Rabu, 22 Februari 2017

Kisah Piluh, Melawan Badai Maut di Laut Asmat

 “Suster kita berdoa, supaya kita kuat. Kita kuat bukan untuk sampai ke darat, tetapi untuk menghadapi kematian,” ungkap Pastor Sipri, Pr.

Minggu, 29 Januari 2017, setelah makan siang, Sr. Cecilia Kelbulan, TMM bercerita dengan Pastor Sipri Koten, Pr di meja makan. Di dalam cerita itu, ia bertanya kepada Pastor Sipri kapan bisa ke Agats. “Pastor, kapan ke Agats?” tanyanya saat itu. Dengan nada santai, Pastor Sipri menjawab, “Suster, saya belum punya kepentingan untuk ke Agats.” Setelah mendengarkan jawaban itu, Sr. Cecilia, TMM berkisah tentang tugas yang sedang diembannya yakni mesti menyerahkan berkas peserta ujian nasional ke kantor Dinas Pendidikan dan Pengajaran Kabupaten Asmat, di Agats. Ia minta kepada Pastor supaya mereka bisa pergi ke Agats. Mendengar ungkapan suster itu, Pastor Sipri, yang sejak 22 Agustus 2015 bertugas di Paroki Bayun menyanggupi permintaan suster sambil melihat perkembangan cuaca. “Suster, kita lihat cuaca, kalau cuaca bagus, kita jalan,” tuturnya saat itu.

Kisah siang itu berlanjut hingga malam hari di meja makan. “Pastor, hari ini laut teduh,” ungkap Sr. Cecilia Kelbulan, TMM kepada Pastor Sipri. “Baik Suster. Kalau laut teduh, besok pagi kita jalan. Kepastiannya nanti besok pagi-pagi saya ke pantai untuk lihat kondisi laut,” jawab Pastor Sipri.

Senin, 30 Januari 2017, sebelum matahari terbit di ufuk Timur, Pastor Sipri beranjak ke tepi pantai yang berjarak satu kilo meter dari pastoran. Ia memantau kondisi laut. “Subuh menjelang pagi itu, saya melihat laut teduh. Saya pastikan kami bisa ke Agats, sehingga saya minta calon frater yang sedang menjalani masa persiapan (Maper) untuk memanggil suster supaya siap ke Agats,” tutur Pastor Sipri mengenang kisah pagi itu.


Pukul 06.30 WIT, cuaca cerah. Pastor Sipri, Pr bersama Sr. Cecilia Kelbulan, TMM dan Sr. Hurbertina Labok beranjak ke dermaga tempat speed boat ditambatkan. Ketiganya masuk ke dalam speed boat dan beranjak ke Agats. Kondisi laut teduh. Tidak tampak bahwa akan ada badai.

Pukul 07.15 WIT, Pastor Sipri dan kedua Saudarinya berangkat ke Agats. Pastor Sipri yang mengemudikan speed boat. Di dalam perjalanan itu, suasana ceriah tampak di antara ketiga pelayan Tuhan itu. “Kami saling bercerita satu sama lain. Hanya saya lihat Sr. Cecilia khusuk dalam doa semenjak  kami meninggalkan dermaga Bayun,” tutuk Pastor Sipri.

Mesin Speed Boat Mati
Kisah pilu berujung pada kematian tragis Sr. Cecilia Kelbulan, TMM di tengah samudra Pasitifik dimulai ketika mesin speed boat mati di daerah Bokap, beberapa kilo meter sebelum masuk kota Agats. Saat itu, sudah pukul 10.30 WIT. “Mesin mati di daerah Bokap, sudah dekat Agats. Saya berusaha membersihkan mesin karburator dan gelas minyak. Setelah saya pasang dan hidupkan, ternyata mesin tidak bisa hidup,” ungkapnya.

Alternatif yang diambil waktu itu adalah dengan mendayung speed. Pastor Sipri mencoba sekuat tenaga untuk mendayung speed ke tepi pantai. Daya upayanya tidak membuahkan hasil. Arus dan gelombang semakin deras. “Saya berusaha dayung, tetapi arus semakin kencang, sehingga kami sepakat untuk ikut arus. Kami percaya akan ada orang yang lewat dan bisa menolong kami” tuturnya.

Hari beranjak siang. Badai dan gelombang semakin bergelora. Speed boat semakin jauh dari daratan. Di tengah situasi ini, ketiga pelayan Allah di tanah Asmat ini saling menguatkan satu sama lain. “Kami sudah kehilangan akal. Kami saling menguatkan satu sama lain. Terutama, saya meyakinkan  kedua suster bahwa kami akan terdampar di tepi pantai,” tutur Pastor Sipri.

Ironisnya, menjelang sore daratan semakin tidak tampak. Speed boat terhempas oleh arus dan gelombang ke tengah samudra pasifik. Di tengah situasi itu, Pastor Sipri mengungkapkan kekecewaannya. “Suster, saya seperti tidak yakin lagi pada Tuhan. Saya gelisah. Ombak dan angin semakin besar. Tapi, saya lihat suster punya raut wajah sangat tenang, teduh dan tidak panik. Hal ini meyakinkan saya bahwa kami akan sampai di darat,” ungkap Pastor Sipri.
Pastor Sipri Koten, Pr
Hari semakin malam. Ketiga pelayan Allah ini terseret angin dan gelombang ke tengah laut. Ketiganya terombang-ambing di dalam speed boat, tanpa mengetahui kapan bisa terdampar di tepi pantai. Di dalam kegalauan di tengah malam itu, mereka tetap berharap akan datangnya pertolongan. Namun, malam itu berlalu tanpa ada yang menolong. “Pukul 22.00 WIT, saya coba keluar dari speed boat dan melihat kami semakin menjauh dari mercusuar Atjs. Saya pikir, kami akan terdampar di Wanam” kata Pastor Sipri.

Hari telah berganti. Dini hari, Selasa, 31 Januari 2017, pukul 01.00 WIT, hujan, badai dan gelombang menghantam speed boat yang terombang-ambing di tengah laut lepas itu. Ketiganya bergulat dengan maut. Pada akhirnya, ketiganya pasrah pada penyelenggaraan Allah. “Kami tidak takut mati lagi. Kami tidak merasa lapar” tutur Pastor Sipri dengan nada merendah.

Inilah hari kedua ketiga pelayan Allah ini terhempas di tengah samudra pasifik. Semakin siang, hujan, gelombang dan badai kian ganas. Dalam situasi seperti itu, ketiganya berpasrah diri. “Suster, kita terima saja. Terserah Tuhan mau bawa kita ke mana,” cerita Pastor Sipri.

Hari menjelang malam, tetapi gelombang dan badai tidak kunjung redah. Tidak ada lagi harapan akan sampai di darat. “Suster kita berdoa, supaya kita kuat. Kita kuat bukan untuk sampai ke darat, tetapi untuk menghadapi kematian,” ungkap Pastor Sipri.

Malam hari, Sr. Cecilia Kelbulan, TMM mengambil jam milik Pastor Sipri. Ia berusaha melihat angka pada jarum jam itu. Ia berujar, “Pastor sudah jam sepuluh malam. Berarti kita masih lama,” tutur suster. Menanggapi pernyataan suster itu, Pastor Sipri menjawab, “Tidak apa-apa suster, Tuhan tidak menutup mata terhadap kita.”

Malam semakin larut. Raut wajah ketiganya semakin lelah. Tidak ada harapan untuk bisa bertahan hidup. Dalam situasi itu, Pastor Sipri merangkul kedua saudarinya. Ketiganya larut dalam doa penyerahan. “Kami berdoa bukan supaya Tuhan mengantar kami ke darat, tetapi supaya jiwa mendapatkan keteduhan. Karena saya lihat ombak dan angin yang begitu besar sehingga tidak ada harapan bahwa kami akan selamat,” tutur Pastor Sipri.

Usai berdoa, Pastor Sipri mengakukan dirinya sebagai hamba paling berdosa. “Suster, kita ini manusia berdosa. Dan di dunia ini, saya yang paling berdosa.  Tetapi, saya yakin dan percaya bahwa tangan saya diurapi, sehingga saya keluar dari speed dan berdiri dekat mesin dan memberkati laut. Sesudah itu, laut teduh sekitar lima belas menit,” cerita Pastor Sipri.

Speed Boat Tenggelam: Saudari Maut Menjemput Sr. Cecilia Kelbulan, TMM
Pukul 23.00 WIT, laut kembali mengamuk dengan dasyat. Gelombang dan badai datang silih berganti menghantam speed. Malam gelap gulit, tak ada sesuatu pun yang tampak. Dalam kondisi gelap itulah speed terhempas oleh ganasnya gelombang dan terbalik. “Saat speed terbalik, kami bertiga ada di dalam speed. Suster Labok yang keluar duluan. Kami bertahan dengan pegang di tepi speed. Gelombang dan badai semakin besar. Setiap kali terhempas ombak, kami punya tangan terlepas dari speed sehingga harus berjuang untuk cari dan pegang tepi speed,” tutur Pastor Sipri.

Terendam di dalam samudra. Untaian doa pengharapan terus terlontar, “Tuhan, tolong kami,” pinta Sr. Cecilia Kelbulan, TMM sebagaimana diungkapkan oleh Pastor Sipri. Sr. Cecilia Kelbulan, TMM tetap berjuang hidup. Ia memiliki semangat bertahan. “Suster berjuang satu jam lebih untuk bertahan dari hempasan badai dan gelombang,” tutur Pastor Sipri.

Di tengah gelombang dan badai, Pastor Sipri tetap memberikan semangat. Ia berpesan supaya mereka tetap memegang tepi speed. Tidak boleh ada yang melepasnya. “Saya bilang, kami harus tetap pegang speed. Kalau sudah tidak mampu, saya akan perintahkan untuk lepas sama-sama,” tuturnya dengan nada senduh mengenang kejadian tragis itu.

Dalam perjuangan melawan badai maut itu, Sr. Cecilia Kelbulan, TMM berujar kepada Pastor Sipri, “Pastor, saya sudah tidak mampu lagi.” Namun, Pastor Sipri tetap memberikan semangat, “Suster, tetap bertahan.” Raga Sr. Cecilia Kelbulan, TMM sudah lelah. Ia sudah pasrah pada Saudari Maut. Namun, Pastor Sipri masih berjuang merangkul suster. Ia mau supaya ketiganya bertahan bersama-sama. 

Saudari Maut semakin mendekat, Sr. Cecilia Kelbulan, TMM sudah siap. Ia pasrah pada rencana Tuhan bagi hidupnya. Ia memisahkan diri dari Pastor Sipri. Ia tenggelam. Namun, beberapa saat kemudian, ia muncul ke permukaan. Ia memeluk dan merangkul Saudari sekomunitasnya, Sr. Hurbertina Labok, TMM. Selanjutnya, ia pergi untuk selamanya menghadap Allah, Sang Pencipta.

Sr. Cecilia Kelbulan TMM
Pastor Sipri dan Sr. Labok, TMM masih tetap bertahan dengan memegang tepi speed boat. Keduanya meminta agar Sr. Cecilia Kelbulan, TMM yang telah mendahului mereka menghadap Sang Pencipta untuk menolong mereke berdua. “Suster, bantu kami. Antar kami ke darat dan jangan jauh dari kami,” tutur Pastor Sipri mengenang malam kelam di tengah samudra pasifik itu. Ia menambahkan, “Setiap kali dihantam ombak, kami memohon Tuhan mengantar kami ke darat.”

Setelah dua hari dan dua malam di tengah laut lepas, memasuki dini hari ketiga, Rabu, 1 Februari 2017, sekitar pukul 03.00 WIT, Pastor Sipri dan Sr. Hubertina Labok, TMM  menginjakkan kaki di tepi pantai yang berlumpur. Keduanya tidak tahu sedang berada di mana. “Gelombang dan badai menghantam kami sehingga kami terhempas ke tepi. Saya melihat sesuatu di depan sana, tetapi tampak gelap. Saya kira itu lumpur hidup yang biasa orang cerita. Mata saya seperti tertutup lumpur. Beberapa saat kemudian, ombak besar menghantam kami dan kaki saya tiba-tiba menginjak lumpur. Saya yakin itu daratan. Saya tanya Sr. Hubertina Labok, TMM apakah dia juga bisa menginjak lumpur, tetapi dia bilang tidak. Kami tetap pegang tepi speed. Waktu itu, Sr. Hubertina Labok, TMM sudah mau menyerah, tetapi saya tetap merangkulnya. Saya ikat dia punya tangan. Setiap kali terhempas ombak, saya arahkan dia ke punggung speed. Kami bertahan. Pada saat ombak menghempas kami semakin ke tepi, saya menarik Sr. Hubertina Labok, TMM dan kami langsung berada di tepi pantai yang berlumpur. Pada saat kaki menginjak lumpur itu, saya rasa lega, seperti ada di surga,” kenang Pastor Sipri.

Berlindung di Atas Pohon
Waktu itu masih subuh. Gelap gulita. Hujan dan angin kencang masih berlangsung. Kini, Pastor Sipri dan Sr. Hubertina Labok, TMM menghadapi lumpur yang dalam. Daratan masih jauh dari mereka.

Pada saat berjuang melintasi medan lumpur di tepi laut itu, keduanya berpapasan dengan sebatang pohon bakau berukuran besar. Pastor Sipri minta kepada Sr. Hubertina Labok, TMM keduanya memanjat pohon itu dan beristirahat hingga pagi. Hal ini dilakukan untuk menghindari kemungkinan datangnya badai dan gelombang besar yang bisa menghempas keduanya kembali ke tengah laut.

Keduanya memanjat pohon bakau itu dan berlindung. “Di atas pohon, kami tidak tidur. Kami berjaga. Saya rasa dingin sekali karena tidak ada pakaian lagi di badan. Saya tanya suster, apakah dia memakai baju alas. Ternyata suster memakainya, sehingga saya minta dia punya jubah untuk tutup saya punya badan yang kedinginan itu,” kisah Pastor Sipri.

Pastor Sipri berkisah, keduanya turun dari pohon sekitar pukul 07.00 WIT, waktu itu hujan dan badai masih bergelora, tetapi hari mulai terang. Daratan masih agak jauh. Lumpur dalam. Sr. Labok, TMM bertubuh pendek. Ia tidak bisa jalan di atas lumpur.  “Lumpur dalam. Sr. Hubertina Labok, TMM pendek sehingga tidak bisa jalan. Saya suruh dia tidur baru saya tarik ke darat karena kalau paksa jalan kami dua pasti tidak sampai di darat,” tutur Pastor Sipri. 

Mendapat Pertolongan
Sesampainya di darat, keduanya berinisiatif mencari makanan dan minuman. Mereka mencari siput dan pucuk pandan untuk dimakan. Mereka minum air hujan yang ada di bekas gelas aqua yang berada di hutan belantara itu. Walaupun kotor mereka meminumnya. Sesudah mengisi perut dengan makanan dan minuman seadanya, keduanya mencoba mencari bevak di sekitar daratan itu.

“Kami berjalan ke arah sebelah kiri, tetapi tidak menemukan bevak. Pada saat kembali, saya melihat ada perahu. Saya panggil dan Bapak itu datang. Dia tanya, ‘kamu siapa?’ Saya bilang, ‘Saya Pastor Sipri. Kami mengalami musibah.’ Bapa itu turun dari perahu. Dia peluk dan cium saya, lalu menangis. Saya tanya di Bapa itu, ini di mana? Bapa itu bilang, ‘Ini di Ocenep’. Saya lega karena ternyata kami masih di Asmat. Saya minta air minum dan sagu di Bapa itu. Ia memberikan air minum di jerigen lima liter dan dua potong sagu. Saya dan suster makan. Setelah itu, saya minta Bapa itu pergi ke Pastor Bavo di Basim untuk menyampaikan peristiwa kecelakaan yang kami alami. Bapa itu pun pergi. Rupanya, ia memberitahu beberapa keluarga yang dijumpainya di bevak yang berdekatan dengan tempat kami berada sehingga tidak lama kemudian, masyarakat datang. Mereka menangis sedih,” tutur Pastor Sipri mengenang kejadian memilukan itu.

Matahari beranjak naik. Suasana mendung masih menyelimuti daerah Ocenep. Masyarakat yang datang menangis sedih menyaksikan peristiwa yang menelan korban pelayan Allah itu. Di tengah situasi itu, Pastor Sipri dan Sr. Hubertina Labok, TMM tetap tegar. “Kamu jangan menangis. Kita harus balik speed untuk menemukan Sr. Cecilia Kelbulan, TMM,” ungkap Pastor Sipri. Tetapi, masyarakat menjawab, “Pastor, kami sudah dapat suster di samping speed.”

Setelah menunggu sekian lama, sekitar pukul 15.00 WIT, Pastor Bavo, Pr dan masyarakat dari Basim datang, lalu mengevakuasi jenasah Sr. Cecilia Kelbulan, TMM ke Basim. Di sana, jasad Sr. Cecilia Kelbulan, TMM dimandikan. Kemudian, pukul 16.00 WIT jasad Sr. Cecilia Kelbulan, TMM dibawa ke Agats. Perjalanan ke Agats berlangsung lancar. Pukul 18.00 WIT, iringan speed yang mengantar jasad Sr. Cecilia Kelbulan, TMM tiba di Agats. Isak tangis menyambut kedatangan salah satu pendidik di tanah Asmat ini. Jasadnya, terlebih dahulu dibaringkan di rumah komunitas TMM di Agats. Sesudah itu, dibawa ke gedung pusat pengembangan pastoral Keuskupan Agats.

Kamis, 2 Februari 2017, jasad Sr. Cecilia Kelbulan, TMM dikebumikan di tanah lumpur Asmat. Ia dimakamkan di samping gedung gereja Katedral yang sedang dibangun. Kematiannya dalam perjalanan ke Agats untuk mengurus pendidikan bagi anak-anak Asmat menyimbolkan jiwa pengorbanannya bagi segenap masyarakat Asmat. Ia rela mempertaruhkan nyawanya untuk masa depan anak-anak Asmat. Ia akan dikenang selamanya sebagai sosok guru yang melayani sampai akhir hayat.

Selamat jalan Sr. Cecilia Kelbulan, TMM. Kami mengiringi kepergianmu dengan doa sembari akan berjuang meneruskan semangatmu dalam melayani anak-anak Asmat. (Agats, 14 Februari 2017_Petrus Pit Supardi).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berbicara adalah hak asasi manusia dari setiap individu, tetapi gunakan hak itu sesuai dengan peraturan yang berlaku serta budaya lokal yang membangun. Salam kasih. Admin