Selasa, 04 Juli 2017

Sekolah Katolik yang Masih Mempertahankan Nilai Kekatolikan Bagi Anak Kurang Mampu

Para guru di Sekolah St Markus. [HIDUP/ Marchella A. Vieba]
JAKARTA - Yayasan Santo Markus Penginjil Jakarta merayakan pesta emas. Berkat sinergi kaum berjubah dengan umat awam, lembaga pendidikan ini mampu mengarungi tantangan zaman.

Lima dasawarsa bukan waktu yang sebentar untuk berkarya bagi sebuah lembaga pendidikan. Tahun ini lembaga pendidikan Santo Markus Jakarta merayakan pesta emas dalam berkarya di bidang pendidikan. Sebagai bentuk rasa syukur, pada pengujung April lalu, Uskup Agung Jakarta Mgr Ignatius Suharyo memimpin Misa syukur pesta emas lembaga pendidikan Santo Markus. Perayaan digelar di Gereja St Robertus Bellarminus Cililitan, Jakarta Timur. Perayaan ini dihadiri pengurus lembaga pendidikan Santo Markus, orangtua murid, dan umat Paroki Cililitan.

Pesta emas ini mengusung tema “Bersyukur, Membangun Spiritualitas Santo Markus”. Pada kesempatan yang sama, terkait dengan tema yang diusung, lembaga pendidikan Santo Markus juga meluncurkan beberapa buku yang menggambarkan semangat pendidikan Santo Markus. Mgr Suharyo mengatakan, “Kiranya buku-buku ini sungguh mampu dibatinkan dalam diri para murid Sekolah Santo Markus serta semua yang terlibat dalam karya pendidikan ini.”

Awal Karya 
Karya pendidikan Santo Markus tidak bisa lepas dari peran Romo Robertus Bakker SJ. Kala itu, pada 1960, Romo Bakker berkarya di Paroki St Servatius Kampung Sawah, Bekasi. Ia diminta Uskup Agung Jakarta saat itu, Mgr Adrianus Djajasepoetra SJ untuk merintis pendirian paroki baru di daerah Cililitan.

Romo Bakker melihat bahwa keberadaan lembaga pendidikan sangat dibutuhkan umat dan masyarakat di sekitar Cililitan. Lembaga pendidikan ini juga bisa menyemai benih pendirian paroki baru. Pada 1967, didirikan Taman Kanak-kanak (TK) di Cililitan. Karya pendidikan ini dikelola para Suster Penyelenggaraan Ilahi (PI). Sr Inigo PI menjadi kepala sekolah pertama. Sekolah ini terletak di gang kecil, di Jalan Kelapa Gading III, Cililitan. Sarana pendidikan pun masih amat minim.

Setahun berselang, Romo Bakker menyewa sebuah rumah di samping TK, untuk memulai pendidikan Sekolah Dasar. SD ini untuk menampung anak-anak yang telah menyelesaikan TK, serta untuk anak-anak di sekitarnya. Pada 17 Desember 1968, Sr M. Theresia PI diutus sebagai Kepala SD.

Pada 1969, kegiatan belajar-mengajari TK dan SD terpaksa dipindah ke sebuah rumah kayu, lantaran akan dibangun gedung sampai jenjang pendidikan SMP. J. Djojowahjusudibjo menjadi kepala SMP yang pertama.

Setelah karya pendidikan dimulai, Mgr Djajasepoetra menyarankan agar lembaga pendidikan ini bergabung dengan Perkumpulan Strada demi kelancaran proses belajar-mengajar. Anjuran ini pun diterima dengan baik, namun tak berlangsung lama. Pada 1972, lembaga pendidikan ini melepaskan diri dari Perkumpulan Strada, dan pada 15 April 1972 didirikan Yayasan Santo Markus Penginjil untuk mengelola lembaga pendidikan ini. Yayasan diketuai seorang umat awam, Peter Bambang Pujiwo.

Jumlah siswa kala itu 609 anak. Yayasan Santo Markus Penginjil pun tancap gas membenahi lembaga pendidikan yang mereka kelola. Meskipun dengan sarana yang serba terbatas, para siswa SD dan SMP berhasil menorehkan prestasi dengan lulus seratus persen pada ujian pertama setelah yayasan berbadan hukum.

Tantangan
Ketua Pengurus Yayasan Santo Markus Penginjil saat ini, Johanes Karya Sinuraya mengungkapkan, perayaan emas ini sesungguhnya masih banyak menyisakan pelbagai pekerjaan rumah yang harus segera dilakukan. Perayaan syukur ini, menurut Jaya, sebagai sebuah kesadaran bersama agar terus mengayunkan derap langkah ke arah pembenahan dalam berbagai hal. “Kami mengevaluasi untuk mengembalikan Sekolah Markus ke visi misi awal, yaitu sebagai sekolah Katolik untuk orang-orang yang tidak mampu serta setiap program kerja merujuk pada spiritualitas St Markus,” jelasnya.

Peziarahan berkarya di bidang pendidikan selama lima dasawarsa, ucap Jaya, tak selalu berjalan mulus. Perkembangan dunia pendidikan, terutama menjamurnya lembaga-lembaga pendidikan dengan fasilitas yang mumpuni menjadi tantangan dalam mengelola lembaga pendidikan. Hal ini, menurut Jaya, memiliki pengaruh dalam menjalankan roda karya pendidikan Yayasan Santo Markus Penginjil. Tantangan lain pun silih berganti menghampiri, seperti para guru yang memilih hijrah menjadi guru di sekolah negeri dan penurunan jumlah siswa.

Namun, keadaan ini tak membuat yayasan patah arang. Bagi Jaya, tujuan sebuah sekolah bukan untuk mencari siswa sebanyak-banyaknya, melainkan memberi kesempatan bagi mereka yang kurang mampu untuk mendapatkan pendidikan yang sama. Saat ini, jumlah siswa yang menempuh pendidikan di sekolah yang berada di bawah payung Yayasan Santo Markus Penginjil berkisar 700 siswa.

Jaya mengakui, Sekolah St Markus bisa bertahan sampai sekarang tentu tidak lepas dari keterlibatan umat dan para alumnus. Mereka saling terikat dan mengisi dalam pelbagai hal. Selain itu, keterlibatan para imam, biarawan, dan biarawati dalam tata kelola lembaga pendidikan juga menjadi kekhasan sekolah ini. Nilai-nilai kekatolikan masih kental dipertahankan. Menurut Jaya, kehadiran sosok imam, biarawan, dan biarawati dalam lembaga pendidikan membuat para orangtua menaruh kepercayaan untuk menyekolahkan anak-anaknya di sekolah Katolik. “Kalau ilmu pengetahuan mungkin bisa dicari di sekolah lain, tapi urusan keimanan dan spiritualitas itu yang dicari di sekolah Katolik, khususnya Santo Markus. Ini juga bisa menjadi masukan untuk sekolah Katolik lain untuk tetap melibatkan biarawan-biarawati,” ujar Jaya.

________________
Sumber: www.majalah.hidupkatolik.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berbicara adalah hak asasi manusia dari setiap individu, tetapi gunakan hak itu sesuai dengan peraturan yang berlaku serta budaya lokal yang membangun. Salam kasih. Admin