JAKARTA - Bagi kalangan Katolik, melalui film Soegija mereka ingin membuktikan keikutsertaannya dalam dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Menurut mereka film yang mengisahkan pelayanan iman dan perjuangan kemerdekaan Indonesia oleh Uskup Mgr Albertus Soegijapranata SJ ini sarat dengan nilai kebangsaan yang diharapkan dapat diteladani para pemimpin bangsa ini.
Karena itu, seperti diberitakan Suara Pembaruan, Jumat (8/6/2012), pada Kamis malam Ikatan Sarjana Katolik Indonesia (ISKA) menggelar acara nonton bareng film Soegija yang diikuti sekitar 169 penonton. ISKA mengundang pimpinan Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU), Persatuan Inteligensia Kristen Indonesia (PIKI), Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi), Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (Matakin), Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI), dan Nasinapati Institute.
Ketua Presidium Pusat ISKA Muliawan Margadana mengatakan, ada dua hal yang ingin disampaikan melalui pemutaran film ini, yakni pertama, ingin meneruskan semangat kebhinnekaan, pluralisme, dan nasionalisme Indonesia yang dihayati Uskup Soegijapranata dalam film ini. Kedua, mencerminkan spirit dasar organisasi ISKA, yakni solidaritas tanpa sekat.
Menurutnya, setidaknya ada empat teladan utama dari Uskup Soegija yang bisa dipetik, yakni satu kata dan tindakan, kepemimpinan yang mengutamakan kepentingan nasional, kepentingan agama dan negara yang dapat saling mengisi. Juga yang paling penting adalah agama itu membangun, bukan sebaliknya merusak.
Muliaman berpendapat, nasionalisme Soegija dan kecintaannya pada Indonesia, tercermin dengan kuat melalui semboyannya yang masyur yakni "100 % Katolik, 100% Indonesia."
Dalam berita berjudul 'Film Soegijapranata Sarat Nilai Kebangsaan', Suara Pembaruan juga menulis, sosok paling kuat dari Pahlawan Nasional ini adalah kesederhanaan.
Pertanyaannya adalah, benarkah semua klaim kalangan Katolik di atas?. Siapa sesungguhnya Soegija dan ada konspirasi apa di balik upaya besar-besaran untuk mengenalkan dirinya sekarang ini?.
Soegija, Muslim Abangan
Jati diri Soegija, telah diungkap secara lengkap dalam buku "Soegija Si Anak Bethlehem van Java". Buku yang diangkat dari disertasi Dr. Budi Subanar SJ untuk meraih gelar doktor ilmu misiologi di Universitas Gregroriana, Roma, itu telah diterbitkan oleh Penerbit Kanisius pada 2003 lalu.
Biografi itu berkisah tentang perjalanan hidup Soegijapranata, dari masa kanak-kanak dan remaja di Muntilan dan Yogyakarta, periode formasi menuju jenjang imamat di Belanda, hingga kiprah sebagai Vikaris Apostolik (Uskup) Semarang di zaman pendudukan Jepang.
Menurut Subanar, Soegija adalah anak didik Pater van Lith, seorang uskup yang bertugas di kawasan Muntilan, Magelang, Jawa Tengah. van Lith adalah pengajar sekaligus pimpinan di Kolese Xaverius, sekolah yang dirintis para misionaris Katolik berkebangsaan Belanda.
Lahir di Surakarta, 25 November 1896, Soegija adalah anak kelima dari sembilan bersaudara keluarga Islam Jawa (Abangan). Orangtuanya bermukim di Ngabean, Yogyakarta, wilayah tetangga kampung Kauman, tempat tinggal pendiri Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan. Diceritakan Soegija berkarib dengan seorang kawan yang alim, juga bergaul dengan anak-anak nakal.
Pengalaman berjumpa dengan kekristenan didapat Soegija saat ia membesuk ke Rumah Sakit Petronella. Di rumah sakit yang kini bernama Bethesda itu untuk pertama kalinya ia menyaksikan gambar penyaliban Yesus di Bukit Kalvari.
Soegija menempuh pendidikan dasar di Sekolah Rakyat di Ngabean, Wirogunan, dan Hollands Inlandsche School (HIS) di Lempuyangan, Yogyakarta. Ia kemudian melanjutkan sekolah ke Muntilan. Hasratnya untuk melanjutkan belajar di sekolah Muntilan semula ditentang kedua orangtuanya. Orang tuanya khawatir Soegija menjadi kemlondo-londo (kebelanda-belandaan). Tetapi akhirnya ia masuk juga ke sekolah milik misionaris itu.
Usia 14 tahun Murtad
Bersama 54 teman seangkatannya Soegija masuk tahun 1909. Setahun kemudian, ketakutan orangtuanya benar-benar terbukti. Soegija yang saat itu berusia sekitar 14 tahun menyatakan keluar (murtad) dari Islam dan menjadi penganut Katolik. Ia dibaptis dengan nama Albertus sehari sebelum perayaan Natal, 24 Desember 1910. Artinya, semboyannya "100% Katolik, 100% Indonesia" adalah semboyan yang menipu, sebab sebelumnya ia adalah seorang anak Muslim yang lahir dari keluarga Muslim, meskipun Abangan.
Kebanggaannya sebagai seorang murtadin diungkapkan soegija dalam dalam otobiografi yang ditulis dalam bahasa Italia, La Conversione di un Giavanese (Kisah Pertobatan Seorang Jawa). Ia mengatakan bahwa dirinya adalah, "Orang Jawa yang mengalami perjumpaan dengan kekristenan dan mewujudkan cita-citanya sebagai imam untuk mengabdi kepada Tuhan dan bangsanya."
Pendidikan di Kolese Xaverius diselesaikan pada 1915. Setahun kemudian ia praktik magang mengajar di almamaternya. Selama tiga tahun berikutnya bersama Soemarno dan Hardjasoewondo, Soegija menjadi murid Seminari Menengah Muntilan. Ia belajar bahasa Yunani, Latin, dan Prancis guna mendalami Kitab Suci dan kesusastraan klasik.
13 Tahun di Belanda
Beberapa tahap pembinaan rohani dan pendidikan formal di Belanda masih harus dilampauinya. Pada 27 September 1920 ia mulai menjalani tahun pertama sebagai novis di Novisiat Serikat Jesus di Mariendaal.
Soegija termasuk novis pribumi angkatan ketiga yang dididik di Belanda. Di sana, sebagai calon hominus novi (manusia baru), ia belajar latihan rohani dan meditasi di bawah bimbingan Pater Willekens, SJ, seorang padri Jesuit yang pada 1933 dikirim ke Hindia Belanda dan kelak oleh Tahta Suci Vatikan diangkat sebagai Vikaris Apostolik Batavia.
Akhir Agustus 1928, Soegija bertolak kembali ke Belanda untuk belajar teologi di Kota Maastrich. Ketika menjadi mahasiswa teologan, bersama empat Jesuit Asia ia mendapat kesempatan menyertai Jenderal Serikat Jesus, Pater Ledochowsky, beraudiensi dengan Paus Pius XI di Roma. Paus Pius XI adalah penulis surat apostolik Rerum Ecclesiae (1926) yang menekankan kembali pentingnya pendidikan imam pribumi sebagaimana pernah diserukan Paus Benediktus XV pada 1919.
Selama 13 tahun ia belajar di Belanda. Baru pada tahun 1933, Soegija memulai tugas baru sebagai pastor di Gereja Kidulloji. Gereja Katolik di Yogyakarta waktu itu baru ada empat: Kidulloji yang berdiri pada 1869, Gereja Sultanboulevaard (Kotabaru) pada 1922, Gereja Bintaran dan Pugeran sejak 1934.
Sejak 30 September 1940 Soegija mulai berdiam di Semarang. Ia ditahbiskan sebagai Uskup Semarang pada 6 November 1940. Beberapa hari menjelang pelantikannya, Soegija dengan nada berseloroh kepada Pater L. Wevers, SJ, sahabatnya satu kapal sewaktu pulang dari Belanda. "Sekarang saya mengenakan kalung emas yang bersinar dengan salib di dada. Sekarang saya setidaknya berharga 15.000 gulden. Saya juga memiliki barang-barang berharga untuk digadaikan." Jadi ungkapan bahwa Soegija adalah orang yang sederhana, terbantahkan dengan ucapannya ini.
Jepang Datang, Baru 'Melawan'
Disinilah sebenarnya peran yang ingin ditonjolkan melalui film "Soegija". Kalangan Katolik ingin menyampaikan pesan bahwa mereka juga turut serta dalam perjuangan kemerdekaan. Mereka ingin membentuk opini bahwa Indonesia ini bukan hanya diperjuangkan oleh umat Islam dan para ulamanya, tetapi juga oleh kalangan Katolik.
Padahal, jika pesan yang ingin disampaikan adalah seperti demikian, maka semua orang akan menilai hal itu sebagai sesuatu yang ahistoris. Sebab, baik Katolik maupun Protestan, misinya berjalan seiring dengan penjajahan. Mereka masuk bersama VOC dan menyebar juga dibawah kendali VOC. Maka tidak akan ditemukan perlawanan orang Kristen terhadap penjajah VOC maupun Belanda. Berbeda dengan umat Islam yang sejak kedatangan VOC di Nusantara telah menganggap mereka sebagai penjajah dan terus berjuang mengusirnya hingga kemerdekaan pada 1945.
Soegija baru menunjukkan perlawanannya ketika tentara Belanda diusir oleh Jepang dari Indonesia. Ketika Jepang menggantikan posisi Belanda pada 8 Maret 1942, mulailah Jepang membersihkan gereja dengan para misionarisnya, baik yang berkebangsaan Belanda maupun pribumi. Banyak dari kalangan mereka yang ditangkap Belanda. Karena menurut Jepang mereka adalah antek kolonial.
Uskup Soegija memprotes keras tindakan Jepang itu. Ia kemudian berkirim surat ke Kaisaran Jepang di Tokyo menjelaskan bahwa antara Gereja Vatikan dan pemerintah Jepang terdapat hubungan diplomatik. Jadi, balatentara Jepang tidak boleh seenaknya berlaku kejam terhadap para misionaris dan mengambil alih harta milik mereka. Boleh dikatakan perjuangan Soegija adalah mempertahankan properti-properti milik gereja saja.
Pasca Proklamasi, pada 15 Februari 1947 Soegija memindahkan kantor Vikariat Apostoliknya dari Gereja Katedral Semarang ke Gereja Bintaran. Di kompleks Gereja Bintaran yang terletak di tepi timur Kali Code inilah saat Presiden Soekarno diasingkan ke Pulau Bangka, Soegija pernah menyembunyikan dan memberi tempat mengungsi istri Soekarno, Fatmawati, dari kejaran serdadu Belanda. Saat itu Fatmawati baru saja melahirkan bayi perempuan yang bernama Megawati Soekarnoputri, yang lahir 23 Januari 1947 di Kampung Ledok Ratmakan, tepi barat Kali Code. Sejak saat itulah mulai ada hubungan antara Soegija dengan Soekarno.
Soegija meninggal pada 22 Juli 1963 di Steyl, Tegelen, dekat Kota Nijmegen Belanda, di tengah perjalanan dinas menghadiri Konsili Vatikan II. Semula jenazahnya akan dimakamkan di halaman biara induk Serikat Jesus di Belanda. Namun, konon katanya atas permintaan Presiden Soekarno, jasad Soegija dibawa pulang ke Indonesia dengan pesawat penerbangan khusus. Ia dikebumikan di Taman Makam Pahlawan (TMP) Giri Tunggal Semarang 30 Juli 1963.
Kini, di tengah isu intolerasi dan berbagai persoalan pendirian gereja yang bermasalah, nama Soegija mulai diperkenalkan ke publik. Selain film "Soegija", nyaris secara bersamaan, pada 2012 ini Penerbit Gramedia meluncurkan tiga buah buku sekaligus tentang Soegija.
Buku pertama, "Kilasan Kisah Soegijapranata" karya Dr. Gregorius Budi Subanar SJ, diterbitkan atas kerjasama Penerbit Universitas Sanata Dharma Yogyakarta (USD) dan Kepustakaan Populer Gramedia (KPG), 148 halaman. Buku kedua, "Soegija 100% Indonesia" karya Ayu Utami, diterbitkan Kepustakaan Populer Gramedia Jakarta (KPG) bekerjasama dengan Puskat Pictures Yogyakarta, 140 halaman. dan buku ketiga, "Soegija in Frames" karya Puskat Pictures Yogyakarta bekerjasama dengan Kepustakaan Populer Gramedia Jakarta (KPG), 218 halaman.
Menurut mantan misionaris, Bernard Abdul Jabbar, pengangkatan tokoh Soegija ini adalah propaganda Katolik untuk mengangkat citra mereka dalam andil perjuangan bangsa ini.
"Memang tidak ada nuansa pemurtadannya," kata Bernard yang keluarganya juga Katolik dan masih keturunan Keraton Surakarta. Soegija, kata Bernard, juga masih kawan dari kakeknya, Romo Jerum Soekimin Adisusanto.
Bernard bercerita, berdasarkan cerita kakeknya yang juga seorang pastur itu, para Uskup, Pastur dan Romo-romo itu dari dulu hingga zaman konflik bersenjata memang tidak pernah mengangkat senjata. "Kerjanya hanya memberikan pelayanan dan mengajar di berbagai sekolah Katolik saja", jelasnya.
_________________________
Darius Leka,SH/ Sumber: www.suara-islam.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berbicara adalah hak asasi manusia dari setiap individu, tetapi gunakan hak itu sesuai dengan peraturan yang berlaku serta budaya lokal yang membangun. Salam kasih. Admin