(Kegiatan Sosialisasi KUB di salah satu wilayah oleh Rm. Tauchen Hotlan Girsang, OFM dan (Alm.) Rm. Urbanus Kopongratu, OFM) |
Kepemimpinan kehidupan gereja Katolik tidak lagi pada pastor sentries. Awam diberi tugas dan tanggung jawab sebagai katekis untuk melaksanakan pembinaan iman kepada umat, baik mereka yang belum dibaptis ataupun yang sudah dibaptis. Sosialisasinya pun memerlukan waktu yang lama, kurang lebih satu tahun. Namun umat di tataran bawah masih setengah hati untuk menerimanya. Pada hal bila kita pelajari, pembentukan KUB ini cukup representatif bila diterapkan di daerah perkotaan yang syarat dengan kemajemukan, kondisi geografis, dan penduduk urban yang kebanyakan tinggal di kompleks perumahan.
Sebenarnya istilah KUB ini tidak bertentangan dengan statuta gereja Katolik karena hirarki gereja Katolik adalah mulai dari Tahta Suci hingga ke paroki. Sedangkan struktur gereja Katolik di bawah paroki sepenuhnya merupakan kebijakan paroki. Untuk mengingatkan kembali benang merah artikel WP Paroki Santo Paulus Depok Edisi minggu ke-4 bulan April dan Mei 2015 minggu pertama tentang Istilah Kring, KUB, KBG, Lingkungan, Wilayah, dan Stasi, berikut kutipan yang menjadi dasar dibentuknya KUB, yaitu “…untuk mewujudkan gereja yang communio dan misio perlu dibentuk komunitas umat basis (Frans Magnis Suseno, S.J.). Gagasan ini kemudian diperkuat oleh Yanuarius Seran bahwa tugas-tugas perutusan gereja bisa terwujud jika awam dan para pengurus kelompok-kelompok kecil di bawah paroki, wilayah, atau lingkungan dapat melakasanakan transformasi pendidikan yang berkaitan dengan liturgi, bina iman, pewartaan, sakramen-sakramen, kanonika, dan hirarki gereja…”. Dari pernyataan tersebut, secara tersirat bahwa umat diberi peran menjalankan tugas-tugas reksa pastoral, kecuali tugas-tugas pastor yang tidak dapat tergantikan oleh awam. Tugas para wakil pastor di lingkungan atau wilayah adalah memberikan dorongan dan membangkitkan antusiasme warga untuk menunjukkan partisipasi aktif di dalam kehidupan menggereja, secara khusus di dalam paroki. Bentuk dan cara bagaimana ia melibatkan diri bisa bermacam-macam, misalnya terlibat dalam berbagai macam kerasulan awam, koor, menjadi prodiakon, menjadi guru sekolah minggu, kursus katekis, menjadi pengurus struktur/organisasi gereja, kursus evangelisasi pribadi, dan lain-lain.
Proses transformasi konsep lingkungan menjadi KUB yang belum sepenuhnya diterima oleh umat di tataran bawah ini bisa dimaklumi. Masayarakat kita (umat Katolik) cenderung berhati-hati dalam menerima hal-hal yang baru dan selalu berpegang pada “kalau yang lama saja masih baik dan bagus, mengapa mesti pakai yang baru”. Konsep KUB memang memiliki banyak kelebihan, namun perlu dipertimbangkan kesulitan di dalam implementasi pelaksanaannya. Misalnya dalam hal-hal teknis yang tidak dapat disinkronkan dengan pihak lain yang belum menggunakan konsep KUB.
Kegamangan antara pemangku kepentingan paroki, pengurus di lingkungan dan wilayah, serta umat berkaitan dengan KUB ini kemudian direspon oleh Keuskupan Bogor sehingga diterbitkanlah surat yang berisi penyeragaman nama lingkungan dan wilayah di seluruh Keuskupan Bogor.
Tereliminasinya KUB ini bukan berarti bahwa konsep KUB tidak baik atau tidak cocok diterapkan di Paroki Santo Paulus karena gereja Katolik selalu berpegang pada prinsip menang menang dan bukan menang kalah. Justru kita dapat memaknainya secara positif bahwa proses demokratisasi di paroki telah tumbuh dan berkembang dengan baik. Paroki Santo Paulus juga cukup bijaksana dalam menanggapi dinamika perkembangan gereja ini agar semangat KUB tetap dapat dijalankan, yaitu paroki membagi lingkungan yang dulunya 60-120 kepala keluarga, sekarang beranggotakan 20-30 kepala keluarga saja. Dalam perkembangan selanjutnya, paroki menggeser dan mengarahkan peran KUB lebih kepada bertumbuh dan berkembangnya kegiatan kelompok-kelompok kategorial.
Kegiatan-kegiatan tersebut di antaranya kursus evangelisasi pribadi yang pesertanya dari tahun ke tahun jumlahnya meningkat, kelompok-kelompok koor di luar lingkungan atau wilayah, serta kelompok kegiatan kharismatik. Pelaksanaan kegiatan kelompok kategorial tersebut tidak terlepas dari kontrol dan pengawasan paroki. (Penulis: Sudir I.M., Editor: Bernard B. Miten).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berbicara adalah hak asasi manusia dari setiap individu, tetapi gunakan hak itu sesuai dengan peraturan yang berlaku serta budaya lokal yang membangun. Salam kasih. Admin