Yogyakarta
tampak berbeda dari biasanya. Sabtu (18/2/2017) sekitar pukul 09.00
WIB, belasan murid dari Lembaga Pendidikan Beniso, Sewon, Bantul,
bersama guru dan kepala sekolah mengunjungi gereja di pusat Kota Yogyakarta itu.
Romo Paroki Kota Baru Maharsono Probho SJ dengan ramah menyambut
kedatangan tamu-tamu kecilnya. Maharsono kemudian memandu perjalanan
mereka berkeliling gereja.
Para murid taman kanak-kanak ini tampak mengamati dengan penuh
penasaran setiap detail ruangan dan benda-benda serta gambar di dalam
gereja.
Para guru ikut mendampingi sambil menggandeng tangan anak-anak
tersebut. Sesekali mereka harus mengingatkan agar para siswa merapikan
barisannya.
Sambil berjalan, Maharsono menjelaskan dengan bahasa ala anak-anak
tentang apa saja yang di dalam gereja, mulai dari patung-patung, lilin,
bunga, hingga lukisan jalan salib yang mengelilingi gereja dan altar.
Saat istirahat, Kepala Lembaga Pendidikan Beniso Novi Eviani bertanya
kepada murid-muridnya. "Apa sebutan bagi pemuka agama Katolik?" tanya
Novi Eviani. "Romo, Ibu Guru," para murid menjawab serentak.
Novi kembali bertanya tentang nama tempat ibadah umat Katolik dan dijawab dengan benar oleh para bocah.
"Anak-anak, di sekitar kita ada banyak perbedaan. Tetapi ingat, kita
harus saling menghormati dan harus selalu sayang kepada mereka," pesan
Novi kepada mereka.
Maharsono memberikan kenang-kenangan kepada para murid dan guru
berupa pembatas buku.
Pembatas buku itu bergambar seluruh pemuka agama
dan bertuliskan, "Kebersamaan itu Indah dan Melebihi Apa Pun". Di
sebaliknya, terdapat tulisan "Kasih itu sabar, kasih tidak sombong,
kasih itu murah hati".
Para murid beranjak pergi, tetapi bukan untuk pulang. Mereka
melanjutkan perjalanan ke tempat ibadah lain, yakni Kelenteng
Poncowinatan di daerah Kranggan, Kota Yogyakarta.
Mereka dikenalkan tentang seluk-beluk kelenteng, para umatnya, sampai
dengan nama dewa-dewa di kelenteng. Dari sana, rombongan anak-anak itu
melanjutkan wisata edukasi tersebut dengan mengunjungi Masjid
Universitas Gadjah Mada (UGM).
"Dalam satu hari ini, kita ke Gereja Kota Baru, lalu ke Kelenteng Poncowinatan dan Masjid UGM," kata Novi.
Kunjungan ke tempat ibadah ini merupakan puncak acara dengan tema
toleransi. Para siswa tidak hanya mendapatkan pengetahuan tentang
toleransi dan kebinekaan di dalam kelas, tetapi juga diajak melihat
secara langsung tempat-tempat ibadah dari berbagai agama.
"Sudah kita laksanakan sejak dulu, ini kegiatan puncaknya. Jadi agar
anak melihat langsung dan mengenal tempat-tempat ibadah," kata Novi.
Ia menuturkan, sikap toleransi sudah seharusnya diberikan sejak usia
dini. Di usia anak-anak, pikiran mereka masih jernih dan harus mendapat
masukan tentang hal-hal positif.
"Anak-anak itu kan masih murni, kalau tidak dijejali dengan hal-hal
yang negatif , mereka itu akan selalu menerima kebersamaan dan
perbedaan. Tinggal bagaimana kita mendidik mereka," ujar Novi.
Diungkapkanya pada kenyataanya dalam kehidupan perbedaan itu memang
ada. Karenanya, anak-anak perlu mengenal. Hingga akhirnya muncul sifat
dan sikap untuk menghargai dan memahami bahwa sebenarnya perbedaan itu
indah.
"Perbedaan itu indah, itulah yang ingin kita tanamkan. Negara ini kan
Bhinneka Tunggal Ika, kita harus menerima dan merawatnya," pesan Novi.
Maharsono mengatakan, para guru mengunjungi tempat ibadah umat
Katolik untuk mengajak anak-anak sejak dini belajar tentang keberagaman
budaya dan agama.
"Untuk Gereja Katolik, mereka ke sini (Gereja Kota Baru). Satu
setengah bulan yang lalu, dari SD Ungaran juga ke sini, kemarin SD Budi
Mulia 2, lalu TK Beniso, Mereka ke gereja, lalu ke wihara, pura, dan
masjid," kata dia.
Maharsono menilai bahwa mengenalkan siswa tentang kebinekaan sejak
dini merupakan suatu satu hal yang sangat baik. Kegiatan ini berguna
bagi perkembangan anak-anak.
"Model-model seperti ini terus berkembang. Sekolah-sekolah Katolik pun melakukan hal yang sama," ujarnya.
Anak harus diajar tentang pentingnya kejujuran, cinta damai dan
toleransi serta kebinekaan. Sekolah sebagai tempat pendidikan telah
memiliki kesadaran bersama untuk mengajarkan hal itu sejak sedini
mungkin.
Hal itu menumbuhkan kesadaran bersama di sekolah dalam merawat
kebinekaan. Ia menuturkan, dalam kunjungan ke gereja, anak-anak sangat
responsif dan terbuka. Mereka tidak canggung, aktif bertanya tentang apa
yang dilihat secara langsung ataupun apa yang mereka belum tahu.
Mereka antara lain bertanya mengapa di gereja ada patung dan lilin. Ada pula yang menanyakan perbedaan Katoluk dan Kristen.
"Ada juga yang bertanya, Romo yang disalib itu siapa? Maria itu
siapa? Pertanyaan sangat cair, spontan dan alamiah, tentu saya terangkan
dengan bahasa anak-anak agar mereka paham," ujarnya.
Menurut Maharsono, mengajak anak-anak ke berbagai tempat ibadah ini
sangat penting. Perjumpaan menjadikan satu sama lain bisa saling
mengenal, saling memahami dan saling menghormati.
"Sekolah sudah menabur benih toleransi dan benih ini akan dapat dirasakan beberapa tahun kemudian," ucapnya. (Sumber: kompas.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berbicara adalah hak asasi manusia dari setiap individu, tetapi gunakan hak itu sesuai dengan peraturan yang berlaku serta budaya lokal yang membangun. Salam kasih. Admin