Peralihan dari sanksi moral menjadi sanksi hukum bagi para pelaku
Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT) justru berpotensi
mereduksi nilai-nilai agama. Tak hanya itu, pemindahan tersebut juga
menjadi wujud ketidakpercayaan dan keraguan terhadap norma agama. Hal tersebut disampaikan oleh Koordinator Desk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan Komnas HAM Jayadi Damanik
dalam sidang uji materiil Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang
Peraturan Hukum Pidana atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang
digelar pada Rabu (1/2) siang.
Dalam keterangannya selaku Ahli Pihak Terkait YLBHI, Damanik
menjelaskan perilaku LGBT merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM)
yang tergolong sebagai hak moral. Untuk itu, lanjutnya, tidak perlu
dipindahkan “kedudukannya” sebagai hak hukum (norma hukum pidana).
Ia menyatakan ketidaksetujuannya terhadap pernyataan pemohon.
Menurutnya, persetubuhan yang dilakukan oleh laki-laki/perempuan yang
belum kawin dengan perempuan/laki-laki yang juga belum kawin merupakan
hak moral. Tak hanya itu, ia beranggapan hak moral tersebut tidak untuk
dikodifikasi ke dalam ranah hukum.
“Biarlah kedudukan norma tersebut berada di dalam ranah moral
dan/atau ranah agama. Kehendak untuk memindahkannya ke dalam ranah moral
dan/atau agama, justru sebagai wujud ketidakpercayaan atau keraguan
pada norma-norma agama. Justru mereduksi peran agama dan/atau moral,
padahal HAM bukan sebagai tergolong sebagai legal rights, tapi juga moral rights,”
tegasnya dalam sidang perkara Nomor 46/PUU-XIV/2016 di hadapan Majelis
Hakim yang dipimpin oleh Ketua MK Arief Hidayat tersebut.
Perlu Dibatasi
Sementara itu Pakar Hukum Tata Negara Fitra Arsil yang menjadi Ahli
PERSISTRI mengemukakan diperlukan adanya pembatasan dalam KUHP terkait
aturan mengenai perzinaan yang diuji para pemohon. Mengutip dari John
Locke, Arsil menjelaskan pembentuk undang-undang harus mendasarkan
pembentukan undang-undangnya kepada gagasan-gagasan yang lahir dari
hukum kodrat atau hukum yang berasal dari Tuhan.
“Hal ini agar hukum tersebut, menjadi hukum yang adil bagi yang
melaksanakannya. Saya kira, sejak awal ide pembatasan tersebut yang kita
ikuti dari setiap tulisan yang dibentuk Locke berakhir pada bahwa
sesungguhnya yang membuat kepuasan peraturan perundang-undangan itu
menjadi adil adalah ketika menyerahkannya kepada hukum yang berasal dari
Tuhan,” tandasnya.
Permohonan yang dimohonkan sejumlah masyarakat dengan latar belakang
berbeda tersebut memohonkan uji materi Pasal 284 ayat (1) sampai ayat
(5), Pasal 285, dan Pasal 292 KUHP. Para Pemohon merasa dirugikan hak
konstitutionalnya untuk mendapatkan kepastian hukum dan perlindungan
sebagai pribadi, keluarga, dan masyarakat atas berlakunya pasal yang
mengatur mengenai perzinaan, perkosaan, dan pencabulan tersebut.
________________________
(Sumber: www.mahkamahkonstitusi.go.id)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berbicara adalah hak asasi manusia dari setiap individu, tetapi gunakan hak itu sesuai dengan peraturan yang berlaku serta budaya lokal yang membangun. Salam kasih. Admin