[Foto: bc.edu] |
Guntur Himawan, Palembang
Pertama, ketika Kristus memerintahkan para rasul-Nya untuk mewartakan Injil, membaptis, dan merayakan kenangan akan Dia, para rasul segera melakukan perintah ini. Pewartaan Injil dilakukan secara lisan dengan mempertahankan ke-ortodoks-an ajaran Kristus, dari satu generasi ke generasi berikutnya. Inilah yang membentuk Tradisi Suci dalam Gereja. Baru kemudian, ajaran Kristus dicatat secara tertulis menjadi Kitab Suci. Menurut catatan terkuno, penulisan pertama itu baru terjadi sekitar tahun 47-55. Jadi, Tradisi ada terlebih dahulu sebelum Kitab Suci. Maka Kitab Suci berasal dari Tradisi dan harus dibaca dalam Tradisi.
Kedua, Gereja Katolik memandang Kitab Suci dan Tradisi sebagai sumber yang sama pentingnya dari satu pewahyuan yang diberikan Kristus dan dipercayakan kepada para rasul dalam bimbingan Roh Kudus (bdk DS 1501). Tetapi, hanya Kitab Suci yang adalah pembicaraan Allah. Kitab Suci diinspirasikan oleh Allah Roh Kudus, sedangkan Tradisi tidak diinspirasikan tetapi dilindungi dari kesalahan, sehingga wahyu Allah disampaikan secara integral (DV 9). Jadi, Kitab Suci harus dibaca dan ditafsirkan di dalam Gereja, bukan di luar atau melawan Gereja. Dan Tradisi harus selalu diuraikan dalam kesesuaian dengan Kitab Suci, dan tidak pernah berlawanan dengan Kitab Suci. Bersama-sama, Tradisi Suci dan Kitab Suci, membentuk satu perbendaharaan keramat Sabda Allah, yang dipercayakan kepada Gereja (DV 10). Jadi, tidak bisa dikatakan bahwa Gereja Katolik lebih mengutamakan Tradisi daripada Kitab Suci. Kedudukan Kitab Suci sangat sentral dalam hidup Gereja sebagai sumber iman.
Ketiga, Tradisi Suci memainkan peran sangat penting. Melalui Tradisi kita mengetahui kitab-kitab mana yang digunakan para Rasul dan Gereja perdana, sehingga kita bisa mengetahui kanon lengkap dari Kitab Suci yang diwahyukan kepada Gereja (DV 8). Tanpa Tradisi, kita tidak akan tahu mana inspirasi Roh Kudus, dan akan sulit menentukan kitab-kitab mana yang diinspirasikan Roh Kudus. Dalam arti ini, kita bisa berkata bahwa Kitab Suci adalah bagian dari Tradisi dan merupakan hasil dari Tradisi.
Banyak hal dalam Kitab Suci tidak bisa dimengerti dengan baik jika terpisah dari Tradisi. Apa yang dilakukan dalam Tradisi merupakan petunjuk bagaimana Kitab Suci ditafsirkan dan dihayati. Melalui Tradisi, Kitab Suci bisa dimengerti secara lebih mendalam dan dilaksanakan secara konstan dalam Gereja (DV 8). Karena itu, Tradisi memberikan norma-norma penafsiran dan mempunyai konsekuensi yang mengikat. Tradisi bisa diketahui melalui para Bapa Gereja dan hidup Gereja itu sendiri. ”Ungkapan-ungkapan para Bapa Suci memberikan kesaksian akan kehadiran Tradisi itu yang menghidupkan dan yang kekayaannya meresapi praktik serta kehidupan Gereja yang beriman dan berdoa.” (DV 8)
Santo Agustinus menyatakan: ”Ada banyak hal yang dihayati oleh Gereja universal, dan karena itu secara tepat dipercayai sebagai telah diajarkan oleh para Rasul, meskipun hal-hal itu tidak ditemukan dalam tulisan.” Hal yang sama diungkapkan oleh Konsili Vatikan II: ”Dengan demikian, Gereja menimba kepastian tentang segala sesuatu yang diwahyukan bukan hanya melalui Kitab Suci.” (DV 9).
Keempat, ”jadi, Tradisi Suci dan Kitab Suci berhubungan erat sekali dan berpadu. Sebab keduanya mengalir dari sumber Ilahi yang sama, dan dengan cara tertentu bergabung menjadi satu dan menjurus ke arah tujuan yang sama.” (DV 9) Tidak mungkin mempertentangkan yang satu dengan yang lain. Keduanya sangat diperlukan. ”Maka dari itu, keduanya (baik Tradisi maupun Kitab Suci) harus diterima dan dihormati dengan cita rasa kesalehan dan hormat yang sama.” (DV 9).
Pastor Dr Petrus Maria Handoko CM
Sumber: Majalah HIDUP Edisi No. 39 Tanggal 23 September 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berbicara adalah hak asasi manusia dari setiap individu, tetapi gunakan hak itu sesuai dengan peraturan yang berlaku serta budaya lokal yang membangun. Salam kasih. Admin