Indonesia merupakan negara yang memiliki multireligius (ragam
keyakinan). Saat ini terdapat enam agama mayoritas yang banyak dipeluk
masyarakat Indonesia, yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan
Khonghucu sesuai dengan penjelasan Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 PNPS
Tahun 1965 tentang Pencegahan, Penyalahgunaan, atau Penodaan Agama.
Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama Abd Rahman Mas'ud
mengatakan, berkaca pada berbagai keyakinan beragam di Indonesia,
dinamika kehidupan beragama pun terjadi, baik secara internal maupun
antaragama. Masalah internal di setiap agama, misalnya, dalam
perjalanannya berkembang berbagai paham dan aliran ataupun sekadar
organisasi.
"Di dalam dinamika intraagama, perkembangan aliran
ini muncul seperti adanya perbedaan mazhab pemikiran agama, seperti
multiekspresi hasil penafsiran agama atau sekadar dinamika politik
organisasional," kata dia menjelaskan kepada Republika, Rabu (5/10).
Mas'ud menyebut, interaksi umat seagama umumnya baik, meski sesekali
terjadi gesekan antarkelompok pemeluk seagama.
Begitu juga
dengan kerukunan antarumat beragama. Mas'ud melihat, secara umum
kerukunan berjalan baik, meski harus diakui potensi gesekan lebih besar
dibanding kelompok seagama. "Umumnya hubungan antaragama baik, sesekali
saja berbenturan, khususnya dalam isu pendirian rumah ibadah dan
penyiaran agama," ujarnya menerangkan.
Khusus soal rumah
ibadah, pemerintah telah memiliki Peraturan Bersama Menteri (PBM) tahun
2006 dan SKB Nomor 1 Tahun 1979. PBM ini memang masih harus terus
disempurnakan dengan digodoknya Rancangan Undang-undang Perlindungan
Umat Beragama. Aturan pembangunan rumah ibadah dalam PBM pun akan masuk
di dalamnya.
Banyak pihak tak mengerti mengenai PBM ini
sehingga Mas'ud berharap sosialisasi harus lebih dimaksimalkan. "Jika
banyak pihak keberatan dengan isi PBM, sebenarnya PBM tidak dibuat
berdasarkan pendapat Menag atau Mendagri, tetapi berdasarkan keputusan
enam majelis agama, pertemuan pun tidak singkat, ada 15 kali pertemuan
untuk menyepakati isi di dalam PBM tersebut," jelas dia.
Terkait masalah intoleransi agama di Indonesia, sebenarnya berdasarkan
hasil survei nasional kerukunan umat beragama cukup tinggi. Ia menyebut
pada 2015 nilai kerukunan umat beragama di seluruh provinsi rata-rata
menunjukkan nilai 75,36 berdasarkan toleransi, kesetaraan, dan kerja
sama. Tiga daerah dengan kerukunan agama tertinggi adalah Nusa Tenggara
Timur 83,3 persen, Bali 81,6 persen, dan Maluku 81,3 persen.
Sedangkan, daerah dengan tingkat kerukunan terendah, di antaranya
Sumatra Barat 69,2 persen, Lampung 65,9 persen, dan Aceh 62,8 persen.
Sedangkan di Tanjung Balai, Sumatra Utara, meski sempat terjadi kasus
pembakaran dan perusakan wihara, indeks kerukunan umat beragama
terbilang tinggi mencapai 77 persen berbeda dengan Aceh saat terjadi
konflik gereja di Singkil.
Mas'ud mengatakan, banyak faktor
yang disebabkan adanya konflik, terutama dalam konflik antaragama,
seperti perusakan rumah ibadah. Salah satunya, diakui Mas'ud, memang
karena aturan PBM yang belum tersosialisasi dengan maksimal.
Selain itu, berdasarkan hasil penelitian, konflik besar yang berlangsung
lama sering menjadikan agama sebagai faktor antara sebagai pemicu
konflik. "Konflik-konflik berskala besar sebenarnya dipicu oleh faktor
nonkeagamaan, terutama faktor ekonomi dan politik. Namun, dibungkus
dengan isu agama," kata dia.
Secara faktual, konflik skala
kecil disebabkan oleh faktor agama tidak berlangsung lama. Karena,
konflik keagamaan biasanya disebabkan kurangnya komunikasi di tingkat
akar rumput.
Pemerintah terus berupaya menciptakan kerukunan
umat beragama dan toleransi beragama. Beberapa hal yang dilakukan
Kemenag untuk mempertahankan kondisi rukun dan menyelesaikan secara
bertahap kasus intoleransi, antara lain, meningkatkan dialog
multikultural, baik internal agama maupun antaragama, pembinaan
keagamaan yang selaras dengan wawasan kebangsaan, dan revitalisasi
kearifan lokal.
Untuk kasus yang berkonflik, pemerintah
melakukan resolusi konflik dengan rekonsialiasi berkelanjutan di manapun
konflik terjadi. Selain itu, pemerintah juga melakukan penanganan
pascakonflik dengan peacebuilding. "Peacebuilding dilakukan dengan
memprovokasi masyarakat agar mengembangkan integrasi dan meminimalisasi
potensi konflik, seperti kerja sama dan dialog," kata dia menjelaskan.
Dalam mengatasi konflik, pemerintah dibantu penyuluh dengan pengetahuan
agama dan kemampuan dalam memahami struktur sosial masyarakat, terutama
dalam mendeteksi dini kerawanan sosial. "Para penyuluh ini yang
berinteraksi dengan masyarakat untuk mengedukasi dan melakukan resolusi
konflik," kata dia.
Kepala Bidang Hubungan Antar Agama Badan
Litbang dan Diklat Kemenag Muhammad Adlin Sila mengatakan, keberadaan
RUU PUB akan menyempurnakan aturan yang selama ini menjadi acuan.
Misalnya dalam RUU, diatur siapa yang berhak menyatakan suatu kegiatan
merupakan bentuk penodaan agama atau bukan. "Di UU PNPS 1965 itu tidak
ada," ujar dia.
Salah satu usulan RUU PUB adalah ada majelis
agama yang bisa menjadi saksi ahli di pengadilan yang dapat membuktikan
perkataan atau perbuatan seseorang sebagai penodaan agama. "Apakah itu
MUI dalam Islam, GWI di Kristen, kami minta tiap agama menentukan
otoritasnya," kata dia.
Adlin mencontohkan, kasus pembakaran
di Masjid Tolikara yang dipicu oleh GIDI yang bernaung di bawah
Persekutuan Gereja dan Lembaga Injili Indonesia. Persatuan ini belum
terdaftar di Kemenag sehingga Kemenag tidak bisa membina mereka, apalagi
menarik izin mereka.
Sementara itu, Pengamat Agama dan Budaya
dari Universitas Boston Robert W Hefner menilai, konflik antarumat
beragama, seperti perusakan tempat ibadah, bukanlah disebabkan oleh
masalah ekonomi. "Konflik ini tak hanya terjadi di Indonesia, tetapi
juga sedang berkembang di seluruh Indonesia. Bukan karena ekonomi, hanya
saja Indonesia masih dalam proses untuk menjadi negara maju ," ujarnya
menjelaskan.
Hefner menilai, sebagai negara majemuk, kasus
konflik antraumat beragama memang sering terjadi. Tak hanya di
Indonesia, di negara lain juga terjadi hal serupa, terutama di antara
negara-negara berkembang yang biasanya disebabkan imigran dan
globalisasi. "Faktor ketidakpuasan salah satu pihak agama bisa menjadi
salah satunya, tetapi ini tidaklah mengherankan. Namun, saya optimistis
konflik ini mudah diatasi oleh Indonesia karena Indonesia merupakan
negara demokrasi," ujar dia.
Cendekiawan Azyumardi Azra
mengatakan, faktor penyebab terjadinya kasus perusakan rumah ibadah,
baik gereja di Aceh Singkil dan mushala di Tolikara, Papua, ini karena
toleransi yang dirusak dan kurangnya sensitivitas agama sosial.
"Konflik di Singkil akibat tidak sensitifnya umat Kristen karena terus
melakukan ekspansi dan agresif dalam membangun gereja, sedangkan kasus
di Tanjung Balai, kurangnya toleransi di kalangan warga non-Muslim pada
suara azan, juga karena pengurus masjid yang kurang sensitif dengan
speaker yang terlalu keras," katanya menjelaskan.
Menurut
mantan rektor UIN Syarif Hidayatullah ini, faktor lain adalah karena
adanya kesenjangan ekonomi yang kian besar di antara warga keturunan,
baik di Tanjung Balai maupun tempat lain seluruh Indonesia, dengan warga
lokal yang umumnya Muslim. Kondisi ini justru menyimpan kemarahan laten
yang dapat meledak sewaktu-waktu dengan pemicu konflik, seperti tidak
toleran pada suara azan.
Azra menyarankan agar Kemenag bekerja
sama dengan berbagai pihak untuk terus melakukan upaya yang
berkesinambungan. Kemenag bekerja sama dengan Kemendagri memperkuat
Forum Kerukunan Umat Beragama.
Dalam masalah rumah ibadah,
perlu adanya penegasan aturan bersama Kemenkumham dan Polri. Terkait
masalah ekonomi ini, perlu dilakukan bersama dengan kementerian bidang
ekonomi dan sosial.
__________________________________
Rep: Ratna Ajeng Tejomukti, ed: Hafidz Muftisany/ Sumber: www.republika.co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berbicara adalah hak asasi manusia dari setiap individu, tetapi gunakan hak itu sesuai dengan peraturan yang berlaku serta budaya lokal yang membangun. Salam kasih. Admin