Oleh: Sdr. Ophin Agut, OFM
|
Injil yang diperdengarkan pada Minggu ini
sedikit memberikan nuansa yang berbeda dan sedikit membingungkan kita. Kog para
murid yang mengalami sendiri kebangkitan Kristus masih juga terheran-heran
dengan peristiwa itu. Kareranya Yesus menyempatkan diri untuk menampakkan diri
dan meringkaskan kembali warta Gembira dari seluruh peristiwa hidupnya. Bahkan ia menegaskan kembali bahwa “Mesias
harus menderita dan bangkit dari antara orang mati…., dan dalam namaNya berita
tentang pertobatan dan pengampunan harus (terus) disampaikan ke seluruh
bangsa…” Pada akhirnya, Yesus menugaskan bahwa kita “kamu adalah saksi dari
semuanya ini.
Menjadi saksi berarti memberikan diri
secara utuh, dengan seluruh pengorbanan dan pelayanan, sambil dengan setia
mengikuti setiap jejak langkah yang telah dicontohkan Kristus sendiri.
Tujuannya agar warta gembira tentang karya keselamatan Allah di tengah dunia,
melalui Kristus PuteraNya, semakin dikenal oleh segala bangsa. Pertanyaannya
adalah apakah kita telah siap menjadi saksi?
Apabila ingin jujur, sulitlah bagi kita
untuk menemukan pribadi-pribadi yang sungguh-sungguh merelakan diri untuk
menjadi saksi. Pribadi manusia sekarang ini, sepertinya terpenjara dalam
nilai-nilai negatif, seperti egoisme, individualisme, konsumerisme, hedonisme,
dan –isme lainnya. Segala tindakan yang dilakukan kerapkali dihitung berdasar
untung-rugi, menang-kalah. Apalagi kalau berbicara soal agama dan tindakan
konkrit bagi agama (=Gereja). Nilai-nilai agama dan religiositas sudah menjadi
kabur, dan digantikan nilai-nilai negatif tersebut. Orang modern mungkin ‘muak’
dengan agama karena terlalu mengekang dan dogmatik. Nilai religiositas menjadi
terasing mungkin karena terarah pada yang abstrak (Tuhan).
Alm. Romo Mangun pernah mengeluhkan hal ini
dengan mengatakan bahwa tindakan bagi agama (menjadi saksi) dirasakan penuh
risiko dan sarat akan bahaya gagal. Orang-orang sekarang lebih suka dengan
budaya menjiplak atau hanya ingin yang ‘instant’. Padahal, justru nilai-nilai
religiositaslah yang masih menampilkan kejujuran hidup manusia. Justru ketika
manusia terarah pada Tuhan dan tugas perutusannya di dunia, manusia akan merasa
telanjang, akan merasa berdosa, akan merasa kurang. Perjuangan hidup manusia
dalam semua aspeknya merupakan suatu upaya untuk ke arah yang lebih baik. Dan,
itu telah ada dalam Gereja dan tugas perutusan Gereja.
Lantas apa yang dapat kita lakukan? Konkretisasi
perwujudan diri tersebut, sebenarnya begitu mudah dilakukan. Kenyataan yang
terjadi sekarang ini adalah bahwa keadilan dan penghargaan akan kehidupan itu
sudah kurang. Dalam bahasa iman, dosa sudah merasuki hati setiap orang, karena
mereka lupa akan Allah dan berpaling dari cinta-Nya. Kebangkitan Kristus yang
baru kita rayakan kiranya mengingatkan sekaligus menyadarkan kita untuk segera
berpaling pada Allah dan menyerahkan segala tugas perutusan kita kepadaNya.
Allah yang menjadi manusia dalam Yesus Kristus, Ia yang menderita, wafat adalah
wujud konkrit solidaritas Allah pada manusia. Allah mau terlibat dalam setiap
situasi hidup kita. Bahkan, Ia menebus kita dan mengalahkan kuasa maut demi
keselamatan kita.
Solidaritas seperti inilah yang harusnya
diperjuangkan dan ada dalam pemahaman umat kristiani. Solidaritas kepada sesama
bukan melulu soal perjuangan kesetaraan dan haknya dalam hubungan dengan orang
lain, tetapi terutama solidaritas kepada Allah yang lebih dahulu solider kepada
kita. Berhadapan dengan situasi ketidakadilan, penindasan dan kemiskinan,
ajakan yang perlu disuarakan adalah agar kita semakin menghidupi kehidupan ini dengan baik dan
penuh cinta. Ajakan ini mempunyai implikasi bagi penghargaan martabat manusia.
Dalam moment solidaritas kepada Allah dan sesama, setiap orang haruslah melihat
sesamanya sebagai pribadi yang bermartabat. Dengan solidaritas, kita diundang untuk
memandang pihak lain tidak lagi sebagai alat (objek), tetapi sebagai partner
atau rekan sekerja.
Kita masih berada dalam suasana Paskah,
suasana yang penuh dengan kegembiraan dan sukacita. Kristus telah bangkit dan
mengalahkan kuasa maut. KebangkitanNya memberikan harapan baru akan situasi
hidup yang menjanjikan. Oleh kebangkitan Kristus, yang buruk diubah menjadi
baik, yang dulunya bersedih kini dapat tertawa, yang dulunya penuh dosa kini
telah ditebus oleh darah Kristus dan dibangkitkan bersama Kristus yang bangkit.
Seperti Petrus yang akhirnya berani bersaksi tentang Kristus dan seluruh
peristiwa hidup Yesus, kita pun diajak untuk menjadi saksi bagi sesama di
sekitar kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berbicara adalah hak asasi manusia dari setiap individu, tetapi gunakan hak itu sesuai dengan peraturan yang berlaku serta budaya lokal yang membangun. Salam kasih. Admin