KOTA BOGOR - Pada Sabtu pagi yang sejuk, 13 Desember 2025, aula SMKS Baranangsiang, Kota Bogor, dipenuhi semangat yang tak kasat mata namun terasa kuat: semangat persaudaraan. Di sinilah, lebih dari seratus perwakilan Pengurus Hubungan Antar Agama dan Kepercayaan (HAAK) dari seluruh paroki Keuskupan Bogor berkumpul dalam sebuah perhelatan penting: Dialog Kerukunan Intern Umat Katolik Se-Keuskupan Bogor bertema “Dari Persekutuan Menuju Perutusan.”
Dialog ini bukan sekadar forum diskusi. Ia adalah ruang batin yang dibuka
bersama, tempat umat Katolik merefleksikan kembali panggilan mereka sebagai
garam dan terang dunia. Dalam konteks masyarakat Indonesia yang plural, dialog
internal menjadi fondasi sebelum melangkah ke luar. Sebab, bagaimana kita bisa
berdialog dengan yang lain jika kita belum selesai berdialog dengan diri
sendiri?
Romo Dion Manopo, salah satu narasumber, menyampaikan dengan nada jenaka
namun menyentil: “Toleransi itu biasanya ramai dibicarakan kalau gerejanya
belum punya IMB. Kalau sudah ada, paling-paling cuma pasang spanduk ucapan hari
raya.” Candaan ini menyiratkan realitas: toleransi tidak boleh berhenti pada
simbol, tetapi harus menjelma dalam relasi dan aksi nyata.
Dalam menghadapi keberagaman, Gereja Katolik tidak berjalan tanpa arah.
Konsili Vatikan II (1962–1965) telah memberikan peta jalan yang jelas melalui
16 dokumen penting, termasuk 4 konstitusi dan 9 dekret. Salah satu pesan
utamanya adalah bahwa semua manusia adalah saudara. Dalam dokumen Nostra
Aetate, Gereja menegaskan pentingnya dialog dan kerja sama dengan
agama-agama lain demi kebaikan bersama.
Cinta kasih terhadap Allah dan sesama bukan hanya ajaran, melainkan perintah
yang pertama dan terbesar (lih. Mat 22:37-39). Maka, kerasulan awam tidak
berhenti pada kegiatan liturgis, tetapi meluas ke ranah sosial, ekonomi, hukum,
dan kemasyarakatan.
Anton Sulis, tokoh awam dari Keuskupan Bogor, menekankan pentingnya
menghadirkan wajah Gereja dalam tindakan nyata. “Jalan bersama” bukan sekadar
slogan, tetapi road map pastoral yang mengarahkan umat untuk bertumbuh
dalam iman sekaligus bertransformasi dalam hidup sehari-hari—baik di keluarga,
komunitas, maupun masyarakat luas.
Gracia Setya Widiasrini dari Bimas Katolik Provinsi Jawa Barat menambahkan
harapannya agar umat Katolik menjadi agen moderasi beragama di paroki
masing-masing. “Kita hidup di tengah masyarakat yang heterogen. Maka, dialog
bukan pilihan, melainkan keniscayaan,” ujarnya.
Sebagai aktivis kerasulan awam, saya percaya bahwa misi kita bukan hanya
menjaga iman, tetapi juga mewartakan kasih Allah melalui tindakan konkret.
Entah itu dalam advokasi hukum, pemberdayaan ekonomi umat, atau pelayanan
sosial, semuanya adalah bagian dari perutusan.
Dialog seperti ini adalah benih yang ditanam dalam tanah persaudaraan. Ia
akan tumbuh menjadi pohon yang rindang, menaungi siapa pun yang datang dengan
niat baik. Dari persekutuan menuju perutusan, dari diskusi menuju aksi, dari
teori menuju kasih yang hidup.
Mari terus berjalan bersama, dalam terang Kristus, untuk menjadi saksi kasih
di tengah dunia yang haus akan damai.
✍️
Oleh: Darius Leka, S.H., M.H. - Advokat & Aktivis Kerasulan Awam Gereja
Katolik
#shdariusleka #reels #foryou #fyp #jangkauanluas @semuaorang
#dialoginternkatolik #keuskupanbogor #kerukunanumatberagama #moderasiagama #rasulawam
#gerejakatolik #jalanbersama #pastoraltransformatif


