Pada September 1599, seorang pandai besi dan musisi berusia 24 tahun
memasuki Istana Topkapi di Konstantinopel, yang saat itu ibu kota
Kerajaan Ottoman. Ia kemudian memainkan sejenis alat musik mekanik, yang
dirakit di hadapan salah satu penguasa terkuat di dunia saat itu.
Penguasa tersebut adalah Sultan Ottoman Mehmed III. Organ mekanik
bersama pria muda yang juga pembuatnya itu merupakan bagian dari hadiah
yang dikirimkan oleh Ratu Elizabeth I. Empat tahun setelah Mehmed III
memimpin, Elizabeth memang terbilang kerap mengirimkan berbagai hadiah
ke Konstantinopel.
Hadiah itu untuk mempertahankan aliansi
yang unik pada masanya, yakni Anglo-Turki. Kendati kerap terputus,
aliansi itu sudah berlangsung selama lebih dari dua dekade.
Thomas Dallam, nama pandai besi sekaligus musisi itu, menampilkan
pertunjukan yang luar biasa. Mehmed III pun jatuh cinta dengan mainan
barunya. Bahkan, dia menawarkan Dallam salah satu selirnya. Dallam
menolak tawaran itu dan meninggalkan Konstantinopel. Dia pergi dengan
tas besar berisi emas.
Jerry Brotton, profesor studi
Renaissance studies Universitas Queen Mary London, menuturkan, peristiwa
itu merupakan gambaran hubungan Elizabeth dengan Islam. Brotton
meluncurkan buku "The Sultan and the Queen: The Untold Story of
Elizabeth and Islam", pada 20 September ini.
Jaringan ini
menghubungkan Inggris dengan Kesultanan Maroko, kemudian Ottoman, dan
Persia. Pada 1600, aliansi Anglo-Muslim melawan hegemoni Spanyol
menguasai wilayah yang luasnya sekira 6.920 kilometer persegi.
"(Aliansi) terbentang dari Marrakesh di Marako ke Isfahan di Iran
melalui Konstantinopel," ujar Brotton seperti dilansir The Independent.
Brotton pun menjelaskan, kondisi Inggris akhir Dinasti Tudor memiliki
kemiripan dengan kondisi Inggris sekarang pascakeluar dari Uni Eropa.
Inggris terpisah dari Eropa dan mencari perdagangan dengan negara-negara
di belahan bumi bagian timur. "Mungkin terdengar seperti kondisi
Inggris hari ini. Padahal, itu juga menggambarkan keadaan Inggris pada
abad ke-16," ujar Brotton seperti dilansir the New York Times, Sabtu
(17/9).
Bid'ah gereja
Lima abad lalu,
Inggris berselisih dengan Gereja Katolik Roma. Ayah Elizabeth, Henry
VIII, memisahkan hubungan gereja-gereja Inggris dengan Katolik Roma.
Sejak naik takhta pada 1558, Elizabeth mulai membangun hubungan
diplomatik, komersial, dan militer dengan penguasa Muslim di Iran,
Turki, dan Maroko.
Pada 1570, Paus Pius V menganggap Elizabeth
bid'ah dan mengucilkannya. Kondisi itu membuat kaum protestan Inggris
tidak bakal kembali ke Katolik. Label sebagai negara pembangkang,
membuat Inggris menjauh dari negara-negara Katolik di Eropa. Kerajaan
Katolik Spanyol pun melawannya, bahkan melakukan agresi. Pedagang
Inggris dilarang bertransaksi di pasar yang dikuasai oleh orang Spanyol
di Belanda.
Isolasi ekonomi dan politik memberikan ancaman
bagi Inggris sehingga berpotensi menghancurkan negara tersebut. Kondisi
itu mendorong Inggris untuk menjalin pertemanan dengan kekuatan-kekuatan
lain di dekat Eropa.
"Hal yang mengejutkan dari Elizabeth
adalah kebijakan luar negeri dan ekonomi, didorong oleh aliansi dengan
dunia Islam. Fakta itu diabaikan oleh orang-orang yang mendorong
retorika kedaulatan nasional hari ini," ujar Brotton lagi. Dari semua
kekuatan di sekitar Mediterania dan Timur Tengah, memang hanya Islam
yang sanggup menopang Inggris. Kerajaan Ottoman yang diperintah oleh
Sultan Murad III, pendahulu Sultan Mahmed III, merupakan rival
satu-satunya Spanyol.
Kekuasaan Ottoman terbentang dari Afrika
Utara melalui Eropa Timur hingga Samudra India. Ottoman juga sudah
melawan Dinasti Hapsburg di Eropa Tengah selama beberapa dekade,
termasuk menaklukkan wilayah bagian Hongaria itu.
Kerajaan-kerajaan Islam saat itu jauh lebih kuat dibandingkan Inggris.
Elizabeth ingin mengeksplorasi aliansi perdagangan baru, tapi tidak
sanggup membiayainya. Dia pun mengajukan pembentukan perusahaan bersama.
Ide inovasi dalam bidang ekonomi tersebut diperkenalkan oleh saudara
perempuan Elizabeth, Mary Tudor.
Dengan model kepemilikan
saham bersama, modal perusahaan digunakan untuk mendanai biaya pelayaran
komersial. Mereka juga berbagi keuntungan dan kerugian. Secara
diam-diam, Elizabeth juga mendapatkan dukungan militer untuk melawan
Spanyol.
Elizabeth membentuk Muscovy Company yang
diperdagangkan dengan Persia. Kemudian, dia membentuk Turkey Company
yang diperdagangkan dengan Ottoman dan East India Company, yang akhirnya
menaklukkan India.
Untuk membujuk pemimpin Islam itu,
Elizabeth mulai menulis surat kepada mereka, dengan menekankan
keuntungan perdagangan timbal balik. Ratu Inggris mau merendah dengan
menyebut Murad sebagai "penguasa paling perkasa dari kerajaan Turki,
satu-satunya dan di atas semua, dan sebagai raja berdaulat Kekaisaran
Timur."
Dalam suratnya, Elizabeth juga menyinggung adanya
persamaan antara Islam dan Protestan, khususnya pandangan terhadap
Katolik. Dia mengeksploitasi perselisihan dengan Katolik serta
menyebutkan, Protestan dan Muslim berada pada sisi yang sama.
Taktik itu berhasil. Ribuan pedagang Inggris memasuki wilayah-wilayah
Islam, seperti Aleppo di Suriah dan Mosul di Irak. Mereka berada di
tempat yang lebih aman daripada ketika berdagang dengan Katolik Spanyol.
Bangsawan Inggris pun dibanjiri dengan sutra dan
rempah-rempah dari timur, kendati Turki dan Maroko kurang tertarik
dengan wol asal Inggris. Mereka lebih membutuhkan senjata. Elizabeth pun
melucuti logam dari gereja-gereja Katolik seperti lonceng. Lalu, dia
memerintahkan logam-logam itu dilebur untuk membuat amunisi yang
kemudian dikirim ke Turki.
Perdagangan itu mengubah budaya
Inggris. Gula, sutra, karpet, dan rempah-rempah telah mentransformasi
kuliner Inggris, cara berpakaian, dan mendekorasi rumah. Bahkan, William
Shakespeare menulis "Othello" tidak lama setelah kunjungan pertama duta
besar Maroko.
Terlepas dari sukses komersial perusahaan saham
gabungan, ekonomi Inggris tidak sanggup mempertahankan ketergantungan
pada perdagangan jarak jauh. Segera setelah kematian Elizabeth pada
1603, raja baru, James I, menandatangani perjanjian perdamaian dengan
Spanyol, yang mengakhiri pengucilan Inggris.
Namun, Brotton
menekankan, kebijakan Elizabeth melakukan kongsi dengan Islam telah
menahan invasi Katolik, mengubah rasa bahasa Inggris, dan menciptakan
model investasi saham gabungan. Ternyata Islam, dalam segala
manifestasinya, seperti kekaisaran, militer, dan komersialnya, memainkan
peran penting untuk Inggris. "Hari ini, ketika retorika anti-Muslim
mengobarkan wacana politik, hal ini berguna untuk diingat bahwa pada
masa lalu, kita lebih terikat (dengan Islam) dari yang selama ini
terungkap," ujar Brotton.
_________________________________
Oleh Ratna Puspita ed: Fitriyan Zamzami/ Sumber: www.republika.co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berbicara adalah hak asasi manusia dari setiap individu, tetapi gunakan hak itu sesuai dengan peraturan yang berlaku serta budaya lokal yang membangun. Salam kasih. Admin