Sumber gambar: Stefano Spaziani Images |
Berdasarkan pengamatan saya, kini hampir sebagian besar umat tampaknya tidak lagi memperlihatkan penghormatan kepada Tubuh Kristus setiap kali mereka hendak menyambut-Nya. Mereka berjalan ke depan, namun tidak dengan tangan terkatup di depan dada; ketika imam berkata “Corpus Christi” atau “Tubuh Kristus”, umat tidak menundukkan kepala untuk menghormati Dia yang hendak disambutnya; ada juga yang setelah menerima Komuni di tangan, bukannya segera memakan Komuni itu melainkan membawanya ke tempat duduk—seakan-akan seperti membawa roti biasa—lalu memakannya, atau bisa jadi malah memberikannya kepada anaknya yang sebenarnya belum siap untuk menyambut Komuni. Kasus lebih parah ialah ketika Hosti dibuang di tempat sampah, ada pula Hosti yang ditempel di bawah bangku Gereja dengan permen karet.
St. Agustinus berkata: “Janganlah kita memakan daging ini [maksudnya Hosti] tanpa menyembahnya terlebih dahulu. Kita berdosa bila kita tidak menyembahnya” (Enarrationes in Psalmos, 98, 9). Penerimaan Komuni mengharuskan kita memiliki disposisi yang benar sebelum kita menyambutnya. Kita juga harus mengingat pentingnya kesatuan antara sikap batin dan sikap lahiriah: antara apa yang ada dalam hati dengan perbuatan kita; Hosti yang diberikan imam harus segera dimakan, bukannya dibawa ke tempat duduk atau diberikan kepada anak atau orang lain. Cinta dan rasa hormat terhadap Ekaristi itu tidak hanya diucapkan di bibir atau dalam hati saja, melainkan harus terungkap dalam sikap tubuh, terutama bila kita hendak menyambutnya: menundukkan kepala, berlutut, sikap tangan terkatup di depan dada … kondisi berahmat dan sikap tubuh demikian membantu kita untuk menyembah Allah dengan lebih baik, dan kurangnya hal tersebut tentu membuat kita mempertanyakan apakah Kristus yang hadir dalam Ekaristi sungguh dihormati.
Hal yang lebih parah ialah bahwa ada seseorang yang tidak pernah ke gereja selama bertahun-tahun, dan hanya menghadiri Misa saat Paskah dan Natal saja—tanpa mengaku dosa—namun dengan santai dan tanpa beban, mereka berani melangkah maju untuk menerima Komuni.
Saya hendak mengatakan sebuah kebenaran yang dapat mengganggu suara hati anda, yaitu kalian yang berani menerima Komuni sekalipun padahal sudah tidak ke gereja selama bertahun-tahun: Ketahuilah bahwa tidak menghadiri Misa Minggu secara serius merupakan dosa berat, karena ini merupakan pelanggaran terhadap Perintah Tuhan untuk menguduskan hari Tuhan; dan menerima Ekaristi dalam keadaan berdosa berat berarti sama dengan melakukan dosa berat lainnya yaitu dosa sakrilegi. Konsekuensi dosa berat yang tidak disesali adalah api neraka, itu bila kalian meninggal tanpa sempat menyesali dosa-dosa kalian. St. Agustinus mengingatkan kita:
Aku tahu beberapa dari kalian akan berkata: “Apa yang ingin dikatakannya pada kita? Ia menakut-nakuti kita… membuat kita bersalah.” Sebaliknya, aku ingin membebaskan kamu dari rasa bersalah… Tuhanlah yang mengancam orang fasik, orang jahat, bajingan, penipu, pezinah, pencari kenikmatan, mereka yang mengabaikan Dia … dan tidak mau memperbaiki hidup mereka, dengan kematian. Tuhanlah yang mengancam mereka dengan kematian, neraka, dan kehancuran kekal. (Sermon 339)Banyaknya perbuatan baik yang anda lakukan tidak dapat menyelamatkan kalian, tidak membebaskan kalian dari dosa, kalau kalian tidak mau menyesali dosa dan memohon ampun, melainkan hanya menjalani hidup berdasarkan keinginan dan pemikiran kalian dan bukan berdasarkan pada hukum dan kehendak Allah. Sebagaimana dikatakan St. Agustinus:
Aku mengakui pelanggaranku, kata Daud. Bila aku mengakui kesalahanku, maka Engkau akan mengampuninya. Jangan pernah kita beranggapan bahwa bila kita menjalani hidup yang baik, maka kita akan tanpa dosa; hidup kita seharusnya menjadi pujian hanya ketika kita terus memohon pengampunan. Tetapi manusia itu adalah ciptaan yang tak memiliki harapan, semakin mereka kurang memperhatikan dosa mereka, semakin mereka tertarik dalam dosa orang lain. Mereka hendak mengkritik, bukan mengkoreksi. Tidak mampu berdalih atas diri mereka, maka mereka siap menuduh orang lain. Ini bukanlah cara berdoa dan menebus kesalahan kepada Tuhan, seperti yang diperlihatkan Daud… Daud tidak memperhatikan dosa orang lain; ia mengarahkan pikirannya kepada dirinya sendiri. Ia tidak hanya menyentuh permukaan, tetapi ia terjun ke dalam dan melompat ke dalam dirinya sendiri. Ia tidak menyelamatkan dirinya, dan oleh karena itu tidaklah lancang baginya untuk meminta diselamatkan. (Sermon 19)Seandainya anda tidak tahu tentang kewajiban menghadiri Misa Minggu, maka apa yang anda lakukan tidak termasuk dosa berat. Namun, apabila anda membaca tulisan saya ini namun masih berani memutuskan untuk tidak mengubah hidup anda, bila anda memutuskan untuk tidak mengakui dosa-dosa anda dalam Sakramen Tobat, bila anda tetap memutuskan untuk datang ke Misa pada Natal dan Paskah saja dan berani menerima Komuni, maka anda sungguh membahayakan keselamatan jiwa anda.
Ingatlah bahwa Allah itu tidak hanya berbelas kasih, melainkan juga adil. Ia ada dan terus mengawasi anda di setiap kehidupan anda. Ketika anda meninggal nanti, maka Tuhanlah yang menjadi hakim anda, bukan saya. Ketika Tuhan menghakimi anda, maka tidak akan ada lagi yang tersembunyi: semua yang tersembunyi dalam hati anda akan dinyatakan di hadapan anda, dan ketika itu terjadi, maka pertobatan tidaklah mungkin.
Ingatlah bahwa kehidupan yang anda miliki sekarang ini, adalah waktu yang Tuhan berikan untuk pertobatan anda: kehidupan anda saat ini adalah karunia belas kasih Tuhan kepada anda. Tuhan memberikan pengampunan bagi mereka yang mau bertobat, Tuhan ingin anda kembali kepada-Nya dan menjalani hidup seturut ajaran dan hukum-Nya, karena hanya dengan cara demikianlah maka manusia dapat sungguh berbahagia. Jangan menunda-nunda berbalik kepada Tuhan, jangan kautangguhkan dari hari ke hari (Sir 5:7); demikianlah firman Tuhan ALLAH, Aku tidak berkenan kepada kematian orang fasik, melainkan Aku berkenan kepada pertobatan orang fasik itu dari kelakuannya supaya ia hidup. Bertobatlah, bertobatlah dari hidupmu yang jahat itu! (Yeh 33:11).
____________________
Kurangnya penghormatan terhadap Ekaristi ini, menurut saya, bisa berasal dari tiga faktor.
Pertama, ada kemungkinan bahwa bacaan Misa Novus Ordo untuk Hari Raya Tubuh dan Darah Tuhan, berkontribusi terhadap menurunnya penghormatan terhadap Ekaristi. Bacaan kedua Misa Corpus Christi diambil dari 1Kor. 11:23-26. Kita patut bertanya mengapa ayat 27-29 tidak dimasukkan dalam bacaan Misa Novus Ordo (ayat tersebut terdapat dalam bacaan Misa Tridentine utnuk Hari Raya Corpus Christi):
Jadi barangsiapa dengan cara yang tidak layak makan roti atau minum cawan Tuhan, ia berdosa terhadap tubuh dan darah Tuhan. Karena itu hendaklah tiap-tiap orang menguji dirinya sendiri dan baru sesudah itu ia makan roti dan minum dari cawan itu. Karena barangsiapa makan dan minum tanpa mengakui tubuh Tuhan, ia mendatangkan hukuman atas dirinya. (1Kor. 11:27-29)Teguran St. Paulus ini tetap berlaku bagi kita, yaitu bahwa kita harus memantaskan diri untuk menyambut Tubuh dan Darah Tuhan. Secara tradisional, perkataan St. Paulus ini selalu digunakan Gereja untuk menekankan pentingnya kondisi berahmat—yakni kondisi jiwa yang terbebas dari dosa berat—dalam menyambut Ekaristi. Bila ayat yang sedemikian penting ini saja “dibuang” dari liturgi, bagaimana mungkin para imam kita dapat mewartakan kebenaran ini?
Kondisi berahmat merupakan salah satu bagian dari partisipasi aktif dalam liturgi, namun sayangnya, imam dan umat tidak menyadari hal ini dan mereduksi partisipasi aktif sebagai sesuatu yang hanya dilakukan umat saja, yang sifatnya lahiriah.
Jadi, bila anda berada dalam keadaan berdosa berat, mengaku dosalah terlebih dahulu dalam Sakramen Tobat. Jangan menyambut Komuni bila anda belum membersihkan dosa berat dari dalam jiwa anda. Hendaknya kita mengingat himne Lauda Sion yang disusun St. Thomas Aquinas, yang biasanya juga dinyanyikan dalam Misa Hari Raya Corpus Christi:
Sumunt boni, sumunt mali:Kedua, hilangnya kesadaran dan pewartaan akan dosa, jenis-jenis dosa (dosa berat dan dosa ringan), serta konsekuensinya, merupakan salah satu faktor penting dalam berkurangnya rasa hormat terhadap Ekaristi. St. Yohanes Paulus II menganalisa hilangnya kesadaran akan dosa ini dalam anjuran apostoliknya Reconciliation and Penance, yang tampaknya telah dilupakan dan tidak diketahui banyak orang. Saya kutip sebagian saja:
sorte tamen inaequali,
vitae vel interitus.
Mors est malis, vita bonis:
vide paris sumptionis
quam sit dispar exitus.
Orang baik maupun orang fasik
sama-sama menyantapnya,
namun berakhir amat berbeda:
binasa bagi yang fasik, hidup bagi yang baik;
lihat, keduanya sama-sama menerima,
namun sungguh tak serupa hasilnya!
Even in the field of the thought and life of the church certain trends inevitably favor the decline of the sense of sin. For example, some are inclined to replace exaggerated attitudes of the past with other exaggerations: From seeing sin everywhere they pass to not recognizing it anywhere; from too much emphasis on the fear of eternal punishment they pass to preaching a love of God that excludes any punishment deserved by sin; from severity in trying to correct erroneous consciences they pass to a kind of respect for conscience which excludes the duty of telling the truth. And should it not be added that the confusion caused in the consciences of many of the faithful by differences of opinions and teachings in theology, preaching, catechesis and spiritual direction on serious and delicate questions of Christian morals ends by diminishing the true sense of sin almost to the point of eliminating it altogether? Nor can certain deficiencies in the practice of sacramental penance be overlooked. These include the tendency to obscure the ecclesial significance of sin and of conversion and to reduce them to merely personal matters; or vice versa, the tendency to nullify the personal value of good and evil and to consider only their community dimension. There also exists the danger, never totally eliminated, of routine ritualism that deprives the sacrament of its full significance and formative effectiveness. (no. 18)St. Yohanes Paulus II memperlihatkan adanya penekanan yang berat sebelah: dari penekanan yang berlebihan akan hukuman abadi, orang mewartakan kasih Allah yang sama sekali tidak menghukum dosa; dari dosa yang terlihat di mana-mana hingga tidak mengakui dosa di manapun, dari keseriusan dalam mengoreksi suara hati yang keliru hingga munculnya rasa hormat terhadap suara hati yang meniadakan kewajiban untuk mengatakan kebenaran. Belum lagi ditambah dengan kekacauan dalam teologi, pewartaan, katekese dan bimbingan rohani, yang mana adanya perbedaan pengajaran yang membuat suara hati seseorang menjadi keliru, dst.
Ketiga, sudah diketahui sebagian besar umat bahwa kita memiliki kewajiban mengaku dosa sebanyak dua kali dalam setahun. Namun sesungguhnya, terdapat keterpisahan antara Misa dan praktik pengakuan dosa, sehingga jarang sekali kita lihat adanya imam yang menyediakan diri di ruang pengakuan.
Ketika pengakuan dosa tidak lagi dipandang sebagai persiapan untuk berpartisipasi dalam liturgi, maka hal ini akan berkontribusi dalam bertambahnya jumlah orang-orang yang menyambut Komuni secara tidak layak. Ketika dosa dan pertobatan yang sejati tidak lagi diwartakan—entah melalui homili atau katekese lainnya—maka semakin banyaklah orang yang yang hidup dalam kegelapan; mereka berpikir bahwa hidup mereka baik dan bahagia, padahal kebahagiaan sejati tidak dapat ditemukan dalam kehidupan yang dipenuhi dosa. Saya pernah menulis artikel berjudul Memulihkan Makna Dosa dan Sakramen Tobat, yang membahas tentang pentingnya serta manfaat mengaku dosa secara teratur.
Praktik pengakuan dosa secara teratur dapat membantu kita menyadarkan akan makna pertobatan sejati, sebagaimana dijelaskan St. Yohanes Paulus II dalam anjuran apostolik Reconciliation and Penance: mengakui dosa-dosa kita, melepaskan diri dari dosa-dosa, dan melakukan silih secara konkret dengan menyesali dosa dan mengambil sikap bertobat yang nyata, semuanya ini berperan dalam pertobatan sejati, dalam perjalanan pulang menuju Allah:
To acknowledge one’s sin, indeed-penetrating still more deeply into the consideration of one’s own personhood-to recognize oneself as being a sinner, capable of sin and inclined to commit sin, is the essential first step in returning to God. For example, this is the experience of David, who “having done what is evil in the eyes of the Lord” and having been rebuked by the prophet Nathan,(58) exclaims: “For I know my transgressions, and my sin is ever before me. Against you, you alone, have I sinned and done what is evil in your sight.”(59) Similarly, Jesus himself puts the following significant words on the lips and in the heart of the prodigal son: “Father, I have sinned against heaven and before you.”(60)Nah, sebentar lagi Gereja akan merayakan hari raya Corpus Christi. Apa yang bisa kita lakukan, agar perayaan iman ini sungguh menghasilkan buah rohani bagi kita, sungguh menguduskan kita? Artikel selanjutnya akan membahas tentang penghormatan terhadap Ekaristi Suci, khususnya tentang cara menerima Komuni di lidah sambil berlutut.
In effect, to become reconciled with God presupposes and includes detaching oneself consciously and with determination from the sin into which one has fallen. It presupposes and includes, therefore, doing penance in the fullest sense of the term: repenting, showing this repentance, adopting a real attitude of repentance- which is the attitude of the person who starts out on the road of return to the Father. This is a general law and one which each individual must follow in his or her particular situation. For it is not possible to deal with sin and conversion only in abstract terms.
In the concrete circumstances of sinful humanity, in which there can be no conversion without the acknowledgment of one’s own sin, the church’s ministry of reconciliation intervenes in each individual case with a precise penitential purpose. That is, the church’s ministry intervenes in order to bring the person to the “knowledge of self”-in the words of St. Catherine of Siena(61)-to the rejection of evil, to the re-establishment of friendship with God, to a new interior ordering, to a fresh ecclesial conversion. Indeed, even beyond the boundaries of the church and the community of believers, the message and ministry of penance are addressed to all men and women, because all need conversion and reconciliation.(62)
(Sumber: luxveritatis7.wordpress.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berbicara adalah hak asasi manusia dari setiap individu, tetapi gunakan hak itu sesuai dengan peraturan yang berlaku serta budaya lokal yang membangun. Salam kasih. Admin