Kisah kelahiran Yesus dalam Injil Lukas diawali oleh berita malaikat. Berita itu pertama kali disampaikan kepada para gembala. Tanpa banyak pertimbangan, para gembala menyambut baik berita itu lalu meninggalkan pekerjaan dan bergegas menuju Bethlehem. Di sana mereka bertemu dengan Yosef, Maria dan Yesus. Bagi para gembala, perjumpaan dengan Yesus bernilai tinggi mengalahkan yang lainnya, termasuk pekerjaan mereka sendiri. Sebab, ketika bertemu dengan Yesus, mereka bertemu dengan kebenaran. Apa yang mereka lihat dan dengar tentang Yesus sungguh nyata dan terbukti. Kebenaran membuat mereka pulang sambil memuji Tuhan. Mereka bahagia. Selanjutnya, mereka menggantikan tugas malaikat membawa kabar kelahiran Sang Juru Selamat kepada khalayak umum. Mereka membawa berita yang benar karena mereka telah bertemu dengan Sang Kebenaran, yaitu Yesus.
Hidup pada zaman sekarang ini, kebenaran tentunya merupakan hal yang sangat dirindukan oleh banyak orang. Pada saat dunia digital menawarkan kebenaran yang semu dan palsu, kita menjadi sulit untuk menemukan kebenaran yang sejati. Banyak sekali masalah yang terjadi di tanah air sulit diungkap kebenarannya, entah itu kasus korupsi, entah itu kasuh sengketa, entah itu kasus kekerasan, entah itu kasus-kasus yang sepele. Betapa sulitnya kita menemukan kebenaran di tengah gurita kepalsuan. Akankah ada sejumlah para gembala yang kita temukan, yang berani bergegas untuk menguak kebenaran dan membeberkannya?
Natal tahun ini dapat kiranya kita maknai sebagai momen penting bertemu dengan Sang Kebenaran. Artinya, kita diajak dan dipanggil untuk menjadi pelaku kebenaran seperti para gembala. Di saat bagi orang lain kepalsuan merupakan pilihan yang paling aman, pada saat yang sama kebenaran bagi kita menjadi pilihan yang tak tergantikan. Hal ini hanya dapat terjadi apabila kita bertemu dengan Yesus. Tanpa perjumpaan dengan Yesus, mustahil ada keyakinan semacam ini.
Kita sering menjumpai fakta bahwa orang mencari keselamatan di dalam kepalsuan-kepalsuan. Orang mencari perlindungan di dalam kebohongan. Orang menyelamatkan harga diri dalam dusta. Orang mencari kemudahan dalam bentuk-bentuk tiruan semata. Orang sibuk membentengi diri dengan topeng-topeng. Orang membungkus kebusukan dengan sikap ayu dan bermanis-manis. Mulut manis di depan, tapi dibelakang aksi tipu-tipu. Bisa saja gurita kepalsuan juga telah menghinggapi diri kita, keluarga kita, lingkungan kita, wilayah kita dan paroki kita. Kita mungkin sudah menjadi bagian mata rantai kepalsuan. Kita menyukai berita-berita palsu dan tidak benar, serta membesar-besarkan berita bohong dan keliru. Kita dengan mudah mencari keselamatan pada kepalsuan. Kita menjunjung harga diri di atas kebusukan. Kita berteriak kencang atas nama dusta. Kiranya Natal menjadi saat yang tepat untuk berbenah diri dan berharap. Bahwa kedatangan Yesus yang lahir di Bethlehem sesungguhnya hendak menghapus kepalsuan dan meneranginya dengan kebenaran. Bersama Yesus yang lahir, kita akan mampu membedakan mana yang benar dan mana yang palsu. Sebab, di dalam Yesus pasti selalu ada kebenaran. Bahkan Dia adalah Sang Kebenaran sejati. Kepadanya kita bisa mencari keselamatan. Pada-Nya kita bisa mengalami damai dan kasih.
Akhirnya, saya mengingatkan kita beberapa saran yang disampaikan oleh Konferensi Wali Gereja Indonesia dalam pesan natal tahun 2011. Di sana dikatakan demikian: Dalam pesan Natal bersama kami tahun ini, kami hendak menggarisbawahi semangat Kedatangan Kristus tersebut dengan bersaksi dan beraksi, bukan hanya untuk perayaan Natal itu saja, tetapi hendaknya juga menjadi semangat hidup kita semua: Sederhana dan bersahaja: Yesus telah lahir di kandang hewan, bukan hanya karena “tidak ada tempat bagi mereka di rumah pengiapan” (Luk. 2:7), tetapi justru karena Dia yang “walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia” (Flp. 2:5-7). Rajin dan giat: seperti para gembala yang “cepat-cepat berangkat dan menjumpai Maria, Yusuf dan bayi itu” (Luk. 2:16). Tanpa membeda-bedakan secara eksklusif: sebagaimana kanak-kanak Yesus juga menerima para Majus dari Timur seperti adanya, apapun warna kulit mereka dan apapun yang menjadi persembahan mereka masing-masing (lih. Mat. 2:11). Tidak juga bersifat dan bersikap separatis, karena Yesus sendiri mengajarkan bahwa “barangsiapa tidak melawan kamu, ia ada di pihak kamu" (Luk. 9:50).
Dari empat poin yang digarisbawahi di atas, kita diarahkan kepada harapan akan diterimanya kenyataan bangsa kita sebagai kegelapan yang perlu mendapat terang, kepalsuan yang perlu mendapat kebenaran. Perayaan Natal adalah saat di mana kita berharap boleh merayakan terkuaknya kebenaran sejati yang dibawa oleh Yesus sendiri. Semoga kelahiran Yesus dapat menjadi pijakan bagi paroki kita untuk berjalan di dalam kebenaran walau di samping kita masih ada gurita kepalsuan. Tuhan Yesus memberkati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berbicara adalah hak asasi manusia dari setiap individu, tetapi gunakan hak itu sesuai dengan peraturan yang berlaku serta budaya lokal yang membangun. Salam kasih. Admin