Jumat, 27 November 2015

Sejarah Kekristenan di Aceh

Asfinawati
Penginjilan di Provinsi Aceh dimulai tahun 1930, saat itu ratusan masyarakat mayoritas Kristen yang berasal dari Sumatera Utara dan Jawa melakukan imigrasi untuk bekerja di PT Socfindo Lae Butar yang berada di Kecamatan Simpang Kanan, Kabupaten Aceh Selatan.

Hal ini dikutip dari Pendapat Hukum (Legal Opinion) Mantan Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Asfinawati, seperti dilansir satuharapan.com belum lama ini.

Dia menjelaskan imigrasi besaran-besaran yang terjadi dilihat para penginjil dari Desa Salak Pakpak Bharat. Salah satunya, evangelis I.W. Banurea, yang melakukan penginjilan dengan menerobos hutan ke daerah Kuta Kerangan yang penduduknya masih menganut animisme.

Penginjilan tersebut diterima dengan sukacita dari masyarakat dan menjadi agama baru bagi mereka.

“Di tahun 1932 evagelis melakukan kerja sama dengan PT Socfindo Lae Butar mendirikan gereja, kemudian satu demi satu desa-desa yang menganut animisme itu dikunjungi dan terbentuklah gereja-gereja. Pasca pendirian gereja, toleransi terjadi hingga tahun 1960 yang dilakukan oleh Gereja Kuta Kerangan. Selain itu seorang haji yang merupakan anggota masyarkat Aceh membangun beberapa gereja yang terbuat dari kayu di daerah tersebut,” demikian antara lain dilaporkan dalam Pendapat Hukum itu.

Disebutkan pula bahwa “seorang raja beragama Islam dari desa Lipat Kajang, yang merupakan desa terdekat, setiap Tahun Baru, 1 Januari, selalu mengunjungi gereja dan menyampaikan salam bagi orang Kristen agar hidup rukun dan bekerja keras,” tambahnya.

Dia juga menjelaskan bahwa camat Simpang Kanan mengeluarkan surat tentang batas Kabupaten Tapanuli dan Provinsi Aceh yang sebelumnya diminta kepada Domar Tumanggor untuk membantu membawa daerah dan masyarakat mulai dari Sikoran, Tembiski, Simergarap, Lae Mbalno, La Gambir dan sekitarnya untuk masuk ke dalam pemerintahan Aceh.

Dalam dokumen tersebut juga terdapat 3 janji camat Simpang Kanan, dan aslinya masih menggunakan ejaan lama Bahasa Indonesia, mengatakan sebagai berikut: “Mengenai tanah milik adat tetap menjadi hak milik perorangan maupun bersama-sama dari masyarakat adat setempat. Mengenai anggota masyarakat banyak yang beragama Kristen itu tidaklah menjadi masalah utama karena di Simpang Kanan juga masyarakatnya banyak yang beragama Kristen, yang perlu dapat menghargai agama Islam, adat kebiasaan setempat tetap dijalankan sebagai mestinya. Pemerintah Aceh dan masyarakatnya tetap menghormati dan menghargai adat setempat, karena Aceh pun sifatnya menegakkan adat yang tinggi dan kuat, serta menghargai adat orang lain di sekitarnya.” (Sumber: http://indonesia.ucanews.com/2015/11/25/sejarah-kekristenan-di-aceh)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berbicara adalah hak asasi manusia dari setiap individu, tetapi gunakan hak itu sesuai dengan peraturan yang berlaku serta budaya lokal yang membangun. Salam kasih. Admin