Pada zaman Yesus, orang-orang Yahudi menantikan Mesias yang akan membebaskan mereka dari penindasan belenggu kekuasaan Romawi. Namun, Yesus juga datang sebagai Mesias untuk membebaskan kita dari belenggu dosa, kejahatan setan, dan maut.
Ia datang membawa kita masuk ke dalam perjanjian baru relasi kita dengan Allah. Relasi ini tidak akan berakhir oleh maut, melainkan membawa kita menuju hidup abadi.
Mesias akan mengalami semua itu saat dimuliakan. Bagaimana Yesus dimuliakan? Telah diwartakan-Nya kepada para murid-Nya, juga kepada kita, bahwa Ia akan dimuliakan ketika “Aku ditinggikan dari Bumi dan Aku akan menarik semua orang datang kepada-Ku.” (Yohanes 12:32).
Apa yang dimaksudkan Yesus dengan sabda ini? Ketika seorang pemimpin menang perang dan menaklukkan musuh serta memberi kebebasan dan kedamaian bagi umatnya, ia dimahkotai dan tampil dalam hidup baru sebagai penyelamat bagi umatnya. Pemahkotaan dan pemuliaan ini dilakukan dalam suasana meriah dan menarik perhatian banyak orang.
Dalam iman kristiani, jalan pemuliaan Yesus digenapi melalui peninggian-Nya di salib. Yesus tahu, itulah satu-satunya jalan untuk memenangi Kerajaan Allah di Bumi, yakni melalui kehendak bebas-Nya menanggung penderitaan dan kematian pada salib.
Yesus melukiskan kehendak-Nya itu sebagai saat pemuliaan-Nya (Yohanes 12:23). Dalam peristiwa salib, Yesus menggenapi kehendak Bapa dan tugas perutusan yang diserahkan kepada-Nya.
Kematian-Nya di kayu salib merupakan jalan kemenangan dan kemuliaan atas kuasa dosa dan kegelapan Setan. Ia menanggung dosa kita dan melalui peristiwa salib membebaskan kita dari hukum dosa, maut, dan kehancuran.
Yesus menerangkan penderitaan dan kematian-Nya sebagai jalan yang membawa kehidupan dan kebebasan dengan menggunakan perumpamaan, laksana gandum yang jatuh ke tanah dan mati untuk menghasilkan buah berlimpah. Gandum yang jatuh ke tanah dan mati untuk berbuah merupakan gambaran peristiwa kematian-Nya di kayu salib, dimakamkan, dan dari sana tumbuh mekarlah kehidupan baru melalui kebangkitan.
Jalan penderitaan salib membuka ruang baru bagi kehidupan baru pula. Jika biji gandum tidak jatuh ke tanah dan mati, ia tidak akan pernah menghasilkan buah berlimpah bagi kehidupan.
Dengan gambaran ini, Yesus hendak memberi tahu dua hal kepada kita. Pertama, Ia menerangkan cara kematian-Nya sendiri di kayu salib dan buah kebangkitan-Nya. Kedua, Yesus hendak menerangkan proses kematian dan kelahiran baru bagi kita, murid-murid-Nya. Itulah dua hal yang hendak disampaikan Yesus kepada para murid-Nya dan kepada kita.
Kini dengan penuh keyakinan, kita pahami ketaatan dan kematian-Nya di salib adalah hal yang menganugerahkan kita kebebasan dan kehidupan baru dalam Roh Kudus. Salib-Nya membebaskan kita dari belenggu dosa dan maut. Dengannya ditunjukkan pula kepada kita jalan kasih yang sempurna dan kesiapsediaan untuk menyerahkan hidup kita pula dalam pelayanan demi kebaikan sesama.
Kita percaya kematian-Nya di salib membawa berkah dan hidup berlimpah bagi kita. Jika ingin menerima hidup baru yang berlimpah dan memetik buah kematian-Nya pada salib, kita harus, pertama-tama, mengubur hasrat berdosa kita. Kita mati terhadap dosa, kemudia hidup menurut kehendak-Nya seperti biji gandum yang mati untuk menghasilkan buah berlimpah.
Syukur kepada Allah, dalam pembaptisan, manusia lama kita yang diperbudak dosa telah dikuburkan bersama Kristus. Dengan demikian, kita bangkit untuk kehidupan yang baru berkat air baptis yang membersihkan. Proses kematian dari habitus lama ini terus-menerus terjadi sejak saat pembaptisan dan juga dalam kehidupan kita sehari-hari yang terus bertumbuh dalam Roh Kudus. Dengan kita kian menguburkan dalam-dalam cara hidup lama dalam kematian Yesus, kita boleh lahir baru dalam daya kuasa kasih, kebenaran, dan kekudusan dari Allah sendiri.
Inilah paradoks kehidupan iman kita. Kematian membawa kehidupan. Saat kita mati terhadap diri sendiri, kita mati dari sikap penuh pemberontakan karena habitus dosa kita, bahkan penolakan kita terhadap Allah, kita menerima pengampunan dari Allah dan daya kehidupan baru yang mengubah diri kita.
Roh Kudus yang dicurahkan saat pembaptisan memungkinkan kita menjadi manusia bebas untuk mengasihi dan melayani sesama. Kita pun boleh mengikuti Allah dengan setia. Ini semua adalah anugerah dari Allah, yakni anugerah Roh Kudus yang mengubah hidup hingga kita mampu untuk hidup dan melayani dengan sukacita sebagai putri-putra Bapa.
Dalam kehidupan harian, bagaimana kita belajar untuk, secara praktis, mati terhadap diri sendiri hingga Yesus Kristus hidup dalam diri kita dan mengubah kita menjadi kian serupa dengan Dia dalam kekudusan? Caranya, mari matikan dalam diri kita segala hal yang berlawanan terhadap kehendak Allah.
Ia menganugerahkan kepada kita rahmat taat kepada kehendak-Nya. Ia menganugerahkan pula daya kekuatan yang diperlukan untuk menolak segala hal yang berlawanan dengan rencana dan kehendak-Nya bagi kita. Ia menjanjikan buah berlimpah jika kita mengingkari diri sendiri dan memeluk kehendak-Nya.
Konkretnya? Mari kita lihat sosok Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok. Menurut saya, Ahok adalah fenomena sosok pemimpin yang berani mati terhadap keinginan pribadi demi kepentingan banyak orang. Sepak terjangnya saat masih menjadi wakil gubernur dan sekarang Gubernur DKI Jakarta mengimplementasikan semangat kemartiran itu.
Ia rela mengorbankan kepentingan pribadi untuk mengoptimalkan pelayanan bagi masyarakat dengan segala konsekuensi yang harus ditanggungnya. Itulah iman yang diwujudkan dalam perbuatan nyata. Selamat Paskah 2015! (Sumber: Sinar Harapan)
Romo Aloys Budi Purnomo
Ia datang membawa kita masuk ke dalam perjanjian baru relasi kita dengan Allah. Relasi ini tidak akan berakhir oleh maut, melainkan membawa kita menuju hidup abadi.
Mesias akan mengalami semua itu saat dimuliakan. Bagaimana Yesus dimuliakan? Telah diwartakan-Nya kepada para murid-Nya, juga kepada kita, bahwa Ia akan dimuliakan ketika “Aku ditinggikan dari Bumi dan Aku akan menarik semua orang datang kepada-Ku.” (Yohanes 12:32).
Apa yang dimaksudkan Yesus dengan sabda ini? Ketika seorang pemimpin menang perang dan menaklukkan musuh serta memberi kebebasan dan kedamaian bagi umatnya, ia dimahkotai dan tampil dalam hidup baru sebagai penyelamat bagi umatnya. Pemahkotaan dan pemuliaan ini dilakukan dalam suasana meriah dan menarik perhatian banyak orang.
Dalam iman kristiani, jalan pemuliaan Yesus digenapi melalui peninggian-Nya di salib. Yesus tahu, itulah satu-satunya jalan untuk memenangi Kerajaan Allah di Bumi, yakni melalui kehendak bebas-Nya menanggung penderitaan dan kematian pada salib.
Yesus melukiskan kehendak-Nya itu sebagai saat pemuliaan-Nya (Yohanes 12:23). Dalam peristiwa salib, Yesus menggenapi kehendak Bapa dan tugas perutusan yang diserahkan kepada-Nya.
Kematian-Nya di kayu salib merupakan jalan kemenangan dan kemuliaan atas kuasa dosa dan kegelapan Setan. Ia menanggung dosa kita dan melalui peristiwa salib membebaskan kita dari hukum dosa, maut, dan kehancuran.
Yesus menerangkan penderitaan dan kematian-Nya sebagai jalan yang membawa kehidupan dan kebebasan dengan menggunakan perumpamaan, laksana gandum yang jatuh ke tanah dan mati untuk menghasilkan buah berlimpah. Gandum yang jatuh ke tanah dan mati untuk berbuah merupakan gambaran peristiwa kematian-Nya di kayu salib, dimakamkan, dan dari sana tumbuh mekarlah kehidupan baru melalui kebangkitan.
Jalan penderitaan salib membuka ruang baru bagi kehidupan baru pula. Jika biji gandum tidak jatuh ke tanah dan mati, ia tidak akan pernah menghasilkan buah berlimpah bagi kehidupan.
Dengan gambaran ini, Yesus hendak memberi tahu dua hal kepada kita. Pertama, Ia menerangkan cara kematian-Nya sendiri di kayu salib dan buah kebangkitan-Nya. Kedua, Yesus hendak menerangkan proses kematian dan kelahiran baru bagi kita, murid-murid-Nya. Itulah dua hal yang hendak disampaikan Yesus kepada para murid-Nya dan kepada kita.
Kini dengan penuh keyakinan, kita pahami ketaatan dan kematian-Nya di salib adalah hal yang menganugerahkan kita kebebasan dan kehidupan baru dalam Roh Kudus. Salib-Nya membebaskan kita dari belenggu dosa dan maut. Dengannya ditunjukkan pula kepada kita jalan kasih yang sempurna dan kesiapsediaan untuk menyerahkan hidup kita pula dalam pelayanan demi kebaikan sesama.
Kita percaya kematian-Nya di salib membawa berkah dan hidup berlimpah bagi kita. Jika ingin menerima hidup baru yang berlimpah dan memetik buah kematian-Nya pada salib, kita harus, pertama-tama, mengubur hasrat berdosa kita. Kita mati terhadap dosa, kemudia hidup menurut kehendak-Nya seperti biji gandum yang mati untuk menghasilkan buah berlimpah.
Syukur kepada Allah, dalam pembaptisan, manusia lama kita yang diperbudak dosa telah dikuburkan bersama Kristus. Dengan demikian, kita bangkit untuk kehidupan yang baru berkat air baptis yang membersihkan. Proses kematian dari habitus lama ini terus-menerus terjadi sejak saat pembaptisan dan juga dalam kehidupan kita sehari-hari yang terus bertumbuh dalam Roh Kudus. Dengan kita kian menguburkan dalam-dalam cara hidup lama dalam kematian Yesus, kita boleh lahir baru dalam daya kuasa kasih, kebenaran, dan kekudusan dari Allah sendiri.
Inilah paradoks kehidupan iman kita. Kematian membawa kehidupan. Saat kita mati terhadap diri sendiri, kita mati dari sikap penuh pemberontakan karena habitus dosa kita, bahkan penolakan kita terhadap Allah, kita menerima pengampunan dari Allah dan daya kehidupan baru yang mengubah diri kita.
Roh Kudus yang dicurahkan saat pembaptisan memungkinkan kita menjadi manusia bebas untuk mengasihi dan melayani sesama. Kita pun boleh mengikuti Allah dengan setia. Ini semua adalah anugerah dari Allah, yakni anugerah Roh Kudus yang mengubah hidup hingga kita mampu untuk hidup dan melayani dengan sukacita sebagai putri-putra Bapa.
Dalam kehidupan harian, bagaimana kita belajar untuk, secara praktis, mati terhadap diri sendiri hingga Yesus Kristus hidup dalam diri kita dan mengubah kita menjadi kian serupa dengan Dia dalam kekudusan? Caranya, mari matikan dalam diri kita segala hal yang berlawanan terhadap kehendak Allah.
Ia menganugerahkan kepada kita rahmat taat kepada kehendak-Nya. Ia menganugerahkan pula daya kekuatan yang diperlukan untuk menolak segala hal yang berlawanan dengan rencana dan kehendak-Nya bagi kita. Ia menjanjikan buah berlimpah jika kita mengingkari diri sendiri dan memeluk kehendak-Nya.
Konkretnya? Mari kita lihat sosok Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok. Menurut saya, Ahok adalah fenomena sosok pemimpin yang berani mati terhadap keinginan pribadi demi kepentingan banyak orang. Sepak terjangnya saat masih menjadi wakil gubernur dan sekarang Gubernur DKI Jakarta mengimplementasikan semangat kemartiran itu.
Ia rela mengorbankan kepentingan pribadi untuk mengoptimalkan pelayanan bagi masyarakat dengan segala konsekuensi yang harus ditanggungnya. Itulah iman yang diwujudkan dalam perbuatan nyata. Selamat Paskah 2015! (Sumber: Sinar Harapan)
Romo Aloys Budi Purnomo
(Imam Diosesan dari Keuskupan Agung Semarang)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berbicara adalah hak asasi manusia dari setiap individu, tetapi gunakan hak itu sesuai dengan peraturan yang berlaku serta budaya lokal yang membangun. Salam kasih. Admin