Hal ini dikutip dari Pendapat Hukum (Legal Opinion) Mantan Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Asfinawati, yang diterima satuharapan.com hari Rabu (18/11).
Dalam Pendapat Hukumnya, dia menjelaskan masyarakat Kristen yang berada di wilayah Aceh mengungsi ke Sumatera Utara tahun 1968 karena adanya pidato yang berisikan agar gereja ditutup dan kegiataan Kristen dihentikan, pidato tersebut disampaikan Daud Breweh yang datang ke Lipat Kajang dan Desa Rimo.
“Pembangunan gereja pernah terhambat tahun 1979, pembangunan gereja Katolik di Mandumpang dan pembangunan Gereja Tuhan Indonesia (GTI) di desa Gunung Meriah digagalkan. selain itu gereja GKPPD di Siatas, GKPPD Sanggaberru, GKPPD Gunung Meriah dibakar. Saat itu hampir seluruh umat Kristen dari Aceh Singkil mengungsi ke Sumatera Utara selama 4 bulan. Akibatnya, ladang dan rumah serta ternak hilang karena tidak terurus,” katanya.
Situasi tersebut, katanya, berakhir dengan perjanjian. Ikrar kerukunan bersama ini ditandatangani 11 orang tokoh Islam dan 11 tokoh Kristen serta disaksikan oleh Muspida Tk II Aceh Selatan, Muspida Tk II Tapanuli Tengah dan Muspida Tk II Dairi, pada 13 Oktober 1979 di Lipat Kajang.
Ada pun isi ikrar kerukunan tersebut berbunyi:
- Umat Islam dan umat Kristen dalam wilayah Kecamatan Simpang Kanan menjamin ketertiban dan keamanan dan terujudunya stabilitas wilayah dan krukunan beragama.
- Meminta kepada pemerintah supaya para pelaku akibat terjadinya gangguan ketertiban dan keamanan baik di pihak umat Islam maupun umat Kristen agar dapat ditindak menurut hukum yang berlaku.
- Pendirian/rehab gereja dan lain-lain tidak kami laksanakan sebelum mendapat izin dari pemerintah daerah Tk II Aceh Selatan, sesuai dengan Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor: 1 tahun 1969.
- Pelanggaran perjanjian/pernyataan tersebut di atas kami bersedia dituntut menurut hukum yang berlaku.
- Kami tidak menerima kunjungan baik pastor atau pendeta atau ulama yang memberikan kuliah/permandian/pembaptisan/sakramen kepada umatnya dalam wilayah kecamatan Simpang kanan, kecuali sudah mendapat izin dari pemerintah setempat.
Berikut kronologis usaha pembakaran gereja di Aceh dari tahun 1997 sampai tahun 2003:
- Pada Senin, 27 Maret 1995, sekitar jam 02.00 WIB malam terjadi usaha pembakaran undung-undung (rumah ibadat) Kristen GKPPD Penanggalen kecamatan penanggalen. Berkat bantuan masyarakat rumah ibadat tersebut dapat diselamatkan. Telah dilaporkan kepada pihak keamanan, namun pelakuknya tidak pernah terungkap.
- Pada Jumat, 21 Maret 1997, sekitar 02.30 WIB dini hari terjadi usaha pembakaran gereja GKPPD Sanggaberru, kecamatan Gunung Meriah. Berkat usaha dan bantuan masyarakat api dapat dipadamkan. Hingga sekarang tidak teruangkap siapa pelakunya.
- Pada Senin, 20 Juli 1998, juga dini hari jam 02.30 – 03.30 terjadi usaha pembakaran gereja GKPPD Siompin, GKPPD Mandumpang dan GKPPD Lae Gecih. Hingga kini tidak diketahui siapa pelakunya.
- Pada Selasa, 21 Juli 1998, terjadi usaha pembakaran gereja GKPPD Gunung Meriah desa Suka Makmur. Api mati sendiri hanya melalap dinding gereja sedikit dan mati dengan sendirinya. Pelakunya juga tidak diketahui hingga sekarang.
- Pembakaran terakhir terjadi pada 1 September 2003 pada satu gedung yang dibangun untuk gereja Kharismatik. Kejadiannya bermula dari rencana Pdt. Saragih yang berencana mau melakukan kebaktian kebangunan rohani (KKR) di ruang terbuka dengan memakai musik seperti keyboard. Sebelumnya pendeta menyebar undangan agar datang ke KKR tersebut, namun entah bagaimana salah satu undangan itu jatuh ke tangan saudara beragama Islam. Itu memicu kemarahan kaum muslim, dengan sekitar 500 orang, mendatangi lokasi pada saat acara akan dilaksanakan dan membakar bangunan berserta semua alat-alat KKR seperti 2 unit sepeda motor. (Sumber: http://indonesia.ucanews.com/2015/11/26/awal-intoleransi-di-aceh-terjadi-tahun-1961)
Keterangan foto: Asfinawati, mantan direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berbicara adalah hak asasi manusia dari setiap individu, tetapi gunakan hak itu sesuai dengan peraturan yang berlaku serta budaya lokal yang membangun. Salam kasih. Admin