Para pengrus DPP/DKP Santo Paulus-Depok, dalam kegiatan KUPAS |
Dewan Pastoral
Paroki (DPP) dan Dewan Keuangan Paroki (DKP) St. Paulus Depok rupanya tidak
basa-basi dan bukan sekedar mengumbar janji kepada umatnya. Dibawah pimpinan
Pastor Paroki P. Yosef Paleba Tolok, OFM selaku Ketua DPP dan DKP, para petinggi paroki ini langsung ‘turun
gunung’. Mereka tidak hanya ingin berada di ‘puncak Tabor” dan berseru dari
balik mimbar gereja, melainkan mau mewujudkan impiannya sebagai pelayan dengan melakukan
kunjungan pastoral (KUPAS) ke dua wilayah sekaligus, Wilayah St. Theresia dan
St. Maria Magdalena.
KUPAS yang
direncanakan setiap akhir minggu dalam bulan ini, untuk pertama kalinya berlangsung
pada Minggu ( 23/3). Rombongan KUPAS beranggotakan 10 orang yaitu: Pater Yosepf
Tote, Bpk. Anton Wibisono, Bpk. Aline Subiyanto, Bpk. Sudir Inu Menggolo, Bpk
Danun, Ibu Paula Sudira, Bpk Yohanes Kho Hang Sing, Bpk XFuruhitho, Ibu Lusia
Mugiyati dan Ibu Greice Dorothy dari Seksi Kerasulan Keluarga. Demikian Wakil
Ketua II DPP Bp Aline Subiyanto lewat laporan tertulisnya kepada WP, Rabu
(26/3)
Rombongan ini tidak sekedar Road Show melainkan ingin melihat dari dekat, mengalami lebih dalam dan merasakan sungguh-sungguh suka-duka dan pahit-manisnya realitas kehidupan umat yang dilayaninya. Tentu akan berusaha mencarikan jalan keluar atas berbagai persoalan yang dihadapi umat.
Para pelayan
peserta KUPAS yang baru dilantik oleh Uskup Bogor, Mgr. Paskalis Bruno Syukur,
OFM pada Minggu, 9 Maret 2014 itu sungguh merasakan kehangatan dan sukacita
penuh persaudaraan yang terpancar dari wajah-wajah umat yang entusias menyambut
rombongan ini. Akibatnya, penatnya perjalanan panjang yang ditempuh tidak
kurang dari satu jam itu lenyap seketika dihempas gloranya semangat anak-anak,
orang muda, orang tua dan pengurus wilayah yang sudah siap menjemput. ”Rombongan
berangkat dari gereja pukul 15.30, kami melalui Jalan Vitara, kompleks
Pertanian dan akhirnya sampai di perumahan Satria Jingga. Perjalanan cukup
lancar sehingga kami bisa tiba di rumah keluarga bapak Mei Dudung, Ketua
Wilayah St. Theresia pada pukul 16.30. Ternyata kami disambut oleh umat yang
terdiri dari anak-anak, orang muda, orang tua dan Pengurus Wilayah,” jelas
Biyanto.
Sambil menikmati
hidangan serba rebusan makanan organik hasil karya umat sendiri –tentu sangat
bergizi--, dialog dan sharing pengalaman pun berjalan penuh sukacita, akrab dan
bersemangat. Dialog dibuka dengan sambutan pembukaan oleh Ketua Wilayah, dan
dilanjutkan dengan penyampaian apa yang menjadi maksud dan tujuan KUPAS dari
DPP dan DKP oleh Pastor Yosef dengan wajah berseri-seri.
Di tengah
keceriaan penuh persaudaraan dan keakraban itu, unek-unek dalam bentuk
pertanyaan, keluh kesah dan kritik saran pun dilontarkan untuk segera mendapat
jawaban dan respon dari yang berwewenang (bukan yang berkuasa, red). Beberapa
pertanyaan yang sempat terlontar dari antara ke-21 kk wilayah St. Theresia itu
antara lain:
Pertama, letak wilayah Theresia terpencil dan jauh
dari gereja, bagi umat yang tidak memiliki kendaraan pribadi, untuk berangkat
ke gereja saja membutuhkan biaya Rp 30.000,00 per orang. Sungguh sangat
memprihatinkan, sementara bagi yang menggunakan motor biaya Rp10.000,00 untuk
bensin. Mungkinkah ada solusi bagi umat wilayah ini?
Kedua, Ada 4 kk yang kawin campur membutuhkan pendampingan. Mengingat besarnya
pengaruh dari luar yang menggoda, ditambah lagi dengan beban biaya yang tidak
sedikit kalau hendak menghadiri ekaristi dan ibadat lain di gereja St. Paulus
Depok.
Ketiga, Selain
jauhnya jarak, umat di wilayah ini juga masih jauh lebih sedikit dibanding
dengan wilayah lain. Untuk itu masalah tanggungan di paroki misalnya daharan
romo dan koor jangan disamakan dengan wilayah yang jumlah umatnya lebih banyak
dan jarak tempuhnya lebih dekat ke paroki.
Keempat, Sebagian
besar anak-anak bersekolah di sekolah negeri bahkan ada yang di Madrasah
Tsanawiyah karena orang tua tidak mampu membiayai sekolah di sekolah katolik.
Umat mohon peran Gereja (dalam hal ini DPP-DKP, red) untuk menjadi jembatan
antara umat katolik dengan yayasan sekolah katolik, agar anak-anak katolik diberi
tempat dan diterima pada sekolah katolik untuk mendapatkan pendidikan katolik.
Kelima, Walaupun kondisi umat yang demikian, umat di
wilayah ini tidak pernah minta untuk di kasihani, namun harapan umat adalah
perhatian dalam bentuk sapaan, sentuhan dan support agar motivasi umat dalam
menggereja dan pelayanan selalu bertumbuh.
Selagi
bersemangat, pastor Tote dan anggota DPP-DKP yang hadirpun tidak ingin
menyia-nyiakan waktu dan kesempatan alias langsung memberi tanggapan dan
jawaban sesuai hak dan kewenangan mereka.
Pertama, Untuk mengatasi kondisi jarak dan kesulitan
transportasi, pastor menyediakan waktu khusus untuk misa di wilayah setiap 3
bulan sekali. Mengapa tiga bulan sekali, karena mungkin kendala yang sama dialami
juga oleh wilayah lain sehingga harus dabagi secara adil.
Kedua, Tugas mengirim daharan romo sebaiknya
dikurangi kuantitasnya, dan tugas rutin koor di gereja bisa dijadwal ulang
(akan disampaikan ke seksi liturgi).
Ketiga, Untuk
pendampingan umat yang kawin campur, pastor siap menerima konsultasi pribadi di
gereja, atau sesekali pastor mendatangi keluarga yang dimaksud. Bisa diatur
jadwalnya dengan pengurus wilayah.
Keempat, Selain
ketiga jawaban yang ada, pastor paroki berpesan sekaligus mengharapkan agar membangun
komunikasi, keterbukaan dan relasi yang baik antar pengurus, antar umat dan
dengan lingkungan tempat tinggal senantiasa dijaga dan ditingkatkan. ”Perlu
dipupuk dan dikembangkan komunikasi dan relasi dengan pengurus, antar pengurus
dan dengan lingkungan sekitar sehingga kesulitan-kesulitan umat yang
berhubungan dengan lingkungan sekitar dapat dimusyawarahkan”, demikian ungkap
pastor Yosef mengakhiri dialog dengan umat St. Theresia.
Tak terasa jarum
jam telah menunjukan pukul 18.30. Waktu yang ditentukan untuk wilayah Theresia
sudah berakhir, rombongan harus beralih ke wilayah berikutnya. Pertemuan
ditutup dengan doa dan berkat oleh romo
Tote dan langkah mereka ke wilayah St. Maria Magdalena diiringi azan magrib tetangga.
Waktu tempu
untuk mancapai kediaman ketua wilayah St. Magdalena tidak lebih dari 15 menit.
Tidak ubahnya dengan wilayah St. Theresia, umat wilayah St. Magdalena pun penuh
semangat dan bersukacita menyambut kehadiran rombongan KUPAS DPP-DKP. Pertemuan
dan dialog diawali dengan makan malam bersama karena sudah saatnya untuk
mengisi ’kampung tengah’. ”Kami mulai bersantap bersama umat, kalau tadi kami
makan hasil pertanian, sekarang kami disuguhi dengan hasil dari peternakan.
Selesai santap malam, acara dilanjutkan dengan perkenalan pengurus wilayah”,
demikian tulis Biyanto.
Di wilayah yang
dihuni 47 kk ini, menurut Biyanto memiliki sistem administrasi yang cukup rapi
dan teratur. Kami diberikan dua bundel data wilayah yang lengkap termasuk data
keuangan, empat anak yang menjadi misdinar, dua orang prodiakon dan juga peran
umat sebagai pengurus di Rt dan Rw penghuni dua kompleks dan sebagian di
perkampungan itu.
Rangkaian acara
tidak berbeda dengan wilayah St. Teheresia, hanya ada sedikit beda permasalahan
yang dihadapi misalnya: tugas koor pagi menjadi suatu kesulitan tersendiri
karena jika berangkat terlalu pagi belum ada kendaraan umum yang melintas.
Sementara belum semua umat memiliki kendaraan pribadi. Selain itu untuk latihan
koor tidak semua keluarga ketempatan latihan karena berbagai alasan.
Terhadap
persoalan kesulitan kendaraan jawaban tidak berbeda dengan Wilayah St.
Theresia, sedangkan masalah ketempatan latihan, pastor paroki mengharapkan agar
yang bisa ketempatan ya...pengurus bisa membicarakan agar mereka selalu siapkan
rumahnya untuk latihan karena sudah
pasti ada berkatnya.
Berkaitan dengan
pelayanan pelajaran katakumen, umat wilayah ini mengharapkan agar waktu belajar
bisa lebih lama sehingga pada saat menikah misalnya, mereka sudah dibaptisg agar
tidak terkendala di kemudian hari. Untuk kasus ini, pastor paroki mrngatakan
bahwa pihaknya bisa membaptis asalkan ada jaminan dari pengajar katakumen.
Kalau pun tidak, masih ada kesempatan untuk belajar setelah melangsungkan
pernikahan sampai memenuhi syarat untuk dibaptis.
Jika umat
wilayah Theresia merasa terbebani dengan ongkos kendaraan yang cukup mahal,
umat wilayah Maria Magdalena mengeluhkan adanya beban yang terlalu berat bagi
keluarga yang anak-anak-nya komuni pertama. Hal ini perlu dipikirkan demi
menghindari persepsi atau terkesan seolah-olah sakramen komuni dibeli dengan
harga yang mahal. Terkait beban ini pastor paroki bersama DPP-DKP sudah
berencana untuk menyederhanakan dengan mengadakan rekoleksi sehari dan
dilaksanakan di gereja sehingga tidak perlu biaya besar. Karena biaya yang
besar itu, timbul karena ada biaya akomodasi, tempat penginapan, transport dan
konsumsi.
Tak terasa waktu
berjalan terus dan sudah sampai pada titik batas kesepakatan yakni hanya sampai
pukul 21.00 malam. Sementara umat kelihatan masih bersemangat namuh harus
ditahan dulu. Masih ada hari esok. Sebagai penutup pastor paroki berpesan agar
anak-anak mau lebih banyak lagi menjadi pelayan sebagai misdinar di gereja,
karena mereka adalah generasi penerus gereja yang harus selalu dekat dengan
kegiatan di sekitar gereja. Doa penutup oleh bapak Damianus dan berkat oleh
Pater Tote.. Rodapun berputar menuju
gereja St. Paulus Depok, setiap orang yang ikut rombongan merasakan kebahagiaan
dan sukacita karena dapat bertemu, berbicara, mendengar dan mengetahui secara
langsung keadaan umat di wilayah dengan segala suka dukanya.
Semoga program
KUPAS Wilayah ini menjadi program yang dirindukan oleh umat dan pengurus, DPP
DKP dan Pastor Paroki. (Alines/ Bernad).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berbicara adalah hak asasi manusia dari setiap individu, tetapi gunakan hak itu sesuai dengan peraturan yang berlaku serta budaya lokal yang membangun. Salam kasih. Admin