Kamis, 23 Februari 2017

Ahli YLBHI: Sanksi Hukum bagi LGBT Mereduksi Nilai-Nilai Agama

Peralihan dari sanksi moral menjadi sanksi hukum bagi para pelaku Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT) justru berpotensi mereduksi nilai-nilai agama. Tak hanya itu, pemindahan tersebut juga menjadi wujud ketidakpercayaan dan keraguan terhadap norma agama. Hal tersebut disampaikan oleh Koordinator Desk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan Komnas HAM Jayadi Damanik dalam sidang uji materiil Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang digelar pada Rabu (1/2) siang.

Dalam keterangannya selaku Ahli Pihak Terkait YLBHI, Damanik menjelaskan perilaku LGBT merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM) yang tergolong sebagai hak moral. Untuk itu, lanjutnya, tidak perlu dipindahkan “kedudukannya” sebagai hak hukum (norma hukum pidana).

Ia menyatakan ketidaksetujuannya terhadap pernyataan pemohon. Menurutnya, persetubuhan yang dilakukan oleh laki-laki/perempuan yang belum kawin dengan perempuan/laki-laki yang juga belum kawin merupakan hak moral. Tak hanya itu, ia beranggapan hak moral tersebut tidak untuk dikodifikasi ke dalam ranah hukum.


“Biarlah kedudukan norma tersebut berada di dalam ranah moral dan/atau ranah agama. Kehendak untuk memindahkannya ke dalam ranah moral dan/atau agama, justru sebagai wujud ketidakpercayaan atau keraguan pada norma-norma agama. Justru mereduksi peran agama dan/atau moral, padahal HAM bukan sebagai tergolong sebagai legal rights, tapi juga moral rights,” tegasnya dalam sidang perkara Nomor 46/PUU-XIV/2016 di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ketua MK Arief Hidayat tersebut.

Perlu Dibatasi
Sementara itu Pakar Hukum Tata Negara Fitra Arsil yang menjadi Ahli PERSISTRI mengemukakan diperlukan adanya pembatasan dalam KUHP terkait aturan mengenai perzinaan yang diuji para pemohon. Mengutip dari John Locke, Arsil menjelaskan pembentuk undang-undang harus mendasarkan pembentukan undang-undangnya kepada gagasan-gagasan yang lahir dari hukum kodrat atau hukum yang berasal dari Tuhan.

“Hal ini  agar hukum tersebut, menjadi hukum yang adil bagi yang melaksanakannya. Saya kira, sejak awal ide pembatasan tersebut yang kita ikuti dari setiap tulisan yang dibentuk Locke berakhir pada bahwa sesungguhnya yang membuat kepuasan peraturan perundang-undangan itu menjadi adil adalah ketika menyerahkannya kepada hukum yang berasal dari Tuhan,” tandasnya.

Permohonan yang dimohonkan sejumlah masyarakat dengan latar belakang berbeda tersebut memohonkan uji materi Pasal 284 ayat (1) sampai ayat (5), Pasal 285, dan Pasal 292 KUHP. Para Pemohon merasa dirugikan hak konstitutionalnya untuk mendapatkan kepastian hukum dan perlindungan sebagai pribadi, keluarga, dan masyarakat atas berlakunya pasal yang mengatur mengenai perzinaan, perkosaan, dan pencabulan tersebut.

________________________
(Sumber: www.mahkamahkonstitusi.go.id)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berbicara adalah hak asasi manusia dari setiap individu, tetapi gunakan hak itu sesuai dengan peraturan yang berlaku serta budaya lokal yang membangun. Salam kasih. Admin