Mgr Ivan Pereira, uskup Jammu-Srinagar memberkati seorang difabel setelah membawakan tarian di Sekolah St. Yohanes untuk anak-anak berkebutuhan khusus, yang dikelola Gereja. |
“Bila Anda memiliki anak difabel di rumah, kehidupan menjadi sulit. Saya tidak punya uang untuk mengobati dia dan semua yang saya lakukan adalah berdoa kepada Tuhan dan memohon bantuan-Nya untuk putri kecil saya,” kata Devi Sudhakar Mehar, ayahnya Devi.
Petani yang tinggal di Bisnah, sebuah desa terpencil di Negara Bagian Jammu dan Kashmir, India, mengatakan pendapatannya sehari-hari “tidak cukup untuk memberi makan bagi keluarganya.”
Tapi, bantuan datang dari Serikat Pelayanan Sosial Katolik, yang meluncurkan program rehabilitasi untuk kaum difabel, setelah Devi didiagnosis dengan polio.
Tahun 2015, “mereka membawanya ke dokter untuk operasi dan memberikan bantuan keuangan. Dia bisa berjalan sekarang dan bermain dengan anak-anak lain,” kata Meher tentang putrinya yang kini berusia 16 tahun dan bercita-cita menjadi guru.
Pastor Saiju Chacko, direktur pelayanan sosial Keuskupan Jammu-Sringar, mencakup seluruh negara bagian itu, mengatakan bahwa mereka saat ini merawat 72 anak dan berencana memperluas proyek mereka.
“Selain memberikan pendidikan, kami melakukan berbagai upaya untuk menyadarkan orang bahwa kaum difabel memiliki hak yang sama,” kata Pastor Chacko.
Negara itu memiliki sekitar 361.000 difabel (disabilitas), menurut catatan sensus, tetapi berbagai penelitian independen telah menempatkan angka dua kali lipat dari statistik pemerintah, mengklaim bahwa sekitar 120.000 dari mereka menderita cacat ortopedi. Selanjutnya, 90.000 orang menghadapi penyakit metal ringan hingga parah, kata Javed Ahmad Tak, seorang aktivis yang bekerja untuk kaum difabel.
Cacat ortopedi meningkat akibat konflik politik yang sering terjadi di negara bagian itu, di mana kelompok-kelompok Islam militan memerangi pasukan pemerintah dalam upaya bergabung dengan tetangganya Pakistan.
Jammu dan Kashmir adalah satu-satunya negara mayoritas Muslim di India dan berbatasan dengan Pakistan. Perang di perbatasan antara India dan Pakistan itu telah mencederai sejumlah warga. Distrik yang berbatasan dengan Pakistan adalah yang paling parah dan hampir setiap keluarga di sana memiliki penyandang difabel.
Tak mengklaim bahwa orang-orang ini menemukan “kesulitan untuk hidup normal” karena pemerintah “tidak melakukan cukup untuk mereka.”
“Ada kekurangan fasilitas pendidikan untuk kaum difabel di negara bagian itu dan bahkan mereka yang memenuhi syarat tidak memiliki pekerjaan. Agen-agen perekrutan mengabaikan orang-orang muda difabel,” kata Tak.
Hukum negara itu meminta semua instansi pemerintah termasuk sekolah untuk menyediakan fasilitas untuk kaum difabel seperti toilet dan sinyal pendengaran di lift.
“Ada banyak undang-undang yang berbicara tentang inklusivitas dan kesempatan yang sama, tapi pihaknya tidak dilaksanakan dengan baik,” kata Tak.
Saif Ali, koordinator program pelayanan sosial, mengatakan bahwa mereka membantu keluarga mengintegrasikan kaum difabel.
“Pembentukan dan penguatan asosiasi keluarga di pusat-pusat rehabilitasi berbasis masyarakat adalah agenda utama kami, selain mempromosikan hak-hak dasar kaum difabel,” kata Ali.
Salah satu contoh adalah kasus Sunny Ram, yang lahir dengan cacat di kaki kirinya. Orangtuanya memutuskan menolak dia bersekolah karena mereka takut anak mereka akan dianiaya atau diganggu.
“Kami ingin dia bersekolah, tapi tidak punya uang untuk mengobati dia. Itu kemudian bahwa pelayanan sosial Gereja datang membantu,” kata Ram Chandra, ayah Sunny.
Layanan sosial mengambil Sunny di New Delhi di mana ia menjalani operasi pada kakinya. Sunny berusia 10 tahun sekarang pergi ke sekolah dan Gereja mensponsori pendidikkannya, kata Ali.
Asisten direktur Serikat Pelayanan Sosial Katolik Pastor Prem Tigga mengatakan bahwa program mereka menekankan bahwa penyandang difabel tidak harus diperlakukan sebagai tabu dan meskipun keterbatasan mereka, mereka dapat memberikan kontribusi kepada masyarakat.
“Kami ingin membawa orang tersebut ke dalam arus utama masyarakat,” kata Pastor Tigga.
Sumber: ucanews.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berbicara adalah hak asasi manusia dari setiap individu, tetapi gunakan hak itu sesuai dengan peraturan yang berlaku serta budaya lokal yang membangun. Salam kasih. Admin