“Tidaklah mengejutkan bila saya berkata bahwa, pertama-tama, kita harus memeriksa kualitas dan kedalaman formasi liturgis kita, bagaimana cara kita membantu klerus, religius, dan umat beriman awam dalam meresapi semangat dan daya liturgi.”— Kardinal Sarah
Di dalam Misa terkadang dijumpai adanya tepuk tangan. Beberapa mengatakan tidak masalah bila umat bertepuk tangan dalam misa, namun beberapa yang lain berkeberatan. Nah, saya termasuk pihak yang tidak setuju bila tepuk tangan dilakukan saat Misa, apapun alasannya.
Namun anda bisa bertanya,”Apa kata dokumen Gereja tentang tepuk tangan?” Sejauh yang saya ketahui tidak ada dokumen yang mendukung ataupun menolak secara spesifik tentang hal tersebut. Oleh karena itu, kita harus mempertimbangkan dengan seksama dan penuh kebijaksanaan tentang hal ini. Btw, saya menemukan tulisan Cardinal Joseph Ratzinger (sekarang Paus Benediktus XVI) dalam bukunya The Spirit of the Liturgy p. 198 :
“Setiap kali tepuk tangan terjadi di tengah liturgi yang disebabkan oleh semacam prestasi manusia, itu adalah tanda yang pasti bahwa esensi liturgi telah secara total hilang, dan telah digantikan dengan semacam pertunjukan religius.”
Kapan momen tepuk tangan dilakukan saat Misa? Saat sebuah koor menyanyikan lagu yang bagus, biasanya saat lagu pengantar Komuni, pernah saya melihat banyak umat bertepuk tangan. Ataupun mungkin dalam Misa dimana umat diajak untuk bertepuk tangan sambil bernyanyi. Kapanpun tepuk tangan terjadi karena suatu performa telah dilakukan dalam Perayaan Ekaristi, maka Misa telah menjadi sebuah entertainment rohani. Dan ini merupakan sebuah pelanggaran terhadap Liturgi.
Selain itu, Cardinal Arinze juga berkata demikian:
“Ketika kita menghadiri Misa kita tidak datang untuk bertepuk tangan. Kita tidak datang untuk menonton orang-orang, ataupun menghormatinya. Kita ingin menyembah Allah, mengucap syukur kepada-Nya, meminta Ia mengampuni dosa kita, dan meminta kepada-Nya apa yang kita butuhkan”
Menyembah, mengucap syukur, memohon ampun dan meminta apa yang kita butuhkan. Inilah yang menjadi prioritas kita menghadiri Misa, bukan yang lain.
Ada pihak yang mendukung tepuk tangan, dengan alasan Mazmur. (47-2) “Hai segala bangsa, bertepuktanganlah, elu-elukanlah Allah dengan sorak-sorai!” Ada juga yang berkata “Kalau begitu tidak masalah kalau kita bertepuk tangan di luar Misa, toh ini dilakukan bukan karena pencapaian manusia, tapi untuk menghormati dan menyembah Allah”.
Kepada mereka yang menggunakan alasan dari Kitab Mazmur tersebut, saya ingin berkata : Seseorang harus menafsirkan Kitab Suci dalam terang ajaran Gereja. Tidak bisa hanya dengan mengutip kitab suci, lalu kita membenarkan suatu tindakan untuk dimasukkan dalam Misa. Kita tidak punya otoritas untuk menambahkan ataupun mengurangi hal-hal tentang Misa.
Mengenai tepuk tangan yang dilakukan untuk menyembah ataupun menghormati Allah dalam konteks Mazmur, sejauh yang saya ketahui bahwa ada gerakan, tarian, atau mungkin tepuk tangan dalam suatu budaya, dimana ekspresi gerakan, tarian, dan tepuk tangan tersebut memang merupakan ekspresi dan pemujaan terhadap Allah (Jawaban saya kutip dari teman saya yang sangat memahami Liturgi).
Nah, apakah di Indonesia juga demikan? Saya cukup yakin jawabannya adalah tidak, karena setahu saya tepuk tangan itu dilakukan untuk memberikan apresiasi terhadap suatu performa, memberikan dukungan, atau tepuk tangan merupakan bagian dari sebuah lagu yang dinyanyikan. Belum pernah saya dengar ada budaya di Indonesia yang menunjukkan bahwa tepuk tangan adalah ungkapan penyembahan dan hormat kepada Allah, tapi mungkin saya bisa salah.
Memang belum pernah ada anjuran ataupun larangan secara eksplisit tentang hal ini. Tapi kita juga tidak boleh menambah-nambahkan ataupun mengurangi hal-hal yang tidak diatur dalam berbagai dokumen Gereja tentang Liturgi. Liturgi diberikan kepada Gereja oleh kita. Liturgi adalah miliki Gereja, dan bukan hak kita untuk seenaknya menambahkan ataupun mengurangi dengan alasan apapun.
Lalu, ada juga Misa dimana lagu-lagunya tidak berasal dari Puji Syukur ataupun buku Lagu yang sudah mendapat persetujuan Uskup atau Konferensi Keuskupan setempat, melainkan dari lagu-lagu pop rohani. Bahkan digunakan lagu-lagu yang tujuannya untuk membangkitkan semangat, biar umat tidak bosan, masa lagunya itu itu saja. Kepada mereka, saya akan memberikan jawaban dari Cardinal Arinze :
“Tapi musik harus mendukung perkembangan iman, muncul dari iman kita dan harus menuntun kita kembali kepada iman. Musik haruslah merupakan doa…Entertainment itu persoalan lain. Kita memiliki aula paroki untuk itu, dan teater. Orang-orang tidak datang Misa untuk dihibur. Mereka datang menyembah Allah, mengucap syukur kepada-Nya, meminta Ia mengampuni dosa kita, dan meminta kepada-Nya apa yang kita butuhkan”
________________________________________
Tambahan dari rekan Indonesian Papist :
Aturan dalam buku Misa itu semua preskriptif “you do this, you do that, you do those” etc: tapi bukan postskriptif (kamu jangan lakukan ini, jangan lakukan itu). Jadi kalo alasannya “kan aturan Misa tidak melarang” karena bentuk bahasa dan perintahnya preskriptif. Justru melakukan apa yang tidak tercantum atau diamanatkan adalah abuse.
(Sumber: luxveritatis7.wordpress.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berbicara adalah hak asasi manusia dari setiap individu, tetapi gunakan hak itu sesuai dengan peraturan yang berlaku serta budaya lokal yang membangun. Salam kasih. Admin