Rabu, 08 Maret 2017

Kongsi Inggris-Islam yang Mengubah Dunia

Pada September 1599, seorang pandai besi dan musisi berusia 24 tahun memasuki Istana Topkapi di Konstantinopel, yang saat itu ibu kota Kerajaan Ottoman. Ia kemudian memainkan sejenis alat musik mekanik, yang dirakit di hadapan salah satu penguasa terkuat di dunia saat itu.

Penguasa tersebut adalah Sultan Ottoman Mehmed III. Organ mekanik bersama pria muda yang juga pembuatnya itu merupakan bagian dari hadiah yang dikirimkan oleh Ratu Elizabeth I. Empat tahun setelah Mehmed III memimpin, Elizabeth memang terbilang kerap mengirimkan berbagai hadiah ke Konstantinopel.

Hadiah itu untuk mempertahankan aliansi yang unik pada masanya, yakni Anglo-Turki. Kendati kerap terputus, aliansi itu sudah berlangsung selama lebih dari dua dekade.

Thomas Dallam, nama pandai besi sekaligus musisi itu, menampilkan pertunjukan yang luar biasa. Mehmed III pun jatuh cinta dengan mainan barunya. Bahkan, dia menawarkan Dallam salah satu selirnya. Dallam menolak tawaran itu dan meninggalkan Konstantinopel. Dia pergi dengan tas besar berisi emas.

Jerry Brotton, profesor studi Renaissance studies Universitas Queen Mary London, menuturkan, peristiwa itu merupakan gambaran hubungan Elizabeth dengan Islam. Brotton meluncurkan buku "The Sultan and the Queen: The Untold Story of Elizabeth and Islam", pada 20 September ini.

Jaringan ini menghubungkan Inggris dengan Kesultanan Maroko, kemudian Ottoman, dan Persia. Pada 1600, aliansi Anglo-Muslim melawan hegemoni Spanyol menguasai wilayah yang luasnya sekira 6.920 kilometer persegi. "(Aliansi) terbentang dari Marrakesh di Marako ke Isfahan di Iran melalui Konstantinopel," ujar Brotton seperti dilansir The Independent.

Brotton pun menjelaskan, kondisi Inggris akhir Dinasti Tudor memiliki kemiripan dengan kondisi Inggris sekarang pascakeluar dari Uni Eropa. Inggris terpisah dari Eropa dan mencari perdagangan dengan negara-negara di belahan bumi bagian timur. "Mungkin terdengar seperti kondisi Inggris hari ini. Padahal, itu juga menggambarkan keadaan Inggris pada abad ke-16," ujar Brotton seperti dilansir the New York Times, Sabtu (17/9).

Bid'ah gereja
Lima abad lalu, Inggris berselisih dengan Gereja Katolik Roma. Ayah Elizabeth, Henry VIII, memisahkan hubungan gereja-gereja Inggris dengan Katolik Roma. Sejak naik takhta pada 1558, Elizabeth mulai membangun hubungan diplomatik, komersial, dan militer dengan penguasa Muslim di Iran, Turki, dan Maroko.

Pada 1570, Paus Pius V menganggap Elizabeth bid'ah dan mengucilkannya. Kondisi itu membuat kaum protestan Inggris tidak bakal kembali ke Katolik. Label sebagai negara pembangkang, membuat Inggris menjauh dari negara-negara Katolik di Eropa. Kerajaan Katolik Spanyol pun melawannya, bahkan melakukan agresi. Pedagang Inggris dilarang bertransaksi di pasar yang dikuasai oleh orang Spanyol di Belanda.

Isolasi ekonomi dan politik memberikan ancaman bagi Inggris sehingga berpotensi menghancurkan negara tersebut. Kondisi itu mendorong Inggris untuk menjalin pertemanan dengan kekuatan-kekuatan lain di dekat Eropa.

"Hal yang mengejutkan dari Elizabeth adalah kebijakan luar negeri dan ekonomi, didorong oleh aliansi dengan dunia Islam. Fakta itu diabaikan oleh orang-orang yang mendorong retorika kedaulatan nasional hari ini," ujar Brotton lagi. Dari semua kekuatan di sekitar Mediterania dan Timur Tengah, memang hanya Islam yang sanggup menopang Inggris. Kerajaan Ottoman yang diperintah oleh Sultan Murad III, pendahulu Sultan Mahmed III, merupakan rival satu-satunya Spanyol.

Kekuasaan Ottoman terbentang dari Afrika Utara melalui Eropa Timur hingga Samudra India. Ottoman juga sudah melawan Dinasti Hapsburg di Eropa Tengah selama beberapa dekade, termasuk menaklukkan wilayah bagian Hongaria itu.

Kerajaan-kerajaan Islam saat itu jauh lebih kuat dibandingkan Inggris. Elizabeth ingin mengeksplorasi aliansi perdagangan baru, tapi tidak sanggup membiayainya. Dia pun mengajukan pembentukan perusahaan bersama. Ide inovasi dalam bidang ekonomi tersebut diperkenalkan oleh saudara perempuan Elizabeth, Mary Tudor.

Dengan model kepemilikan saham bersama, modal perusahaan digunakan untuk mendanai biaya pelayaran komersial. Mereka juga berbagi keuntungan dan kerugian. Secara diam-diam, Elizabeth juga mendapatkan dukungan militer untuk melawan Spanyol.

Elizabeth membentuk Muscovy Company yang diperdagangkan dengan Persia. Kemudian, dia membentuk Turkey Company yang diperdagangkan dengan Ottoman dan East India Company, yang akhirnya menaklukkan India.

Untuk membujuk pemimpin Islam itu, Elizabeth mulai menulis surat kepada mereka, dengan menekankan keuntungan perdagangan timbal balik. Ratu Inggris mau merendah dengan menyebut Murad sebagai "penguasa paling perkasa dari kerajaan Turki, satu-satunya dan di atas semua, dan sebagai raja berdaulat Kekaisaran Timur."

Dalam suratnya, Elizabeth juga menyinggung adanya persamaan antara Islam dan Protestan, khususnya pandangan terhadap Katolik. Dia mengeksploitasi perselisihan dengan Katolik serta menyebutkan, Protestan dan Muslim berada pada sisi yang sama.

Taktik itu berhasil. Ribuan pedagang Inggris memasuki wilayah-wilayah Islam, seperti Aleppo di Suriah dan Mosul di Irak. Mereka berada di tempat yang lebih aman daripada ketika berdagang dengan Katolik Spanyol.

Bangsawan Inggris pun dibanjiri dengan sutra dan rempah-rempah dari timur, kendati Turki dan Maroko kurang tertarik dengan wol asal Inggris. Mereka lebih membutuhkan senjata. Elizabeth pun melucuti logam dari gereja-gereja Katolik seperti lonceng. Lalu, dia memerintahkan logam-logam itu dilebur untuk membuat amunisi yang kemudian dikirim ke Turki.

Perdagangan itu mengubah budaya Inggris. Gula, sutra, karpet, dan rempah-rempah telah mentransformasi kuliner Inggris, cara berpakaian, dan mendekorasi rumah. Bahkan, William Shakespeare menulis "Othello" tidak lama setelah kunjungan pertama duta besar Maroko.

Terlepas dari sukses komersial perusahaan saham gabungan, ekonomi Inggris tidak sanggup mempertahankan ketergantungan pada perdagangan jarak jauh. Segera setelah kematian Elizabeth pada 1603, raja baru, James I, menandatangani perjanjian perdamaian dengan Spanyol, yang mengakhiri pengucilan Inggris.

Namun, Brotton menekankan, kebijakan Elizabeth melakukan kongsi dengan Islam telah menahan invasi Katolik, mengubah rasa bahasa Inggris, dan menciptakan model investasi saham gabungan. Ternyata Islam, dalam segala manifestasinya, seperti kekaisaran, militer, dan komersialnya, memainkan peran penting untuk Inggris. "Hari ini, ketika retorika anti-Muslim mengobarkan wacana politik, hal ini berguna untuk diingat bahwa pada masa lalu, kita lebih terikat (dengan Islam) dari yang selama ini terungkap," ujar Brotton.

_________________________________
Oleh Ratna Puspita ed: Fitriyan Zamzami/ Sumber: www.republika.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berbicara adalah hak asasi manusia dari setiap individu, tetapi gunakan hak itu sesuai dengan peraturan yang berlaku serta budaya lokal yang membangun. Salam kasih. Admin