Jumat, 10 Februari 2017

Kisah Siti Asiyah Beri Restu Anaknya Jadi Pastor Katolik

Siti Asiyah (berjilbab) dalam barisan menuju upacara pemberkatan para diakon, Sabtu (10/10).
© Istimewa /via Facebook Umberto Verbita
Ibu itu bernama Siti Asiyah. Sebagai muslimah, Asiyah mengenakan jilbab hitam, di tengah barisan menuju upacara pemberkatan para diakon, salah satu jabatan imamat dalam gereja katolik.

Hari itu (10/10/2015), anak Asiyah, Pater Robertus Belarminus Asiyanto, menjadi salah satu dari 11 orang yang ditahbiskan menjadi diakon oleh Uskup Agung Ende, Mgr. Vincentius Sensi Potokota, Pr.

Laiknya seorang ibu yang bangga pada pencapaian sang anak. Ada rasa haru tersirat dalam matanya yang berkaca-kaca. Asiyah turut menaruh tangannya di kepala Pater, sebagai perlambang restu.

Peristiwa ini berlangsung di seminari St. Paulus Ledalero, Maumere, NTT, Sabtu (10/10/2015)
Pos Kupang memuat kabar dan foto Asiyah bersama Pater di halaman depan edisi Minggu, 11 Oktober 2015. Siti Asiyah Senang Anaknya Jadi Pastor, demikian judul surat kabar lokal yang berafiliasi dengan grup Kompas Gramedia itu.

Cerita soal Asiyah dan Pater mula-mula tersebar di Facebook. Salah satunya, lewat akun Facebook Umberto Verbita, Sabtu (10/10). Ia menyebut peristiwa ini sebagai, "pengalaman dialog keagamaan yang sangat mendalam".

"Untuk pertama kalinya dalam sejarah Ledalero, ibu Siti, ibu dari Imam Baru, P. RB Asiyanto, SVD adalah seorang muslimah. Dia sendiri yang menghantar anaknya ini ke altar untuk ditahbiskan menjadi imam Katolik," demikian petikan status Umberto.

Sampai artikel ini ditulis (12/10), status itu telah meraih ratusan tanda suka, dibagi hingga 86 kali. Ia juga turut membagi foto halaman depan Pos Kupang yang memuat kabar ini.
Saat dikonfirmasi Beritagar.id, Umberto menjelaskan posisinya sebagai pastor Gereja Katolik asal

Flores. Ia juga menjadi salah satu pendamping bagi Pater dan kawan-kawannya yang baru saja diangkat sebagai diakon.

"Kami di NTT hidup berdampingan dan toleran satu sama lain. Saya juga punya keluarga muslim. Di sini, pertalian keluarga dan darah itu jauh lebih kuat dari agama," jelas Umberto soal konteks kehidupan beragama di NTT.


Terpisah puluhan tahun
Dilansir Pos Kupang (via TribunNews), tiga puluh lima tahun lalu (1980), Siti Asiyah, dan suaminya Radi meninggalkan Mojokerto, Jawa Timur. Mereka merantau ke Manggarai, NTT.

Radi dan Asiyah, membuka warung kecil-kecilan. Seiring waktu, Radi, ayah dari Pater, pergi meninggalkan mereka entah ke mana. Sepeninggal Radi, Pater dan adiknya Aryanti Gabriela diangat menjadi anak oleh almarhum Yohanes Jeheman.

Adapun ibunya--berbekal keterampilan memasak--bekerja di Rumah Sakit Santo Rafael Cancar, Manggarai, NTT. Namun tak berlangsunng lama, Asiyah memutuskan kembali ke Mojokerto.

Kepada Pos Kupang, Pater Yanto mengisahkan, dirinya menjadi Katolik sejak kelas III di SMP Negeri Cancar. "Tidak pernah sedikit pun penolakan dari ibu. Ibu sangat mendukung," ujar Pater.

Ia menyelesaikan studi Teologi tahun 2015 di STFK Ledalero dan S1 filsafat tahun 2010 di STFK Ledalero. Pater juga merupakan alumni SMAK St. Ignasius Loyola Labuan Bajo (2004), SMPN Cancar, SDK Cancar 1, dan TK Bunda Maria Fatima Cancar.

Turut pula diceritakan, Asiyah bahkan sempat stres saat Pater memutuskan istirahat sejenak dan menunda tahbis menjadi pastor.

"Mau bilang apa, itu panggilannya. Tanya dia (Pater Yanto), waktu dia tunda (menjadi pastor) tahun lalu, saya sempat stres dan menangis," tutur Asiyah. (www.beritagar.id)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berbicara adalah hak asasi manusia dari setiap individu, tetapi gunakan hak itu sesuai dengan peraturan yang berlaku serta budaya lokal yang membangun. Salam kasih. Admin