KOLEKSI museum biasanya dimiliki oleh pemilik museum secara pribadi, yayasan, atau pemerintah.
Namun,
 di Museum Pusaka Karo, Kota Berastagi, Sumatera Utara, koleksi museum 
adalah barang-barang milik puluhan warga yang dipinjamkan kepada museum 
untuk dipajang.
Jika sewaktu-waktu pemiliknya membutuhkannya, ia 
bisa mengambilnya kembali. Sedikitnya ada 30 orang yang terdaftar 
menyerahkan barang-barangnya ke museum tersebut.
Barang-barang 
itu seperti aneka macam perhiasan khas Karo, senjata, peralatan rumah 
tangga, kain, dan berbagai peninggalan kebudayaan Karo.
Mereka adalah warga Karo yang tinggal di Kabupaten Karo ataupun di sejumlah daerah, baik di dalam negeri maupun di luar negeri.
”Kebanyakan
 koleksi kami terutama yang mahal-mahal itu titipan. Tetapi, ada juga 
yang hibah,” kata Leo Joosten Ginting, OFM Cap (78), pendiri Museum 
Pusaka Karo.
Benda-benda itu sewaktu-waktu bisa diambil jika pemilik membutuhkannya.
Mehemoni
 br Tarigan (37) bahkan menitipkan ratusan benda koleksinya ke museum 
itu dari berbagai perhiasan, uis (ulos karo, kain tradisional untuk 
dikenakan perempuan karo dalam berbagai acara adat), hingga senjata.
”Kalau
 saya simpan di rumah, cuma saya sendiri yang melihat. Tetapi, kalau ada
 di museum, banyak orang yang melihat dan bisa belajar dari benda-benda 
itu,” tutur perempuan Karo yang bermukim di Bali itu, Selasa (10/1/2017).
Monic, begitu ia biasa disapa, bahkan menyediakan sendiri lemari-lemari kaca untuk tempat pajangan benda-benda itu.
”Kadang-kadang
 saya bahkan tidak tahu apa nama benda itu dan apa kegunaannya. Kalau di
 museum, ada kuratornya yang tahu benda-benda itu dan apa kegunaannya,” 
tutur Monic, yang memang kolektor benda-benda kuno itu.
Ia memercayakan barang-barangnya ke museum karena sejauh ini museum 
merawat dan menjaga benda-benda itu dengan baik. ”Kalau tidak dirawat 
baik tentu saya ambil kembali,” kata Monic.
Apalagi, banyak anak-anak sekolah yang bisa belajar dari benda-benda itu.
Lain
 halnya dengan Darta Surbakti (28), warga Berastagi yang menitipkan tiga
 benda ke museum, yakni satu pisau milik kakeknya dan dua tempat menutu 
sirih milik kakek buyutnya.
 ”Di rumah, benda-benda peninggalan itu disimpan di lemari. Tetapi, kalau
 di museum, bisa dilihat banyak orang dan berguna untuk pengetahuan,” 
tutur Darta.
Ia lalu meminta izin orangtuanya untuk membawa barang-barang ke museum dan orangtuanya memperbolehkan.
”Iting
 (kakek) saya veteran perang, ada buku-buku catatannya dan 
teman-temannya yang kami simpan. Saya juga ingin buku itu dipajang di 
museum, tetapi orangtua saya belum memperbolehkan,” kata Darta.
Meski demikian, suatu saat nanti ia ingin meminjamkan ke museum.
Ikonik
Museum
 itu diresmikan pada Februari 2013. Museum Pusaka Karo menempati gedung 
mungil ukuran sekitar 8 x 10 meter bekas Gereja Katolik Santa Maria, 
Berastagi.
Tempatnya tak jauh dari Bundaran Tugu Proklamasi Berastagi, dekat dengan Pasar Buah Berastagi.
Selama tiga tahun beroperasi hingga 10 Januari lalu, tercatat ada 15.810 orang yang mencatatkan diri di buku tamu.
Selain
 warga lokal terutama anak-anak sekolah, pengunjung dari sejumlah negara
 juga hadir terutama negara-negara Eropa, seperti Austria, Belanda, dan 
Inggris. Pengunjung bebas masuk tanpa harus membeli tiket.
Museum
 menjadi sangat ikonik di tengah lesunya pariwisata Berastagi akibat 
erupsi Gunung Sinabung. Penataan koleksinya cukup rapi dan bersih di 
tengah penataan situs-situs wisata di Berastagi yang semrawut.
”Kami
 sudah memiliki 800 koleksi barang, tetapi baru 600 yang bisa dipajang 
karena tempatnya sempit,” kata kurator Museum Pusaka Karo, Kriswanto 
Ginting.
Dari 600 barang berharga yang dipajang itu, sangat 
terlihat betapa tinggi kebudayaan yang dimiliki masyarakat Karo. Ada 
piring kayu besar untuk makan seluruh keluarga atau biasa disebut capah,
 ada pula piring porselen.
Ada padung-padung atau anting-anting 
yang biasa digunakan perempuan Karo yang sederhana, ada yang penuh 
hiasan ukiran, juga topeng-topeng raksasa untuk menari gundala-gundala, 
tarian meminta hujan yang mistis.
Tempat menyimpan sirih dan tempat menumbuk sirih pun aneka ragam nan 
indah dengan berbagai ukiran. Uis, berbagai peralatan pertanian, dan 
pustaha—buku dari batang pohon bertuliskan huruf dan tulisan Karo—tak 
ketinggalan dipamerkan.
Kriswanto mengatakan, buku-buku tua itu 
berumur sekitar 400 tahun dan dikembalikan ke Karo dari Belgia. Di pintu
 masuk museum juga terpajang sebuah miniatur rumah adat Karo yang kini 
di Karo tinggal beberapa saja.
Leo mengatakan, museum berdiri atas bantuan puluhan orang, terutama atas dorongan mantan Bupati Karo Daniel Daulat Sinulingga.
Sinulingga,
 lanjut Leo, mengatakan kalau pemerintah yang membuat museum tidak 
jadi-jadi. Pemerintah Kabupaten Karo juga tidak memiliki museum, maka 
bekas gereja itu dijadikan museum Karo.
Bantuan donor
Untuk
 merawat dan mengoperasikan museum, Leo mengandalkan banyak bantuan 
donor dari berbagai kalangan di Tanah Air. Ia juga dibantu 
saudara-saudaranya dari Belanda karena tidak ada penghasilan dari tiket 
masuk ke museum.
Misi museum ini semata-mata untuk mengenalkan 
budaya Karo kepada khalayak. ”Kami berharap bisa meluaskan museum supaya
 makin banyak benda-benda bersejarah yang bisa ditampung,” kata Leo.
Meskipun
 buka setiap hari sejak pukul 09.00 hingga 16.30, sayangnya museum itu 
justru tutup pada hari Minggu dan hari besar. Padahal, di situlah 
hari-hari itu banyak wisatawan yang hadir di Berastagi.
”Saya berharap pada hari Minggu museum buka supaya banyak wisatawan yang bisa mengunjungi museum,” kata Monic. 
____________________________
(Aufrida Wismi Warastri/ Sumber: kompas.com) 
 

Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berbicara adalah hak asasi manusia dari setiap individu, tetapi gunakan hak itu sesuai dengan peraturan yang berlaku serta budaya lokal yang membangun. Salam kasih. Admin