Rabu, 08 Maret 2017

Menegakkan Pohon Kerukunan

Indonesia merupakan negara yang memiliki multireligius (ragam keyakinan). Saat ini terdapat enam agama mayoritas yang banyak dipeluk masyarakat Indonesia, yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Khonghucu sesuai dengan penjelasan Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan, Penyalahgunaan, atau Penodaan Agama.

Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama Abd Rahman Mas'ud mengatakan, berkaca pada berbagai keyakinan beragam di Indonesia, dinamika kehidupan beragama pun terjadi, baik secara internal maupun antaragama. Masalah internal di setiap agama, misalnya, dalam perjalanannya berkembang berbagai paham dan aliran ataupun sekadar organisasi.

"Di dalam dinamika intraagama, perkembangan aliran ini muncul seperti adanya perbedaan mazhab pemikiran agama, seperti multiekspresi hasil penafsiran agama atau sekadar dinamika politik organisasional," kata dia menjelaskan kepada Republika, Rabu (5/10). Mas'ud menyebut, interaksi umat seagama umumnya baik, meski sesekali terjadi gesekan antarkelompok pemeluk seagama.

Begitu juga dengan kerukunan antarumat beragama. Mas'ud melihat, secara umum kerukunan berjalan baik, meski harus diakui potensi gesekan lebih besar dibanding kelompok seagama. "Umumnya hubungan antaragama baik, sesekali saja berbenturan, khususnya dalam isu pendirian rumah ibadah dan penyiaran agama," ujarnya menerangkan.

Khusus soal rumah ibadah, pemerintah telah memiliki Peraturan Bersama Menteri (PBM) tahun 2006 dan SKB Nomor 1 Tahun 1979. PBM ini memang masih harus terus disempurnakan dengan digodoknya Rancangan Undang-undang Perlindungan Umat Beragama. Aturan pembangunan rumah ibadah dalam PBM pun akan masuk di dalamnya.

Banyak pihak tak mengerti mengenai PBM ini sehingga Mas'ud berharap sosialisasi harus lebih dimaksimalkan. "Jika banyak pihak keberatan dengan isi PBM, sebenarnya PBM tidak dibuat berdasarkan pendapat Menag atau Mendagri, tetapi berdasarkan keputusan enam majelis agama, pertemuan pun tidak singkat, ada 15 kali pertemuan untuk menyepakati isi di dalam PBM tersebut," jelas dia.

Terkait masalah intoleransi agama di Indonesia, sebenarnya berdasarkan hasil survei nasional kerukunan umat beragama cukup tinggi. Ia menyebut pada 2015 nilai kerukunan umat beragama di seluruh provinsi rata-rata menunjukkan nilai 75,36 berdasarkan toleransi, kesetaraan, dan kerja sama. Tiga daerah dengan kerukunan agama tertinggi adalah Nusa Tenggara Timur 83,3 persen, Bali 81,6 persen, dan Maluku 81,3 persen.

Sedangkan, daerah dengan tingkat kerukunan terendah, di antaranya Sumatra Barat 69,2 persen, Lampung 65,9 persen, dan Aceh 62,8 persen. Sedangkan di Tanjung Balai, Sumatra Utara, meski sempat terjadi kasus pembakaran dan perusakan wihara, indeks kerukunan umat beragama terbilang tinggi mencapai 77 persen berbeda dengan Aceh saat terjadi konflik gereja di Singkil.

Mas'ud mengatakan, banyak faktor yang disebabkan adanya konflik, terutama dalam konflik antaragama, seperti perusakan rumah ibadah. Salah satunya, diakui Mas'ud, memang karena aturan PBM yang belum tersosialisasi dengan maksimal.

Selain itu, berdasarkan hasil penelitian, konflik besar yang berlangsung lama sering menjadikan agama sebagai faktor antara sebagai pemicu konflik. "Konflik-konflik berskala besar sebenarnya dipicu oleh faktor nonkeagamaan, terutama faktor ekonomi dan politik. Namun, dibungkus dengan isu agama," kata dia.

Secara  faktual, konflik skala kecil disebabkan oleh faktor agama tidak berlangsung lama. Karena, konflik keagamaan biasanya disebabkan kurangnya komunikasi di tingkat akar rumput.

Pemerintah terus berupaya menciptakan kerukunan umat beragama dan toleransi beragama. Beberapa hal yang dilakukan Kemenag untuk mempertahankan kondisi rukun dan menyelesaikan secara bertahap kasus intoleransi, antara lain, meningkatkan dialog multikultural, baik internal agama maupun antaragama, pembinaan keagamaan yang selaras dengan wawasan kebangsaan, dan revitalisasi kearifan lokal.

Untuk kasus yang berkonflik, pemerintah melakukan resolusi konflik dengan rekonsialiasi berkelanjutan di manapun konflik terjadi. Selain itu, pemerintah juga melakukan penanganan pascakonflik dengan peacebuilding. "Peacebuilding dilakukan dengan memprovokasi masyarakat agar mengembangkan integrasi dan meminimalisasi potensi konflik, seperti kerja sama dan dialog," kata dia menjelaskan.

Dalam mengatasi konflik, pemerintah dibantu penyuluh dengan pengetahuan agama dan kemampuan dalam memahami struktur sosial masyarakat, terutama dalam mendeteksi dini kerawanan sosial. "Para penyuluh ini yang berinteraksi dengan masyarakat untuk mengedukasi dan melakukan resolusi konflik," kata dia.

Kepala Bidang Hubungan Antar Agama Badan Litbang dan Diklat Kemenag Muhammad Adlin Sila mengatakan, keberadaan RUU PUB akan menyempurnakan aturan yang selama ini menjadi acuan. Misalnya dalam RUU, diatur siapa yang berhak menyatakan suatu kegiatan merupakan bentuk penodaan agama atau bukan. "Di UU PNPS 1965 itu tidak ada," ujar dia.

Salah satu usulan RUU PUB adalah ada majelis agama yang bisa menjadi saksi ahli di pengadilan yang dapat membuktikan perkataan atau perbuatan seseorang sebagai penodaan agama. "Apakah itu MUI dalam Islam, GWI di Kristen, kami minta tiap agama menentukan otoritasnya," kata dia.

Adlin mencontohkan, kasus pembakaran di Masjid Tolikara yang dipicu oleh GIDI yang bernaung di bawah Persekutuan Gereja dan Lembaga Injili Indonesia. Persatuan ini belum terdaftar di Kemenag sehingga Kemenag tidak bisa membina mereka, apalagi menarik izin mereka.

Sementara itu, Pengamat Agama dan Budaya dari Universitas Boston Robert W Hefner menilai, konflik antarumat beragama, seperti perusakan tempat ibadah, bukanlah disebabkan oleh masalah ekonomi. "Konflik ini tak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga sedang berkembang di seluruh Indonesia. Bukan karena ekonomi, hanya saja Indonesia masih dalam proses untuk menjadi negara maju ," ujarnya menjelaskan.

Hefner menilai, sebagai negara majemuk, kasus konflik antraumat beragama memang sering terjadi. Tak hanya di Indonesia, di negara lain juga terjadi hal serupa, terutama di antara negara-negara berkembang yang biasanya disebabkan imigran dan globalisasi. "Faktor ketidakpuasan salah satu pihak agama bisa menjadi salah satunya, tetapi ini tidaklah mengherankan. Namun, saya optimistis konflik ini mudah diatasi oleh Indonesia karena Indonesia merupakan negara demokrasi," ujar dia.

Cendekiawan Azyumardi Azra mengatakan, faktor penyebab terjadinya kasus perusakan rumah ibadah, baik gereja di Aceh Singkil dan mushala di Tolikara, Papua, ini karena toleransi yang dirusak dan kurangnya sensitivitas agama sosial.

"Konflik di Singkil akibat tidak sensitifnya umat Kristen  karena terus melakukan ekspansi dan agresif dalam membangun gereja, sedangkan kasus di Tanjung Balai, kurangnya toleransi di kalangan warga non-Muslim pada suara azan, juga karena pengurus masjid yang kurang sensitif dengan speaker yang terlalu keras," katanya menjelaskan.

Menurut mantan rektor UIN Syarif Hidayatullah ini, faktor lain adalah karena adanya kesenjangan ekonomi yang kian besar di antara warga keturunan, baik di Tanjung Balai maupun tempat lain seluruh Indonesia, dengan warga lokal yang umumnya Muslim. Kondisi ini justru menyimpan kemarahan laten yang dapat meledak sewaktu-waktu dengan pemicu konflik, seperti tidak toleran pada suara azan.

Azra menyarankan agar Kemenag bekerja sama dengan berbagai pihak untuk terus melakukan upaya yang berkesinambungan. Kemenag bekerja sama dengan Kemendagri memperkuat Forum Kerukunan Umat Beragama.

Dalam masalah rumah ibadah, perlu adanya penegasan aturan bersama Kemenkumham dan Polri. Terkait masalah ekonomi ini, perlu dilakukan bersama dengan kementerian bidang ekonomi dan sosial.

__________________________________
Rep: Ratna Ajeng Tejomukti, ed: Hafidz Muftisany/ Sumber: www.republika.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berbicara adalah hak asasi manusia dari setiap individu, tetapi gunakan hak itu sesuai dengan peraturan yang berlaku serta budaya lokal yang membangun. Salam kasih. Admin