Kamis, 09 Februari 2017

Antara iman dan mengikuti Yesus di Filipina

Ratusan ribu orang bergabung dalam prosesi patung Black Nazarene pada pekan kedua Januari untuk menunjukkan devosi mereka terhadap penderitaan Yesus.
Pada awal setiap tahun baru, warga Filipina menggelar perayaan meriah yang banyak orang mengatakan untuk mewujudkan iman Kristen seseorang yang diperkenalkan sekitar lima abad lalu.
Dikalahkan salib dan pedang oleh para penjajah Spanyol, warga Filipina mengembangkan cara-cara kreatif untuk merayakan “religiusitas” mereka.

Setiap 9 Januari, jutaan devosan yang berani menerjang di tengah panasnya matahari dan massa yang membeludak untuk bergabung dalam prosesi patung Yesus yang telah hangus yang membawa salib-Nya di jalan-jalan ibukota Manila. Tahun ini, kegiatan itu berlangsung lebih dari 20 jam dengan dihadiri sekitar 1,5 juta orang.

Seminggu kemudian, ratusan ribu orang mengadakan perayaan besar lainnya, pesta Anak Yesus (Santo Nino) di kota Cebu, Filipina tengah. Patung Anak Yesus setinggi 38 cm tersebut, dibawa ke pulau itu oleh penjelajah Portugis Ferdinan Magellan tahun 1521, diarak keliling kota itu.

Patung Black Nazarene dan patung Santo Nino de Cebu adalah obyek devosi paling populer di negeri ini. Devosi kepada gambar-gambar ini telah dijelaskan oleh banyak orang sebagai tampilan yang menakjubkan dengan kesalehan dari massa yang besar, sebuah fenomena yang tak tertandingi di seluruh dunia.

Juga untuk menghormati bayi Yesus, perayaan yang sama berwarna-warni, ati-atihan, dirayakan di Provinsi Panay, sebuah pulau, yang juga di Filipina tengah, setiap minggu ketiga Januari. Tarian, musik, dan berbagai pakaian berwarna-warni menyoroti perayaan itu. Hal ini telah menjadi daya tarik wisata yang membawa ribuan warga asing ke negara itu setiap tahun.

Para devosan yakin bahwa gambar-gambar ajaib ini dan devosi kepada penderitaan Yesus dan anak Yesus dapat menyembuhkan penyakit, mengatasi masalah keuangan, memperbaiki hubungan, dan lain-lain.

Sebuah survei Global Attitudes 2015 yang dilakukan oleh Pew Research Center di Amerika Serikat mencatat bahwa Filipina berada pada peringkat ke-10 dari 40 negara yang memiliki  “religiusitas.” Penelitian ini mengamati bahwa negara-negara yang berada di peringkat 10 besar tersebut adalah negara miskin.


Apakah kemiskinan terkait dengan iman yang mendalam rakyat Filipina kepada Tuhan? Apakah ada janji tentang kehidupan kekal di surga dan takut api neraka meresapi semangat religiusitas masyarakat? Apakah bukan bentuk pelarian dari kesulitan hidup? Apakah tidak ada garis tipis antara religiusitas dan fanatisme?

Para devosan berisiko akan keselamatan fisik dan berjalan di tengah kerumunan besar orang di bawah panas terik matahari, tetapi mereka tidak pernah mengeluh. Bagi mereka yang lebih penting adalah mengalami penderitaan Yesus yang wafat di kayu salib untuk menebus banyak orang.

Warga Filipina telah melakukan “pengorbanan” ini selama bertahun-tahun sebagai pemenuhan janji dalam pertukaran untuk jawaban positif untuk permohonan mereka. Bagi beberapa orang, kesulitan adalah sebuah bentuk adorasi dan rasa syukur atas berkat yang diterima. Dan bagi mereka yang membutuhkan untuk menebus dosa-dosa mereka, dengan berjalan tanpa alas kaki selama 20 jam di belakang patung Black Nazarene sebagai bentuk pertobatan.

Kekristenan adalah kontribusi utama Spanyol ke Filipina. Iman dan religiusitas masyarakat adalah layak menerima pujian. Kebajikan kesalehan yang sangat mendalam bertahun-tahun adalah sesuatu yang dapat mendorong dunia di mana orang mencari makna yang mendalam di tengah-tengah perasaan hampa.

Namun tampaknya ada kesenjangan yang besar antara iman rakyat Filipina dan respon mereka terhadap tantangan Kristenitas. Meskipun “religiusitas” rakyat Filipina, ada keheningan memekakkan telinga, misalnya,  serentetan pembunuhan pecandu narkoba yang diduga dalam beberapa bulan terakhir.

Iman Kristen kita mengajarkan kita untuk mengasihi Tuhan dan sesama kita. Ini telah berada dalam berbagai pernyataan Gereja, termasuk “Gereja di Dunia Modern,” sebuah dokumen yang luar biasa dari Konsili Vatikan II yang berbicara tentang martabat pribadi manusia.

Filipina sedang menghadapi krisis hak asasi manusia yang serius dengan ribuan pengguna dan bandar narkoba yang dicurigai dibunuh oleh kelompok main hakim sendiri. Untuk mengkonkretkan “religiusitas,” warga Filipina harus kembali ke dasar-dasar iman mereka dan memecah keheningan memekakkan telinga. Apakah sikap apatis dengan situasi tersebut adalah tidak dosa?

Orang-orang di negara Kristen ini masih harus melakukan perjalanan jauh untuk dapat menerjemahkan iman mereka dalam protes kolektif terhadap Perintah Allah Kelima – “Jangan membunuh.”

Menerjemahkan iman ke dalam tindakan bukan hanya tantangan untuk warga Filipina, tapi kewajiban jika mereka ingin meniru contoh Yesus Kristus yang mati sehingga orang lain dapat hidup.
Mary Aileen Bacalso adalah sekretaris jenderal Asian Federation Against Involuntary Disappearances. Atas komitemenya pada HAM, pemerintah Argentina memberikan penghargaan Emilio Mignone International Human Rights Prize in 2013.
Sumber: ucanews.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berbicara adalah hak asasi manusia dari setiap individu, tetapi gunakan hak itu sesuai dengan peraturan yang berlaku serta budaya lokal yang membangun. Salam kasih. Admin