JAKARTA - Hakikat agama adalah keselamatan. Tanggung jawab agama-agama adalah
membantu dan mengantar semua pengikutnya berjumpa dengan Allah.
Kekudusan, kesucian, damai sejahtera, antara lain nilai yang mesti
diajar dan dianjurkan kepada semua umat. Karena itu, haram hakikatnya
bagi semua agama untuk mengajar dan menganjurkan hal-hal yang
bertentangan dengan hakikat agama-agama.
Itu tidak berarti agama-agama mesti dijauhkan dari hiruk pikuk dunia
yang sering kali identik dengan dosa dan kejahatan. Agama-agama memang
tempatnya di dunia, menjadi bagian dari dunia, terlibat dalam duka dan
derita, kecemasan dan kekuatiran, kebahagiaan dan kegembiraan, seluruh
dinamika dunia. Agama-agama tidak pernah menjadi menara gading di tengah
dunia. Atau membangun imperium sendiri, menutup pintu dan jendela dari
keributan dunia.
Demikianlah agama-agama itu selalu berdimensi politis. Dia selalu
berhubungan dengan dunia; terlibat dalam urusan-urusan publik, tercebur
dalam duka dan kecemasan dunia; berpeluh dan berkeringat; berjerih payah
dan berjuang bersama pria dan wanita untuk sebuah kehidupan yang layak;
demi kebaikan dan kesejahteraan bersama.
Kendati demikian, agama-agama sering kali terlalu jauh tercebur dalam
dunia, terlibat dalam dosa. Agama-agama dapat menjadi sumber dan
menghasilkan kejahatan demi kejahatan. Dia bersekutu dengan
kemungkaran, bersatu dengan kegelapan. Agama-agama dapat tenggelam dalam
masa-masa suram dan gelap berkepanjangan.
Agama-agama kerap kali diperjualbelikan. Ajaran-ajarannya didagang
untuk keuntungan ekonomi. Ayat-ayat Kitab Sucinya dijual untuk
kepentingan politik kelompok tertentu. Nama Allah diteriakkan di
tempat-tempat ibadah untuk mendukung sekaligus menolak orang-orang
tertentu. Ancaman dan teror politik menganatasnamakan agama bertebaran
di setiap tempat kudus. Demi keuntungan ekonomi org lupa hakikat agama;
untuk kepentingan kekuasaan orang tdk lagi takut akan Allah.
Demikianlah
agama-agama diperdagangkan dan dipolitisasi.
Pilgub DKI Jakarta adalah contoh nyata agama-agama diperdagangkan dan
dipolitisasi. Di satu pihak, ada orang-orang, dengan otoritas yang
dimiliki, memperdagangkan ajaran agama, menjual ayat-ayat kitab suci.
Mereka memanen rupiah, menegak keuntungan ekonomi. Sebab tidak ada makan
siang gratis.
Di lain pihak, ada politisi yang menunggang agama demi nafsu kuasa.
Mempropoganda agama untuk memanen suara, memperdagangkan ajaran untuk
mendulang dukungan, menjual ayat untuk menghimpun massa. Dia tidak
malu-malu menjual SARA di atas tanah kebhinekaan. Politik sektarian
paling vulgar yg pernah ada di negeri ini.
Agama dipolitisasi demi ambisi kekuasaan, orang mati pun dibawa-bawa,
sangat mengerikan. Ada ketidakwarasan yang sedang dipertontonkan
manusia-manusia bergama, tapi sesungguhnya tidak beriman.
Kembalikan agama pada hakikatnya. Biarkan agama membawa pembebasan
bagi pemeluknya.
Kembalikan tempat Ibadah pada kesuciannya, dan biarkan
orangg mati bebas menghadap Tuhannya. Sebab keselamatan adalah milik
semua orang dan surga tidak ditentukan pilihan politik.
Beragamalah dengan sadar dan berimanlah dengan akal sehat.
______________________
RP. Kristo Tara, OFM/ Sumber: Katoliknews.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berbicara adalah hak asasi manusia dari setiap individu, tetapi gunakan hak itu sesuai dengan peraturan yang berlaku serta budaya lokal yang membangun. Salam kasih. Admin