Misa Latin Tradisional Pernikahan Archduke Imre dan Archduchess Kathleen. |
Selama ini, saya mendengar bahwa pacaran adalah persiapan menuju perkawinan dan kehidupan berkeluarga. Di satu sisi, sudut pandang ini benar, walaupun tidaklah lengkap. Menurut saya, pengalaman berpacaran dapat dianggap sebagai sebuah simulasi dalam menjalani kehidupan berkeluarga, kendati tidak sempurna dalam berbagai aspeknya.
Sebelum memasuki kondisi berpacaran, pada umumnya seorang pria akan mencari seorang wanita yang dianggap cocok untuknya. Hal ini bisa dibilang seperti sebuah kompetisi yang harus dimenangkan oleh para pencari cinta. Ada kalanya, ketika seseorang berhasil menemukan pasangan yang dianggap cocok dengan kriteria mereka, perasaan seperti telah memenangkan sesuatu akan muncul. Dan karenanya, pasangan yang berhasil didapat hatinya, akan tampak seperti sebuah hadiah. Nah, saya akan menyebut hadiah ini sebagai mahkota. Persisnya, mahkota duri.
Masa-masa awal pacaran adalah tahap untuk saling mengenal satu sama lain. Tidak jarang pada fase awal ini, perasaan gembira yang meluap-luap juga mengiringinya. Seolah-olah kita telah menemukan sosok dambaan kita, ia yang dapat membuat kita bahagia kelak. Ia dapat mendengarkan kita, memahami kita, bersikap lembut dan baik terhadap kita. Mungkin saja ini adalah fase ketika seseorang “mabuk asmara”, ketika kita merasa sudah menemukan belahan jiwa yang sanggup membahagiakan kita, dan karenanya kita merasa lega dan damai.
Namun kebahagiaan ini, bukan tidak mungkin, dipahami secara tidak lengkap. Bisa jadi, kebahagiaan yang ada dalam pikiran kita ialah kebahagiaan tanpa penderitaan, tanpa rasa sakit, tanpa konflik dan perkelahian. Seiring berjalannya waktu berpacaran, kita mungkin menemukan diri kita, berada dalam kondisi yang memunculkan pertengkaran satu sama lain. Dan dalam suasana panas ini, kita akan dengan mudah melihat kelemahan pasangan kita. Bila hal ini tidak diimbangi dengan kematangan emosional dan spiritual, dengan mudah kita akan terjatuh dalam penggunaan bahasa yang “saling menyalahkan”. Betul, sifat untuk saling menyalahkan orang lain dan bukannya diri sendirilah, yang pertama kali digunakan oleh Adam dan Hawa, persis setelah mereka jatuh ke dalam dosa.
Beberapa orang mungkin akan berhasil mengatasi berbagai konflik dan perbedaan yang ada. Sebagian yang lain, mungkin akan gagal dan karenanya relasi mereka dapat saja berakhir. Bagi mereka yang berhasil, menurut pengalaman saya pribadi, keberhasilan ini ditandai dengan adanya kerendahan hati, keberanian untuk mengakui kesalahan masing-masing, dan kesiapan untuk mengampuni dan memperbaharui hubungan secara baru. Siklus seperti ini akan selalu berulang.
Nah, saya memang bukan seseorang yang sudah menjalani kehidupan berkeluarga, walau saya pribadi sudah cukup mengamati dinamika kehidupan berkeluarga, baik dalam keluarga saya sendiri, walaupun dalam keluarga orang lain yang saya dengar melalui cerita berbagai orang. Saya mungkin memang tidak pantas untuk berbicara banyak atau berceramah tentang dinamika kehidupan berkeluarga. Meskipun demikian, uraian saya diatas membuat saya merenung: bukankah siklus yang terjadi dalam kehidupan berpacaran ini juga terjadi ketika seseorang sudah menikah nanti?
Pada titik inilah pembaca sekalian dapat memahami mengapa judul tulisan ini adalah “Perkawinan: Sebuah Mahkota Duri”. Benar, pasangan yang kita miliki, bisa jadi adalah mahkota kita, hadiah yang kita terima setelah melakukan perjuangan. Sebuah hadiah yang sangat berharga dan sangat kita cintai. Namun pada saat yang sama, mahkota ini juga memiliki duri, yang dapat menyakiti kita, dan karenanya menimbulkan luka. Bila kita sungguh merasakan duri yang menyayat kepala kita, maka sebuah godaan akan muncul: mungkin, sudah saatnya saya melepaskan mahkota duri ini dan mencari yang baru. Saya sudah tidak kuat lagi menanggung rasa sakit yang diberikannya. Karena tidak mungkin bagi saya untuk menghilangkan duri tersebut, maka logis sekali bila saya melepaskannya, bukan?
Duri ini melambangkan kelemahan-kelemahan manusiawi kita dan pasangan kita. Kelemahan yang dapat memicu terjadinya perbuatan dosa. Sejujurnya, saya pribadi merasakan betapa kuatnya dorongan untuk “memangkas habis” duri-duri tersebut. Tidak jarang konflik muncul karena ada perbedaan dalam hal karakter atau kepribadian. Sering juga saya merasa ingin untuk mengatur dan menjadikan pasangan saya untuk berpikir, merasa, dan bertindak seperti yang saya kehendaki. Kalau semuanya sama seperti saya, maka persoalan akan beres.
Namun pemikiran yang demikian tidak lain adalah ilusi. Kita tidak dapat mengubah orang lain, kecuali orang itu sendiri memiliki niat untuk mengubah dirinya. Terkadang, saya juga berharap, kalau pasangan tersebut berjanji untuk berubah, maka ia tidak boleh lagi mengulangi kesalahan yang sama. Padahal, tidak selalu yang namanya kelemahan diri bisa dihilangkan secara total. Diminimalkan, mungkin memang bisa, tetapi tidak masuk akal untuk meniadakannya sama sekali.
Pada titik ini, semakin jelas perbedaan kehidupan berpacaran dan berkeluarga: kalau sudah menikah, apalagi menikah secara Katolik, dan bila pernikahannya sah dan tidak ada halangan apapun, maka tidak bisa kita bercerai. Apalagi bercerai karena merasa tidak cocok. Namun bila anda masih berada dalam tahap pacaran, sah-sah saja bila anda hendak memutuskan hubungan anda, karena anda belum secara sah menyatukan ikatan anda dan pasangan anda di hadapan Tuhan.
Persoalan menjadi pelik, kalau anda menganggap pasangan anda merupakan pemberian Tuhan, seseorang yang Tuhan percayakan pada anda agar anda mengasihi, menjaga dan melindunginya. Kalau anda menjalani hubungan dengan keyakinan seperti ini, maka memutuskan hubungan sama seperti mengingkari keyakinan anda sendiri dan menolak apa yang selama ini anda yakini. Putus dengan pacar,dengan demikian sama juga melibatkan pemutusan relasi dengan Tuhan.
Permenungan ini kemudian memunculkan pertanyaan selanjutnya: Di mana Tuhan dalam semua pengalaman ini? Di dalam segala kesulitan dan kesakitan yang kita alami, di manakah Engkau, Tuhan?
Kita tahu bahwa Allah tidak pernah lelah mengasihi kita. Ia selalu memberikan rahmat-Nya bagi kita. Namun, mungkin cukup mengejutkan kalau dikatakan bahwa Tuhan pun sesungguhnya hadir dalam kesunyian. Ya, Ia hadir dalam rasa sakit yang dihasilkan dari duri-duri kefanaan manusia.
Persatuan pria dan wanita dalam ikatan perkawinan dilambangkan dengan persatuan antara Kristus dan Gereja-Nya. Kristus memiliki “kasih yang tak berkesudahan”, hingga pada titik siap dan rela untuk menderita, bahkan hingga mati. Semua dilakukan karena kasih. Kristus mengajarkan kita cara menanggung penderitaan, dan karenanya mereka yang mengikuti Dia tidak dapat bebas dari penderitaan.
“Rahmat ada di mana saja, namun tidak semua orang menginginkannya”, begitulah kata George Bernanos dalam novelnya Diary of a Country Priest. Melalui penderitaan, kesusahan, rasa sakit, luka, Tuhan selalu ada di sana. Mungkin kita lelah menghadapi semua itu, namun Tuhanlah yang akan memberikan kekuatan kepada kita. Bahkan dalam lembah air mata ini, Allah tidak pernah meninggalkan siapapun yang selalu mencari wajah-Nya. Sekalipun kita berjalan dalam kegelapan, merasakan malam gelap dalam kehidupan berpacaran dan berkeluarga, Tuhan ada dalam kegelapan itu, kendati Ia hadir dalam sunyi. Dan karenanya, dalam kondisi seperti inilah iman kita sungguh diuji.
Iman yang hidup akan terus bertumbuh. Iman yang dewasa mesti menghadapi ujian. Dan ujian terbesar bagi mereka yang sudah, sedang dan akan menjalani kehidupan berkeluarga, ialah ujian untuk menerima mahkota duri ini, dan memperbaharui penerimaan ini dengan ketulusan hati dan penuh rasa syukur, sambil percaya dan berharap bahwa Tuhan akan mendampingi dan menyembuhkan luka-luka yang ditimbulkan dari duri-duri tersebut. Amin. (Sumber: luxveritatis7.wordpress.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berbicara adalah hak asasi manusia dari setiap individu, tetapi gunakan hak itu sesuai dengan peraturan yang berlaku serta budaya lokal yang membangun. Salam kasih. Admin