Jumat, 17 Februari 2017

Mereka itu Diakon, Bukan Imam

Foto ilustrasi: Netralnews.com

Beberapa bulan menjelang musim tahbisan imam, yang biasanya diadakan di bulan-bulan Agustus atau September atau bahkan Oktober, beberapa paroki yang beruntung akan ketamuan frater-frater diakon. Mereka ini adalah calon-calon imam yang menjalani masa persiapan terakhir sebelum menerima tahbisan imamat. Frater-frater ini telah menerima tahbisan diakon. Apa itu diakon? Apa bedanya dengan imam? Apa pula bedanya dengan pro-diakon alias asisten imam alias pelayan komuni tak lazim? Silakan simak yang berikut ini.

Umat Katolik mengenal uskup dan imam. Setidaknya imam atau romo di paroki mereka sendiri, yang setiap minggu atau setiap hari mempersembahkan Misa bagi mereka. Konstitusi Dogmatik Lumen Gentium menyebut bahwa, "Pada tingkat hirarki yang lebih rendah terdapat para diakon, yang ditumpangi tangan 'bukan untuk imamat, melainkan untuk pelayanan'. Sebab dengan diteguhkan rahmat sakramental mereka mengabdikan diri kepada umat Allah dalam perayaan liturgi, sabda dan amal kasih, dalam persekutuan dengan uskup dan para imamnya." Lebih lanjut dijabarkan, "Adapun tugas diakon, sejauh dipercayakan kepadanya oleh otoritas yang berwenang, adalah: menerimakan baptis secara meriah, menyimpan dan membagikan Ekaristi, atas nama Gereja menjadi saksi perkawinan dan memberkatinya, mengantarkan Komuni Bekal Suci kepada orang yang mendekati ajalnya, membacakan Kitab Suci kepada kaum beriman, mengajar dan menasihati umat, memimpin ibadat dan doa kaum beriman, menerimakan sakramentali, memimpin upacara-upacara kematian dan pemakaman." (LG 29)


Selama ratusan tahun sebelum Konsili Vatikan II, tahbisan diakon hanya diterimakan kepada mereka-mereka yang menjalani persiapan terakhir untuk tahbisan imamat. Sungguhpun begitu, keberadaan diakon sebagai suatu jabatan tersendiri yang berbeda dengan imam--dan bukan semata sebagai jabatan transisi bagi para frater sebelum mereka menerima tahbisan imamat--telah dimulai sejak jaman para rasul. Kutipan dari Kisah Para Rasul ini menjelaskannya, "Pada masa itu, ketika jumlah murid makin bertambah, timbullah sungut-sungut di antara orang-orang Yahudi yang berbahasa Yunani terhadap orang-orang Ibrani, karena pembagian kepada janda-janda mereka diabaikan dalam pelayanan sehari-hari. Berhubung dengan itu kedua belas rasul itu memanggil semua murid berkumpul dan berkata: 'Kami tidak merasa puas, karena kami melalaikan Firman Allah untuk melayani meja. Karena itu, Saudara-Saudara, pilihlah tujuh orang dari antaramu, yang terkenal baik, dan yang penuh Roh dan hikmat, supaya kami mengangkat mereka untuk tugas itu, dan supaya kami sendiri dapat memusatkan pikiran dalam doa dan pelayanan Firman.' Usul itu diterima baik oleh seluruh jemaat, lalu mereka memilih Stefanus, seorang yang penuh iman dan Roh Kudus, dan Filipus, Prokhorus, Nikanor, Timon, Parmenas dan Nikolaus, seorang penganut agama Yahudi dari Antiokhia. Mereka itu dihadapkan kepada rasul-rasul, lalu rasul-rasul itupun berdoa dan meletakkan tangan di atas mereka." (Kis 6:1-6) Santo Stefanus, salah satu dari ketujuh diakon pertama itu--yang kemudian wafat sebagai martir yang pertama--bukanlah seorang imam. Ia adalah seorang diakon permanen. Beberapa nama diakon permanen lain yang terkenal adalah Santo Laurensius dan Santo Fransiskus dari Asisi. Kedua orang kudus ini pun adalah diakon permanen dan tidak pernah menerima tahbisan imamat sampai akhir hidup mereka.


Paus Paulus VI, berdasarkan amanat para Bapa Konsili Vatikan II, kemudian merestorasi fungsi dan jabatan diakon (permanen) ini dalam Gereja Katolik Ritus Latin. Seperti dinyatakannya dalam Lumen Gentium, "Namun karena tugas-tugas yang bagi kehidupan Gereja sangat penting itu menurut tata-tertib yang sekarang berlaku di Gereja Latin di pelbagai daerah sulit dapat dijalankan, maka dimasa mendatang diakonat dapat diadakan lagi sebagai tingkat hirarki tersendiri dan tetap. Adalah tugas berbagai macam konferensi uskup setempat yang berwenang, untuk menetapkan dengan persetujuan Bapa Suci sendiri, apakah dan di manakah sebaiknya diangkat diakon-diakon seperti itu demi pemeliharaan jiwa-jiwa. Dengan ijin Paus di Roma tahbisan diakonat itu dapat diterimakan kepada pria yang sudah lebih masak usianya, juga yang berkeluarga; pun juga kepada pemuda yang cakap, tetapi bagi mereka ini hukum selibat harus dipertahankan." (LG 29) Pasca promulgasi Lumen Gentium, pada tanggal 18 Juni 1967, Paus Paulus VI mengeluarkan Motu Proprio Sacrum Diaconatus Ordinem, yang berisi Norma-Norma Umum untuk Restorasi Diakonat Permanen di Gereja Latin. Sejak itu, mulailah kembali ditahbiskan diakon-diakon permanen, dan utamanya dari kalangan mereka-mereka yang sudah lebih masak usianya dan/atau sudah berkeluarga.

Di Keuskupan Roma, saat tulisan ini dibuat, ada 122 orang diakon permanen (Annuario Pontificio 2015). Dalam foto di atas terlihat salah seorang diakon permanen Keuskupan Roma sedang mendupai relikui Paus St. Yohanes XXIII dan Paus St. Yohanes Paulus II, dalam Misa Kanonisasi mereka. Di Indonesia, di Keuskupan Surabaya misalnya, Y.M. Uskup Johanes Antonius Klooster, C.M. (1953-1982) pernah menahbiskan beberapa orang diakon permanen, termasuk Diakon J. Wardijo, Diakon A.M. Supomo Hardjoleksono, Diakon Y.G. Sutarno, dan Diakon Y.D. Edhy Sugiharto, yang kesemuanya sudah meninggal saat ini. Keempat diakon permanen itu adalah pria-pria berkeluarga, yang sungguh berdedikasi dalam melaksanakan tugas diakonat mereka di stasi-stasi terpencil di Ngawi dan Madiun, yang pada masa itu belum terlayani oleh imam yang jumlahnya masih belum memadai. Mereka ini menerima tahbisan diakon setelah melalui proses pendidikan dan persiapan selama 4 tahun dan atas persetujuan istri mereka masing-masing. Buah-buah panggilan pun dihasilkan dari keluarga para diakon permanen ini. Romo Prima Novianto Saputro dari Keuskupan Surabaya, adalah putra almarhum Diakon Edhy; Romo Luluk Purwanto dari Keuskupan Surabaya, adalah putra almarhum Diakon Supomo.

Kita kembali ke para frater calon imam yang menjalani masa persiapan terakhir sebelum menerima tahbisan imamat. Mereka ini pun ditahbiskan sebagai diakon. Kalau empat diakon dalam paragraf di atas disebut diakon permanen atau diakon tetap, para frater diakon ini adalah diakon transisional. Permanen karena para bapak-bapak itu selamanya menjadi diakon; transisional karena para frater ini hanya akan mengemban jabatan diakon selama masa transisi, sebelum mereka ditahbiskan menjadi imam. Baik diakon permanen maupun diakon transisional menerima tahbisannya dari uskup dan memperoleh kuasa tahbisan yang sama.

ara diakon, baik permanen maupun transisional, adalah pelayan komuni yang lazim. Mereka ini termasuk golongan klerus dan berbeda dengan awam yang ditunjuk sebagai asisten imam atau pelayan komuni tak lazim, yang di beberapa keuskupan disebut pro-diakon. Pro-diakon biasanya ditunjuk untuk melayani penerimaan komuni di suatu paroki tertentu dan untuk masa bakti tertentu pula. Di beberapa keuskupan, pro-diakon juga diberi tugas tambahan untuk memimpin upacara seputar kematian. Meski begitu, pro-diakon tetaplah awam dan tidak memiliki kuasa-kuasa tahbisan seperti yang dimiliki oleh diakon yang menerima penumpangan tangan dari uskup.

Diakon memiliki busana khusus yang khas, yang disebut dalmatik, yang dikenakan untuk perayaan-perayaan liturgi yang bersifat meriah. Dalmatik diakon sekilas mirip dengan kasula, busana yang dikenakan imam dalam Misa. Bedanya, dalmatik diakon biasanya berlengan dan bagian bawahnya berbentuk persegi dan tidak membulat. Juga, dalmatik diakon biasanya memiliki dua garis vertikal di sisi kiri dan kanan, dari pundak sampai ke bawah, plus satu atau dua garis horisontal, seperti terlihat dalam gambar di samping ini. Dalmatik diakon tidak wajib dikenakan untuk perayaan-perayaan yang tidak bersifat meriah, Misa harian contohnya. Dalam Misa harian, imam tetap wajib mengenakan kasula, tetapi diakon boleh hanya mengenakan alba dan stola diakon, yang dikenakan miring dari pundak kiri ke pinggang kanan.

Diakon dapat memimpin sebuah Ibadat Sabda, tetapi ia tidak dapat memimpin Misa. Dalam Misa, diakon bertugas membacakan Injil dan dapat pula ditugaskan oleh imam yang memimpin Misa untuk memberikan homili. Membaca Injil dan memberikan homili dalam Misa memang hanya dapat dilakukan oleh klerus atau kaum tertahbis, termasuk diakon. Apabila ada diakon dalam Misa, hendaknya pembacaan Injil dilakukan olehnya, dan bukan oleh imam, baik selebran utama maupun konselebran, bila ada. Dalam Liturgi Ekaristi, diakon bertugas menyiapkan bahan-bahan persembahan di altar, mulai dari menempatkan korporal, meletakkan patena berisi roti di atasnya dan juga mengisi piala dengan anggur dan air. Selama konsekrasi, diakon berlutut di samping belakang imam, tepatnya mulai dari saat imam memberkati roti dan anggur, sampai setelah elevasi piala. Sesudah konsekrasi, diakon kembali berdiri di samping belakang imam. Saat doksologi agung, "Dengan pengantaraan Kristus, bersama Dia dan dalam Dia ...", imam selebran utama mengangkat patena berisi Tubuh Kristus dan diakon membuka palla dan mengangkat piala berisi Darah Kristus. Ini adalah tugas diakon, dan hendaknya tidak diambil alih oleh konselebran. Saat Paus berkonselebrasi dengan para kardinal pun, piala diangkat oleh diakon dan bukan oleh kardinal yang berada di sebelah kanan Paus. Sesudah komuni, imam dapat dilayani misdinar untuk membilas ujung jari agar tidak ada sisa-sisa Tubuh Kristus yang tertinggal. Imam kemudian kembali ke tempat duduk sementara diakon membersihkan bejana-bejana dan membereskannya. Selain itu semua, diakon juga bertugas menyampaikan ajakan salam damai, ajakan untuk menundukkan kepala menerima berkat penutup dari imam, dan, di akhir Misa mengutus umat dengan kata-kata, "Perayaan Ekaristi sudah selesai" dan "Marilah pergi! Kita diutus."

Foto ilustrasi tahbisan diakon. Sumber: CDD in Action
PS: Berikut ini beberapa catatan yang lebih teknis, yang mungkin terlalu detil bagi pembaca awam. Saat Misa bersama uskup, diakon yang membaca Injil boleh tidak mencium sendiri Injilnya (tradisinya dengan mengangkat sedikit Evangeliarium alias Kitab Injil dalam keadaan terbuka, dan mencium bagian awal perikop yang dibaca), tetapi membawanya ke uskup (dalam keadaaan tertutup) dan menyodorkannya kepada beliau untuk dicium di sampulnya (tidak perlu dibuka; lihat foto di atas). Evangeliarium dihormati dan dicium karena--sama seperti altar--ia adalah lambang Kristus. Kalau diakon membaca Injil dari teks Misa, rasanya tidak perlu lah teks itu dicium pada akhir pembacaan. Oh ya, saat mengucapkan, "Demikianlah Injil Tuhan", tidak seperti kebiasaan selama ini di beberapa tempat, Kitab Injil tidak perlu diangkat (Bdk. Eva A.1.d. hal. xiv). Ada beberapa hal lain yang penting sehubungan dengan penggunaan Evangeliarium. Akan bermanfaat bila rubrik-rubrik untuk penggunaannya yang ada di halaman xiii-xviii dibaca, baik oleh imam maupun diakon yang bertugas. Yang terakhir, diakon dapat membacakan ujud-ujud doa umat, tetapi tidak memimpinnya. Memimpin doa umat adalah tugas imam presiden alias selebran utama, yang bahkan tidak untuk didelegasikan kepada salah seorang imam konselebran. (Sumber: tradisikatolik.blogspot.co.id)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berbicara adalah hak asasi manusia dari setiap individu, tetapi gunakan hak itu sesuai dengan peraturan yang berlaku serta budaya lokal yang membangun. Salam kasih. Admin