Ajaran Gereja Katolik mengenai
hukuman mati mengalami perkembangan dalam proses yang sangat panjang. Beberapa
kutipan berikut ini dapat menjelaskan perkembangan dan perubahan ajaran Gereja
Katolik mengenai hukuman mati itu:
A. Beberapa kutipan dari jaman
lampau ketika Gereja Katolik menerima hukuman mati :
- Surat Paus Innocensius III kpeada Uskup Agung Tarragonta, mengenai rumus pengakuan iman yang diwajibkan bagi para pengikut P. Waldo. Pada tahun 1210 dikatakan, “Kuasa sipil dapat, tanpa dosa berat, melaksanakan pengadilan darah, asalkan mengadili dengan adil, tidak karena benci, dengan arif, tidak tergesa-gesa”.
- Katekismus Romawi yang diterbitkan berdasarkan dekret Konsili Trente (1566) : Bentuk lain pematian sah merupakan wewenang otoritas sipil yang diserahi kuasa atas hidup dan mati; dengan pelaksanaan legal dan yudisial mereka menghukum orang bersalah dan melindungi orang tak bersalah. Penggunaan adil atas kuasa ini, jauh dari kejahatan pembunuhan, adalah perbuatan ketaatan tertinggi terhadap perintah yang melarang pembunuhan. Tujuan perintah ini ialah pemeliharaan dan keamaan hidup manusia. Ada pun hukuman yang dijatuhkan otoritas sipil yang adalah pembalas legitim kejahatan, menurut kodratnya mengarah kepada tujuan ini, karena memberi keamanan kepada hidup dnegan menekan kegusaran dan kekerasan. Maka kata-kata Daus : di pagi hari aku mematikan semua orang jahat di negeri, agar aku dapat memotong semua pelaku kejahatan dari kota Tuhan….
Kesimpulan : pada tahap perkembangan
ini Gereja Katolik menerima hukuman mati.
B. Beberapa kutipan dari ajaran
Gereja yang paling baru mengenai hukuman mati : mulai dengan menerima dengan
syarat sampai menolak.
- Katekismus Gereja Katolik (11 Agustus 1992) menyatakan : Untuk menjaga kepentingan umum masyarakat diperlukanupaya untuk membuat penyerang tak mampu merugikan. Karena itu ajaran tradisional Gereja mengakui dan mendasari hak dan kewajiban otoritas publik yang legitim untuk menghukum penjahat dengan hukuman yang setimpal dengan beratnya kejahatan, tak terkecuali dalam kasus yang amat berat, hukuman mati. Dengan alasan-alasan analog, mereka yang mengemban otoritas mempunyai hak untuk, dengan kekerasan senjata melawan penyerang bersenjata yang melawan masyarakat yang menjadi tanggungan pengemban otoritas itu. Efek pertama hukuman ialah memperbaiki kekacauan yang disebabkan pelanggaran. Bila hukumannya diterima dengan sukarela oleh pelanggar, maka ada nilai silih. Selain itu hukuman mengakibatkan pemeliharaan tatatan publik dan keamanan orang. Akhirnya, hukuman juga merupakan pengobatan; sejauh mungkin hukuman harus merupakan bantuan untuk perbaikan diri pelanggar (No 2266).
Bila sarana tak berdarah cukup untuk
membela hidup manusia melawan penyerang dan untuk melindungi tatanan publik dan
keamanan orang, otoritias publik hendaknya membatasi diri dengan mempergunakan
sarana seperti itu, karena lebih sesuai dengan kondisi konkret kepentingan umum
dan lebih selaras dengan martabat manusia (No 2267).
Kesimpulan: Menurut Katekismus ini,
hukuman mati diperbolehkan dalam kasus-kasus yang sangat parah kejahatannya.
Namun, apabila terdapat cara lain untuk melindungi masyarakat dari penyerang
yang tidak berperi-kemanusiaan, cara-cara lain ini lebih dipilih daripada
hukuman mati karena cara-cara ini dianggap lebih menghormati harga diri seorang
manusia dan selaras dengan tujuan kebaikan bersama (bdk KGK 2267). Di sini
terjadi peralihan pandangan Gereja tentang konsep hukuman mati
Dalam ensiklik Evangelium Vitae yang
diterbitkan tahun 1995, Paus Yohanes Paulus II menghapuskan status persyaratan
untuk keamanan publik dari hukuman mati ini dan menyatakan bahwa, dalam
masyarakat modern saat ini, hukuman mati tidak dapat didukung keberadaannya.
Berikut kutipannya: “Jelaslah bahwa untuk pencapaian tujuan ini (=melindungai
masyarakat), hakikat dan lingkup hukuman harus dinilai dan diputuskan dengan
seksama, dan tak perlu terlalu jauh sampai melaksanakan eksekusi mati bagi pelanggar
kecuali dalam kasus-kasus yang mutlak perlu; dengan kata lain, bila mustahil
dengan cara lain melindungi masyrakat. Namun dewasa ini sebagai hasil perbaikan
terus-menerus dalam penataan sistem pidana, kasus demikian amat jarang, kalau
tidak praktis tidak ada” (No 56). Dengan demikian Gereja Katolik tidak
mendukung hukuman mati.
D. Intervensi Pengamat Tetap Takhta
Suci di Perserikatan Bangsa-Bangsa di depan Komite Penghapusan Hukuman Mati (2
Novenber 1999). Beberapa bagian dari intervensi adalah sebagai berikut : Maka
dari itu posisi Takhta Suci ialah agar otoritas harus membatasi diri, bahkan
untuk kejahatan yang paling serius, dengan menggunakan sarana hukuman yang
tidak mematikan, karena sarana-sarana ini ‘lebih sesuai untuk memelihara
kepentingan umum dan lebih selaras dengan martabat manusia’ (KGK 2267). Dewasa
ubu begara-negara dapat memakai kemungkinan-kemungkinan baru untuk ‘secara
efektif mencegah kejahatan, dengan membuat orang yang telah melakukan
pelanggaran tak mampu merugikan – tanpa secara definitif merenggut darinya
kemungkinan menebus dirinya (Evangelium Vitae 56). …. Perkenankanlah saya
mengatakannya dengan jelas, setiap orang yang hidupnya diakhiri di kamar gas,
dengan penggantungan, dengan injeksi yang mematikan atau oleh komando penembak,
adalah seorang dari kita – manusia, saudara atau saudari, betapa pun kejamnya
dan tak manusiawi nampaknya tindakannya ….Pada fajar milenium baru, pantaslah
umat manusia menjadi lebih manusiawi dan kurang kejam. Pada akhir abad yang
telah melihat kekejaman yang tak terperikan melawan martabat manusia dan
hak-haknya yang tak terganggu-gugat, memberikan perhatian serius terhadap
penghapusan hukuman mati akan menjadi prakarsa yang pantas dicatat bagi umat
manusia ….. Diskusi tentang pembatasan dan penghapusan hukuman mati menuntut
dari negara-negara kesadaran baru tentang kesucian hidup dan hormat yang patut
diterimanya. Diperlukan keberanian untuk mengatakan “tidak” kepada setiap jenis
pematian, dan diperlukan kemurahan hati untuk memberi kepada pelaku kejahatan
yang terbesar sekali pun kesempatan untuk menghayati hidup yang dibarui dengan
penyembuhan dan pengampunan. Dengan melakukan hal itu pastilah akan
berkembangan perikemanusiaan yang lebih baik.
E. Pernyataan yang paling baru
adalah surat yang disampaikan oleh Paus Fransiskus kepada Komisi Internasional
Penghapusan Hukuman Mati, pada tanggal 20 Maret 2015. Berikut beberapa kutipan
dari surat itu : Secara pribadi saya sangat menghargai komitmen Anda semua
untuk membangun dunia yang bebas dari hukuman mati dan usaha Anda untuk
diberlakukannya moratorium eksekusi mati di seluruh dunia dan akhirnya
penghapusan hukuman mati …. Magisterium Gereja, mulai dari Kitab Suci dan dari
pengalaman sejarah Umat Allah selama ribuan tahun, membela hidup sejak saat perkandungan
sampai kematian natural dan menjunjung tinggi martabat manusia sebagai citra
Allah (Kej 1:26). Hidup manusia adalah suci karena sejak awal hidup manusia
merupakan buah karya penciptaan Allah (KGK 2258) dan sejak saat pembuahan itu,
manusia … satu-satunya makhluk yang dikehendaki Tuhan demi dirinya sendiri,
adalah pribadi yang menerima kasih Allah secara pribadi (GS 24). … Hidup,
khususnya hidup manusia adalah milik Allah saja. Bahkan seorang pembunuh tidak
kehilangan martabatnya yang dijamin oleh Allah. Allah tidak menghukum Kain
dengan pembunuhan, karena Ia lebih ingin pendosa bertobat daripada mati
(Evangelium Vitae 9). … Dalam kasus-kasus tertentu, pembelaan diri dapat
dibenarkan, juga kalau pembelaan diri itu berakibat pada terbunuhnya penyerang (Evangelium
Vitae 55). Tetapi prinsip pembelaan diri pribadi ini tidak dapat ditrapkan pada
tingkat sosial. Maksudnya, ketika hukuman mati diterapkan, orang dibunuh tidak
ketika dia menyerang, tetapi dia dibunuh karena kesalahan yang dilakukan di
masa lalu. … Sekarang ini hukuman mati tidak bisa diterima, seperti apapun
kejahatan orang yang dijatuhi hukuman.
Hukuman mati mencederai prinsip hak
hidup yang tidak bisa diganggu-gugat dan martabat pribadi manusia. Hukuman mati
melawan rencana Allah terhadap manusia dan masyarakat dan juga keadilan-Nya
yang penuh kerahiman, dan tidak sesuai dengan tujuan hukuman yang adil. Hukuman
mati tidak memperlakukan korban dengan adil, tetapi bernada pembalasan … Bagi
negara hukum, hukuman mati mencerminkan kegagalan, karena mewajibkan negara
membunuh atas nama keadilan.
Keadilan tidak pernah tercapai dengan membunuh
manusia … Hukuman mati kehilangan seluruh legitimasi karena karena tidak
sempurnanya pemilihan sistem keadilan kriminal dan karena kemungkinan kesalahan
pengadilan. Keadilan manusia tidaklah sempurna, dan ketidakmampuan mengakui
ketidaksempurnaan ini dapat menjadikannya sumber ketidak-adilan. Dengan
diberlakukannya hukuman mati, orang yang dihukum tidak diberi kesempatan untuk
membuat silih dan bertobat dari perbuatannya yang merugikan; tidak diberi
kesempatan untuk mengakui kesalahan yang merupakan ungkapan peribatan batinnya.
… Hukuman mati bertentangan dengan kemanusiaan dan kerahiman Allah, yang harus
menjadi model keadilan manusiawi. Hukuman mati menyengsarakan manusia yang
diperlakukan secara kejam (perasaan ketika menunggu eksekusi dst.)
… Sekarang
ini ada banyak cara untuk menghadapi kejahatan tanpa meniadakan kesempatan bagi
penjahat untuk membaharui diri (Evangelium Vitae 27), tetapi juga kepekaan
moral yang semakin tinggi mengenai nilai hidup manusia, yang menguatkan
pendapat umum yang semakin mendukung penghapusan hukuman mati atau moratiorium
terhadapnya (Kompendium Ajaran Sosial Gereja No 405). … Dan seperti yang saya
sampaikan, hukuman mati secara langsung melawan perintah kasih kepada musuh
sebagaimana disampaikan dalam Injil. Oleh karena itu semua orang kristiani dan
yang berkehendak baik, dipanggil untuk berjuang demi penghapusan hukuman mati
legal atau ilegal – dan bukan itu saja, tetapi juga berjuang untuk memperbaiki
kondisi penjara demi hormat terhadap martabat manusia.
F. Kesimpulan : 1. Dari kutipan-kutipan itu jelas, bahwa pandangan atau
ajaran Gereja Katolik mengenai hukuman mati, berkembang dan pada akhirnya
berubah; 2. Perubahan pandangan ini berkaitan dengan kesadaran diri manusia dan
pengalamannya akan Allah. Ini amat jelas dalam Kitab Suci : dalam Perjanjian
Lama ada hukum pembalasan yang setimpal “Gigi ganti gigi, mata ganti mata”.
Pembalasan yang setimpal ini sudah lebih maju dibandingkan dengan hukum
pembalasan yang lebih berat daripada yang diterima “Kepala ganti gigi”. Dalam
Perjanjian Baru, ketika Allah semakin dialami sebagai Sang Kasih, hukum
pembalasan setimpal diganti secara radikal dengan Hukum Kasih. Ajaran Gereja
Katolik mengenai hukuman mati mengalami perkembangan dan akhirnya perubahan
yang radikal seperti itu.
+ Mgr. I. Suharyo
(Sumber: www.kaj.or.id)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berbicara adalah hak asasi manusia dari setiap individu, tetapi gunakan hak itu sesuai dengan peraturan yang berlaku serta budaya lokal yang membangun. Salam kasih. Admin