Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, pada tanggal 28 April meyampaikan sebuah seruan yang berisi sembilan poin pokok yang ditujukan kepada penceramah agama dan masyarakat luas.
Khotbah seharusanya bukan “melawan elemen etnis, ras atau agama karena itu bisa menimbulkan konflik,” katanya.
“Kotbah seharusanya tidak mengandung penghinaan terhadap keyakinan atau praktik umat lain dan keharusan menghindari provokasi untuk melakukan diskriminasi, intimidasi atau kerusakan.”
Uskup Tanjungkarang Mgr Yohanes Harun Yuwono, ketua Komisi Waligereja untuk Ekumene dan Antaragama menyambut baik himbauan itu dan mengatakan bahwa khotbah seharusnya mempromosikan keharmonisan.
“Sebagai seorang pemimpin agama, saya merasa malu karena seruan untuk menyampaikan khotbah yang baik harus disampaikan oleh pejabat pemerintah,” katanya. “Tidak perlu ada seruan seperti itu jika pemimpin agama memahami tugas mereka dengan lebih baik.”
Gereja Katolik, katanya, menginginkan para imam untuk berkhotbah tentang nilai-nilai luhur kemanusiaan yang membangun persaudaraan sejati. “Tentunya, mereka juga harus mengkhotbahkan keragaman dan cinta untuk semua orang,” katanya.
Lukman mengatakan bahwa seruan tersebut merupakan tanggapan atas keluhan “institusi keagamaan yang menyebarkan perpecahan dan intoleransi” pada pemilu baru-baru ini di Jakarta. “Sejumlah tempat ibadah telah penuh dengan hal-hal yang bisa memicu konflik,” tambahnya.
Pemilihan gubernur DKI Jakarta dirusak oleh gesekan agama dan etnis. Basuki Tjahaja Purnama, yang dikenal sebagai Ahok, seorang Kristen etnis Tionghoa, kalah dari saingannya dari pihak Muslim, Anies Baswedan.
Beberapa masjid dituduh menyemburkan retorika anti-Ahok sebelum pemilihan. Selanjutnya, serangkaian demonstrasi massal menyerukan pemecatan dan penangkapan Ahok setelah dia dituduh menista agama.
Menteri Agama juga mengatakan bahwa seruan tidak mengikat secara hukum. “Pemerintah tidak akan terlalu jauh mencampuri rumah ibadah, pemerintah menghormati otonomi agama,” katanya.
Zainud Tauhid Saadi, wakil ketua Majelis Ulama Indonesia, mendukung seruan tersebut. Namun, tanpa ada sanksi yang mendukungnya, dia khawatir tidak akan berhasil dengan efektif.
Sementara itu, Hendardi, Direktur Setara Institute, mengatakan bahwa seruan tersebut adalah salah satu cara untuk menghentikan pidato kebencian. Namun, seruan tidak akan berdampak signifikan jika tidak ditegakkan.
“Dalam konteks menggunakan masjid untuk menyebarkan sentimen agama dan etnis selama pemilihan, pihak berwenang harus siap untuk bertindak,” katanya.
Pemilu di Jakarta telah menjadi pelajaran bagi kita semua. Kami tidak ingin situasi serupa terulang kembali di masa depan, terutama pada pemilihan presiden 2019, kata Hendardi.
“Kualitas demokrasi tidak hanya berakar pada hasil pemilihan tapi bagaimana proses pemilihan terjadi dan mempromosikan nilai-nilai demokrasi,” katanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berbicara adalah hak asasi manusia dari setiap individu, tetapi gunakan hak itu sesuai dengan peraturan yang berlaku serta budaya lokal yang membangun. Salam kasih. Admin