Dalam struktur hierarki Gereja Katolik, kita mengenal tiga
tingkat tahbisan suci: uskup, imam, dan diakon. Diakon berada pada tingkat
paling dasar dari tahbisan ini. Namun, jangan salah. Diakon bukanlah “kelas
bawah” dalam pelayanan Gereja. Mereka adalah pelayan sabda, liturgi, dan kasih
yang ditahbiskan secara sah oleh uskup, bukan untuk imamat, melainkan untuk
pelayanan (lih. Lumen Gentium 29).
Tugas-tugas diakon mencakup:
- Membaptis
secara meriah
- Membagikan
Ekaristi
- Menjadi
saksi dan pemberkat perkawinan
- Membacakan
Injil dan memberikan homili
- Memimpin
ibadat dan doa umat
- Mengantar
Komuni kepada orang sakit
- Memimpin
upacara pemakaman
- Mengajar
dan menasihati umat
Setelah Konsili Vatikan II, Gereja merestorasi jabatan
diakon permanen. Artinya, seseorang dapat ditahbiskan sebagai diakon dan tetap
menjadi diakon sepanjang hidupnya, tanpa harus menjadi imam. Diakon permanen
ini bisa berasal dari kalangan pria berkeluarga atau yang sudah matang secara
usia dan rohani. Paus Paulus VI menetapkan norma-norma ini dalam Sacrum
Diaconatus Ordinem (1967).
Sementara itu, frater-frater calon imam yang kita temui di
paroki-paroki menjelang tahbisan adalah diakon transisional. Mereka hanya
menjalani masa diakonat selama beberapa bulan sebelum menerima tahbisan imamat.
Namun, baik diakon permanen maupun transisional menerima rahmat tahbisan yang
sama dan menjalankan tugas yang sama pula.
Di beberapa keuskupan, kita juga mengenal istilah
pro-diakon. Mereka adalah awam yang ditunjuk oleh uskup untuk membantu
membagikan Komuni Kudus, terutama di paroki-paroki yang kekurangan imam atau
diakon. Meski disebut “pro-diakon,” mereka bukan bagian dari klerus dan tidak
menerima tahbisan. Tugas mereka bersifat delegatif dan terbatas, serta tidak
mencakup fungsi-fungsi sakramental seperti yang dimiliki oleh diakon tertahbis.
Diakon memiliki busana liturgis khas yang disebut
dalmatik—jubah berlengan dengan garis vertikal dan horizontal. Dalam Misa
meriah, dalmatik dikenakan di atas alba dan stola. Namun dalam Misa harian,
cukup dengan alba dan stola miring. Stola ini menjadi tanda khas diakon,
berbeda dengan imam yang mengenakan stola lurus di kedua sisi leher.
Dalam Misa, diakon memiliki peran penting:
- Membacakan
Injil
- Memberikan
homili (jika ditugaskan)
- Menyiapkan
altar dan persembahan
- Mengangkat
piala saat doksologi
- Mengajak
umat untuk salam damai
- Mengutus
umat di akhir Misa
Kisah Para Rasul mencatat bahwa jabatan diakon sudah ada
sejak awal Gereja. Santo Stefanus, martir pertama, adalah seorang diakon.
Begitu pula Santo Laurensius dan Santo Fransiskus dari Asisi. Mereka bukan
imam, tetapi pelayan kasih yang setia. Dalam dunia yang haus akan kehadiran dan
pelayanan, diakon menjadi wajah Gereja yang melayani, bukan yang dilayani.
Sebagai umat awam, kita diajak untuk mengenali dan
menghargai peran diakon dalam kehidupan Gereja. Mereka adalah jembatan antara
altar dan dunia, antara liturgi dan pelayanan sosial. Mereka mengingatkan kita
bahwa iman bukan hanya soal doa, tetapi juga soal tindakan nyata.
Ketika seorang diakon mengucapkan, “Perayaan Ekaristi sudah
selesai. Marilah pergi, kita diutus,” itu bukan sekadar penutup liturgi. Itu
adalah panggilan hidup. Panggilan untuk melayani, untuk menjadi saksi, untuk
membawa Kristus ke tengah dunia.
Mari kita dukung para diakon—baik yang permanen maupun
transisional—dalam panggilan mereka. Dan mari kita belajar dari mereka, bahwa
setiap orang beriman, entah tertahbis atau awam, dipanggil untuk menjadi
pelayan kasih di dunia yang terluka.
✍️ Oleh: Darius Leka, S.H., M.H., Advokat &
Aktivis Kerasulan Awam Gereja Katolik
#diakonkatolik #kerasulanawam #gerejakatolik #pelayanliturgi #prodiakon #tahbisanimamat #wartakasih #imanyanghidup #liturgidanpelayanan #dipanggiluntukmelayani

Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berbicara adalah hak asasi manusia dari setiap individu, tetapi gunakan hak itu sesuai dengan peraturan yang berlaku serta budaya lokal yang membangun. Salam kasih. Admin