Yuana yang
disebabkan keinginannya tidak terpenuhi memberikan penjelasan yang tidak
realistis dan cenderung subjektif. Menyikapi dari berbagai masalah yang
dihadapi penyelenggara pendidikan
saat ini, yayasan atau
perorangan penyelenggara pendidikan Katolik sangat berharap pada orang tua
siswa mau memahami kesulitan sekolah Katolik dan ada kemauan memberi subsidi
kepada yang kurang mampu secara finansial. Hal tersebut dikarenakan operasional
sekolah cukup besar dan salah satu sumber dana terbesar adalah SPP dari orang
tua.
Jika ada fenomena banyak orang
tua siswa Katolik beralih ke sekolah luar atau non-Katolik dengan alasan biaya
murah, siapa lagi yang akan memajukan sekolahsekolah Katolik yang sampai saat
ini masih dikenal kedisiplinannya. Lebih tragis lagi, jika sekolah-sekolah
Katolik gulung tikar, tamatlah visi dan misi kekaryaan pendidikan Keuskupan
Bogor dalam ambil bagian pembangunan pendidikan ditataran Sunda dan pemerintah.
Dari uraian di atas ada
beberapa hal yang dapat dijadikan sebagai benang merah dan sikap arif dalam
penyelenggaraan pendidikan di sekolah Katolik khususnya di Mardi Yuana Depok
dan masyarakat/ orang tua, yaitu: (1) Pada prinsipnya sekolah Mardi Yuana Depok
tidak mempersulit calon siswa Katolik untuk mendapatkan pelayanan pendidikan
dengan syarat calon siswa/ orang tua bersedia mengikuti mekanisme yang berlaku,
(2) Calon orang tua siswa harus memahami dan mengerti bahwa dalam sistem
penerimaaan calon peserta didik baru, ketentuan, aturan, dan persayaratan tetap
berlaku, misalnya harus lolos tes seleksi, (3) Orang tua hendaknya memahami
dilema penyelenggara pendidikan yang berkaitan dengan kapasitas kelas,
peraturan/ tuntutan pemerintah, persamaan hak setiap siswa untuk memperoleh
pendidikan, dan keterbatasan lainnya, (4) Calon orang tua hendaknya melakukan
perbandingan tentang biaya pendidikan di sekolahsekolah lain yang kualitasnya
setara sehingga bisa menentukan sekolah mana yang biayanya mahal. (5)
Dibutuhkan etikat baik, kemauan untuk memberi, dan berbagi untuk memajukan
sekolah-sekolah Katolik di Depok, (6) Menumbuhkan budaya malu bahwa yang
memiliki anak adalah orang tua namun begitu ada kesulitan mengalihkan tanggung
jawab kepada pastor, sekolah, atau pendeta, dan
(7) Hidup harus utuh, jangan
hanya mau menerima yang sifatnya menyenangkan saja. Yang tidak menyenangkan pun
adalah suatu berkah atau anugerah. Semoga menjadi permenungan kita bersama
dalam meningkatkan kualitas hidup baik secara iman Katolik maupun pelayanan
terhadap masyarakat.(Ag. Sudir I.M. Editor: Darius Lekalawo. Foto ilustrasi: www.mardiyuana.net)
Sekolah khatolik tdk mempunyai hati nurani. Saya baru mengalaminya.. Agama hanya tameng.. Ujung ujung nya duit..
BalasHapusBetul.. Bisnis yg berkedok agama ..
BalasHapusMenanggapi jawaban di atas sekolah mana sih yg ga butuh duit. Operasioanal n gaji guru serta pegawai lain semua butuh duit pak/bu. Emang uang jatuh dri langit.. Bahkan sekolah basis agama lain saja juga sama saja. Biaya nya beragam dari yg murah smpai mahal. Ada yg uang pangkalnya 60 juta hnya utk jalur TK. Ga percaya coba main2 ke daerah kelapa dua depok. Banyak dekolah mahal lainnya..Anda jangan"black campaign". Saya dulu bersekolah di sekolah katolik memang bukan sekolah Mardi Yuana n memang ada misi sosialny kok.
BalasHapus